Kamis, 10 November 2011

Javanese Mantra



JAVANESE MANTRA
Oleh: Amurwa Loka
hartarta.arif@gmail.com
Abstract
Mantra Orang Jawa, selanjutnya disingkat MOJ secara bebas dapat ditafsirkan sebagai metode atau gagasan—sebagai penegasan suatu tujuan tertentu—yang dinyatakan dengan kata-kata yang dianggap mengandung kekuatan gaib dan diciptakan sebagai terobosan untuk mengatasi problem-problem kehidupan. Hasil penelitian terhadap MOJ memberi gambaran bahwa MOJ adalah serangkaian kata yang dianggap istimewa (dominasi bahasa Jawa) yang disusun sedemikian rupa dalam bentuk afirmasi-afirmasi swasugestif. MOJ memiliki 3 tipe struktur: ideal, acak, dan timpang. Struktur ideal MOJ terdiri atas bagian, yaitu: kepala, tubuh, dan kaki. Struktur mantra ”dibungkus” oleh formula mistik, magis, mitologis, bunyi, diksi, dan imagi. MOJ bagi para pengamalnya merupakan wilayah atau ”ruang sakral, ruang kudus” yang bersifat sangat pribadi dan syarat akan makna filosofis. Misteri laku dalam ritual mantra merupakan permainan psikis/emosi sekaligus kognitif yang sengaja diciptakan untuk mencapai tataran meditatif. Setidaknya terdapat 28 jenis MOJ berdasarkan fungsinya.
Keyword: mantra, orang Jawa, laku, kasunyatan

PENDAHULUAN
Mantra adalah salah satu wujud kebudayaan Nusantara. Kebudayaan memiliki tiga wujud, yakni: 1) mentifac, 2) sosiofac, dan 3) artefac (Koentjaraningrat, 1984:5-6). Mantra Orang Jawa, selanjutnya disingkat MOJ bisa dikatakan sebagai cetak biru produk kebudayaan yang berada dalam wilayah mental dan wujud.  Kebudayaan merupakan kristalisasi dari aktivitas (cipta, rasa, karsa) dan karya manusia yang bersifat dinamis. Sulit dirunut awal mula MOJ karena terbatasnya data tertulis tentang hal ini. Sejauh diketahui dari dokumen-dokumen atau naskah-naskah Jawa lama, MOJ sudah ter/bercampur dengan isme-isme dari luar, baik dari ajaran Hindu, Buddha, Kristen, dan Islam. Meskipun begitu, nilai-nilai kebijaksanaan lokal—yang dianggap—asli Jawa masih di/mempertahankan eksistensinya.
Istilah “mantra” awalnya berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti ‘melindungi pikiran dari napsu-napsu rendah duniawi (Prabhupada, 1987:77). Namun dalam perkembangannya di Jawa, istilah “mantra” telah mengalami pergeseran arti, makna, dan maksud. Secara sederhana dapat dirumuskan bahwa MOJ merupakan suatu metode atau gagasan sebagai penegasan suatu tujuan tertentu yang dinyatakan dengan kata-kata yang dianggap mengandung kekuatan gaib dan diciptakan sebagai terobosan untuk mengatasi problem-problem sosial (lihat Arif, 2010). Teks mantra tak ubahnya seperti karya sastra berbentuk puisi bebas dan memiliki struktur serta karakter tersendiri. Karya sastra tidak lahir dalam kekosongan budaya, karya sastra tidak bebas nilai, karya sastra tidak berfungsi dalam situasi kosong (Teeuw, 1980:11). Artinya, produk budaya ini menyimpan suatu makna, maksud, dan tujuan tertentu. Artefak ini menyimpan rekaman kegeniusan ide pujangga/sang kawi/sastrawan, seniman maupun filosuf tempo dulu. Karya sastra adalah artefak yang sesungguhnya mati, baru memiliki makna dan menjelma menjadi objek estetik apabila telah diberi arti oleh pembaca berdasarkan konvensi kesastraan yang konkrit pada masa tertentu (lihat Teeuw, 1984:191), begitu pula “mantra”.
Fenomena yang masih bisa dilihat di masyarakat Jawa adalah beberapa kasus ketika seseorang hendak pergi merantau. Tidak jarang bahwa orang yang bersangkutan terlebih dahulu pergi ke dukun, kyai, orang pintar, paranormal untuk meminta ilmu, aji-aji, mantra, rajah, jimat agar keselamatanya di rantau terjamin berkat kekuatan magis tersebut. Tidak sebatas itu, dalam pengamatan peneliti, tidak sedikit anak muda yang meminta jimat, mantra kepada orang pintar untuk keperluan mencari pasangan atau menaklukkan lawan jenis. Bahkan sering peneliti dapatkan penjaja seks komersial datang ke dukun untuk meminta dipasangkan susuk pelet atau pengasihan di tempat-tempat tertentu dalam tubuhnya dengan tujuan ‘badan’ jajanannya semakin laris. Fenomena yang sama dan tidak bisa dinafikkan adalah banyaknya pejabat pemerintah yang meminta backing dari orang pintar untuk memperlancar tujuannya, apalagi kalau masih sebagai calon pejabat, mereka rajin berkunjung ke paranormal.
Emoto (2006:115-117) menyuguhkan fakta suatu peristiwa ketika seorang kepala pendeta Houki Kato memantrai air di bendungan Fujiwara yang telah tercemari oleh limbah industri. Setelah air mendapat aliran kekuatan mantra tersebut, air menjadi jernih dan steril seperti semula. Kekuatan seperti itu oleh orang Jepang disebut dengan istilah kotodama yang berarti “ruh kata”. Kini Masaru Emoto menjadi pengusaha ‘air sehat’ sukses di Jepang. Di dalam negeripun, tidak sedikit perusahaan yang membungkus mantra dalam slogan-slogan perusahaan untuk mempengaruhi kepercayaan masyarakat sehingga tergugah untuk membangun dan ikut membesarkan perusahaan terkait. Melihat fakta tersebut, ada kecurigaan peneliti terhadap peran ‘yang magis’ (mantra) dalam perkembangan perilaku, sains modern dan kapitalisme komunikasi modern. Fakta tersebut merupakan data yang perlu diperhatikan keberadaannya. Sejauh penelusuran peneliti, yang sering terlupakan oleh peneliti, kritikus, seniman, dan sastrawan, baik dari sastra Indonesia dan sastra Jawa pada khususnya adalah bahwa kata memiliki kekuatan, kata memiliki roh atau ekspresi. Mantra yang ada dan masih tersimpan di Masyarakat Jawa ternyata sangat perlu untuk diteliti guna mengungkap bentuk, isi, nilai-nilai atau makna, tujuan, fungsi sekaligus misteri yang ada di dalamnya. Penelitian terhadap objek kajian seperti “mantra” sepatutnya menggunakan perpaduan pendekatan ala barat yang cenderung mekanistis, positivistis, prakmatis, materialistis, rasionalistis dengan pendekatan ala timur yang cenderung bersifat organistis, spiritualis, dan mistis.
Berdasar latar belakang diatas, dapat diidentifikasikan permasalahan yang hendak diungkap dalam penelitian ini: (1) struktur teks MOJ, (2) makna laku (disiplin ritual) MOJ, dan (3) fungsi MOJ.
Istilah “mantra” bisa dilihat dari sudut pandang etimologi, makna, dan secara pragmatik. Terkait dengan bentuk, MOJ memiliki 3 wujud: (1) kata-kata disebut Japa; Mantra; Aji-Aji; Rapal, (2) tulisan, misalnya tertulis pada logam, kertas, kain, kulit, bambu, kuku, bunga disebut Rajah, dan (3) mantra yang kekuatannya ditanam dalam benda disebut Jimat; misalnya pada batu akik, tongkat, keris. Fakta lain, peneliti menemukan adanya bentuk mantra dengan metrum tembang macapat dhandanggula (kidung Mantraweda, Kidung Purwa Sejati) yang terikat oleh konvensi guru lagu, guru wilangan, dan guru gatra. Orang Jawa pengamal “mantra” dalam pengertian dan cakupan pada penelitian ini tidak menunjuk kepada kelompok orang perorangan konkrit tertentu (Magnis, 1984 dalam Jatman, 2000:23). Kebudayaan Jawa bersifat hiterogen dan bukan monolitik. Cakupan penelitian ini berorientasi pada dua macam tradisi yang memiliki nilai penghayatan serta penafsiran hidup bagi masyarakat. Dua macam tradisi tersebut adalah tradisi mistis dan tradisi etis. Tradisi-tradisi penghayatan nilai orang Jawa, paling tidak bisa dirunut dari penghayatan mentalitas pra-Islam dan sistem atau hegemoni yang menaunginya. Magnis (2003:3) mengatakan bahwa di Jawa, tidak ada yang ‘khas tipe Jawa’, semua memiliki sikap hidup sosial yang plural (bandingkan Mulder, 2005:17). Pernyataan di atas didukung oleh pernyataan Ahimsa (2000:425) bahwa apa yang dinamakan kebudayaan Jawa adalah hasil ciptaan ahli antropologi, dan bukan realita sebenarnya yang ada di lapangan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan struktural tingkat lanjut, atau sering disebut pendekatan Struktural Dinamis, yaitu perpaduan antara pendekatan struktural dan semiotika. Pendekatan tersebut sangat berguna untuk memahami fenomena “mantra” dilihat dari teks dan konteks (lihat Pradopo, 2008). Artinya, peneliti akan melihat teks dan konteks apa saja yang dipengaruhi dan mempengaruhi teks dan konteks MOJ, mengingat bahwa mantra sebagai salah satu genre sastra yang menanggapi teks sebelumnya (interteks). Eksistensi keberadaan MOJ berkait erat dengan mitos-mitos Dewa, Nabi, Wali, Tokoh Gaib, dan Manusia Super. Tentang mitos, Levi Strauss (lihat Dwi Kristanto dalam Mudji Sutrisno & Hendar Putranto (ed), 2005:138-142), mengatakan bahwa mitos-mitos itu memikirkan dirinya melalui manusia tanpa sepengetahuan si manusia itu. Mitos memiliki makna struktur mendalam atau struktur batin yang kemudian disebut dengan binary oposition oleh Levi Strauss. Logika dalam pemikiran mitologis memang sama ketatnya dengan logika dalam pemikiran sains modern. Mitos merupakan hasil kreativitas psyche manusia yang secara tak sadar menaati hukum-hukum partikular, dan membaca mitos sama seperti membaca partitur musik, yaitu secara vertikal dan horisontal.
MOJ masih dipandang sebagai sesuatu yang bersifat magis. Di dunia magis, manusia bertitik tolak pada dunia gaib yang penuh kekuatan tinggi itu. Jadi seolah-olah dalam praktek magis itu, magis memainkan peranan yang penting (Mulyono, 1983:30). Lebih lanjut Peursen (dalam Mulyono, 1983:30) mengatakan bahwa magis itu dapat disamakan dengan asuransi jiwa bagi masyarakat modern. Magis bersifat okultisme atau condong untuk menguasai sesuatu lewat kekuatan, kepandaian, dan keahlian. Dalam Wedhatama yang ditulis oleh Pangeran Mangkunagoro VII, hal tersebut dinamakan sebagai “ilmu karang” yang dimaksudkan gaib disini adalah ilmu yang berasal dari kekuatan makhluk halus. Mulyono (1983:30) mengatakan bahwa penghayat magis mencoba menolak dan menangkis bahaya yang mengancam dengan kekuatan alam yang ditundukkan. Mereka lebih suka menggunakan ‘mantra-mantra’ atau sarana lain yang dianggap lebih tinggi, misalnya guru, leluhur, dewa. Hal ini berarti “mantra” merupakan salah satu bagian dari magis itu sendiri.
Pengamalan MOJ selalu bersinggungan dengan dimensi mistik. Mistik atau suluk disebut juga tasawuf. Mistik adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari bagaimana orang dapat berada sedekat mungkin dengan Tuhan (Mulyono, 1983:57). Laku mistik biasanya ditempuh dengan cara bertapa, mengasingkan diri, dan bersemedi (merupakan salah satu dari tiga koponen pokok dalam pengamalan MOJ: patrab, laku, ubarampe). Damardjati (2001:99-100) merumuskan makna mistik sebagai persoalan tentang gaib, rahasia-rahasia terdalam. Mistik juga dipahami sebagai eksistensi tertinggi, atau lenyapnya segala perbedaan, atau kesatuan mutlak hal-ikhwal, atau dasar-dasar dari segala pengalaman, atau ketiadaan, mistik juga berarti pamoring kawula-Gusti (bersatunya  manusia dan Tuhan), puncak kecintaan makhluk kepada Khaliknya sebagai suatu pengalaman dan aktivitas spiritual yang disertai peniadaan atau pengabaikan diri, bukanya bersifat teori tetapi bersifat praktis.
Penelitian ini juga menggunakan pendekatan “meta ilmiah”, yaitu suatu pendekatan yang mendahului sains untuk mendekati realita. Pendekatan ini dilakukan dengan cara masuk tepat ke dalam objek, melihat objek sebagaimana adanya. Fromm, Suzuki, dan Martino (2004:24-25) menyebutnya dengan pendekatan Zen, yaitu suatu metode pendekatan dengan cara melihat objek dan unsur lain yang terkait dengan objek secara menyeluruh (holistik). Konsep Zen yang telah banyak ditulis oleh para peneliti merupakan analogi yang sangat dekat dengan sandi-sandi sastra ilmu Jawa yang biasanya dibungkus dengan bentuk saloka (kata/kalimat kiasan). Sebagai contoh adalah saloka-saloka berikut: “warangka manjing curiga (wadah keris masuk dalam kerisnya), “bisa ngemot sakisining tri loka” (bisa mewadahi seisi tiga dunia), golekana tapaking kuntul nglayang (carilah bekas telapak kaki burung yang terbang), golekana gigiring punglu (carilah sudut pelor; waktu lampau pelor berupa gotri bulat), “ing ngendi galihing kangkung” (dimana inti tanaman kangkung), “golekana kayu gung susuhing angin” (carilah sarang angin di pohon besar) dan lain-lain. Saloka tersebut merupakan hal yang tidak masuk akal (Jw: ora ketemu nalar). Dalam ajaran Zen, saloka tersebut dikenal dengan istilah koan. Koan adalah kata atau kalimat—bisa berupa kalimat tanya, kalimat seru—yang biasa digunakan oleh para Master untuk mencerahkan pikiran (mencapai satori) para muridnya.
Para pencari pencerahan dipusingkan atau dibuat bingung karena memikirkan jawaban atau pemacahan koan tersebut. Tujuan dari koan ini adalah untuk mendesak, bahkan membunuh kekuatan intelektual supaya berhenti bekerja, dan digantikan dengan kondisi kemurnian; berhentinya aktivitas pikiran. Daya intelektual tidak akan pernah mampu menembus pemahaman di luar ranah logikannya. Kesulitan mencari misteri kunci pencerahan ini dijawab oleh kebijaksanaan Jawa dengan ungkapannya, “amarga sing dianggo lagi nalare dudu rasane” (yang diandalkan barulah logikanya, belum memakai rasa’nya/intuisinya). Kesimpulan yang bisa ditarik adalah bahwa saloka-saloka tertentu dalam ungkapan orang Jawa yang terdapat pula dalam beberapa teks MOJ adalah untuk menghentikan aktivitas logika kemudian digantikan oleh kesadaran “rasa jati” yang memang tidak bisa dijangkau oleh akal manusia. Dalam kondisi ini, manusia dipercaya telah bersatu dengan ‘karsa Illahi’.

METODE PENELITIAN
Metode penelitian ini mencakup: (1) Bentuk dan Strategi Penelitian, (2) Lokasi Penelitian, (3) Sumber Data dan Data Penelitian, (4) Teknik Pengumpulan Data, (5) Validitas Data, (6) Teknik Analisis Data. Bentuk penelitian ini adalah Kualitatif Deskriptif. Hal ini mengingat bahwa data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa kata-kata, kalimat atau gambar (rajah) yang memiliki makna lebih dari sekedar angka atau frekuensi. Penelitian dalam kasus mantra ini tidak mengembangkan pengetahuan lewat konstruksi spekulatif di dalam budi—rekayasa pikiran untuk membentuk teori—seperti yang telah dirintis sejak Sokrates hingga Hegel, tetapi menangkap makna pengetahuan lewat kehadiran data dalam kesadaran budi.
Lokasi penelitian ini di wilayah kebudayaan Eks Karesidenan Surakarta (Boyolali, Sukoharjo, Wonogiri, Klaten, Sragen, Karang Anyar). Pemilihan lokasi awal ini dipandang tepat mengingat beberapa hal, antara lain sebagai berikut: (1) di wilayah ini terdapat pusat kebudayaan tempo dulu, yaitu: Karaton Kasunanan dan Pura Mangkunegaran, (2) masih dijumpai upacara-upacara ritual di beberapa daerah pada medan penelitian ini, (3) bahasa Jawa masih digunakan sebagai bahasa komunikasi sehari-hari atau bahasa ibu. Sumber data dalam penelitian ini dapat dibedakan menjadi sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer pertama dalam penelitian ini adalah informan atau narasumber. Informan yang dipilih adalah orang-orang yang benar-benar memiliki pengetahuan dan  kemampuan dalam bidang mantra, terdiri dari para dhukun, kyai, paranormal atau para sesepuh adat. Sedangkan sumber data sekunder berupa buku-buku mantra yang banyak tersebar sebagai pembanding (Sutopo, 2002).
Data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua kelompok, yakni Data Primer dan Data Sekunder. Data primer berupa mantra yang diturunkan secara langsung (wejangan), informasi dari wawancara dengan sumber dan pengguna mantra, perilaku dan barang-barang (sesaji) mantra. Sesuai dengan karakteristik datanya, data primer langsung dapat diperoleh dari lokasi penelitian. Sedangkan data sekunder berupa teks mantra, pedoman penggunaan mantra, tata cara dan upacara mantra, dan petunjuk-pentunjuk lain terkait dengan aktivitas mantra.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua, yaitu teknik pengumpulan interaktif dan non-interaktif (Goetz & Compte, 1984 dalam Sutopo, 2002:58). Keduanya dijabarkan ke dalam tiga teknik, yaitu: (1) wawancara mendalam, (2) observasi, dan (3) analisis isi. Validasi data dalam penelitian ini menggunakan teknik triangulasi dengan sumber, yaitu sumber data, baik dari sumber informan, data peristiwa, maupun dokumen (1987:331 dalam Moleong, 1990:178). Teknik analisis data yang akan dipergunakan dalam penelitian ini adalah teknik Analisis Interaktif. Analisis Interaktif adalah proses pengorganisasian dan pengurutan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat merumuskan hipotesis seperti yang disarankan oleh data. Analisis interaktif dibangun oleh adanya tiga komponen pokok, yaitu reduksi data, sajian data, dan verifikasi atau penarikan kesimpulan (Sutopo, 2002:96).

HASIL DAN PEMBAHASAN
A.    Struktur Teks MOJ
Isi yang terkandung dalam teks MOJ, selain menyatakan maksud dari pengamalan yang sesungguhnya menjadi indikasi daripada fungsi suatu mantra, juga berisi pengulangan sejarah mitologis. Artinya, dalam teks MOJ mencoba menghadirkan kembali peristiwa yang dipercaya ada di masa lalu, baik tentang kekuasaan dewa-dewa, nabi-nabi, kesaktian para raja serta para ksatria. Berikut adalah teks MOJ:
Teks MOJ untuk kanuragan:
(1)   Suksma Pawekas (MSP)
(2)   Sallalahu ngali wasalam
(3)   Mbok suksma pawekas
(4)   Sira metua lan jumbedula ana gawe
(5)   Bantunen jabang bayiku supaya peng-pengan
(6)   Dibacok ora tedas
(7)   Ditembak ora tumama
(8)   Apa ciptaku bisowa kelakon
(9)   Entuk ijine guruku, suksmaku, rasa kang sejati

Nomor (1) dan (3) menunjukkan identitas atau nama mantra, yaitu Mantra Sukma Pawekas (MSP). Nama mantra disini sering diartikan juga sebagai sumber kekuatan pada mantra. Kata ‘pawekas’ merupakan vocabulary bahasa Jawa. Keterangan dari narasumber pemberi mantra, MSP adalah mantra untuk menggugah kekuatan yang terdapat dalam inti roh. Sebelum kekuatan ini dibangkitkan, kekuatan yang terdapat dalam inti roh masih tertidur (lihat: kundalini dan atomisme pada pembahasan berikutnya). Arti kata ‘pawekas’ sejajar dengan arti kata ‘pepunthon’ memiliki arti ‘terakhir/pamungkas, pasrah/berserah’. Namun, setelah melakukan penyelidikan lebih lanjut, penggunaan kata ‘pawekas’ ini merupakan penyimpangan arti dan penciptaan arti karena penyimpangan ketatabahasaan seperti yang diungkapkan oleh Riffatere. Apabila kata ‘pawekas’ diartikan seperti makna yang disampaikan oleh narasumber, maka kata yang seharusnya dipakai adalah ‘kawekas’. Kata ‘wekas’ juga memiliki arti ‘menyampaikan pesan’. Sebagai contoh dalam dialog: “nduk, dhawuhe simbah mengko wekasna bapakmu ya”. Terjemahan: “nak, pesan eyang tadi tolong disampaikan ke bapak”. Narasumber mantra mengatakan bahwa MSP digunakan untuk membangkitkan kekuatan yang tertidur. Jika diperhatikan dengan seksama, makna ‘membangkitkan’ bisa berarti mengirim/menyampaikan pesan atau sinyal kepada inti roh.
Hal semacam banyak ditemukan dalam mantra lisan. Peristiwa seperti ini disebabkan sifat dari budaya oral yang bersifat luwes, ekspresif, dan kreatif. Penerimaan dan penyampaian sangat tergantung pada latar belakang sosial, pendidikan, adat, ekonomi dan kemampuan intuitif penutur dan petutur. Kesadaran akan hal ini sesungguhnya telah tercermin dalam istilah Jawa “sakdawa-dawane lurung isih dawa gurung”. Terjemahan: sepanjang apapun jalan, masih lebih panjang olah kata (diskursus masyarakat oral)”.
Nomor 2 adalah komponen salam pembuka yang berbunyi salalahu ngali wassalam. Artinya MSP telah mendapat pengaruh atau sentuhan Islam, namun terlihat jelas bahwa pengaruh Islam dalam mantra ini belum benar-benar maksimal, pasalnya dalam ungkapan salam tersebut berbunyi salalahu ngali wassalam, seharusnya Sallalahu alaihi wassalam (paling tidak). Hal ini kaprah  atau lazim di masyarakat kita, pelesapan ini semata-mata untuk mempermudah pengucapan seperti penyebutan kota Kartasura menjadi Tosura. Kata lain yang mengalami penyimpangan ketatabahasaan adalah suku kata Om menjadi Hong, awignam menjadi wigeno/wilaheng, Sri menjadi Seri, bismillah menjadi semilah. Kembali pada mantra di atas, bentuk pengaruh Islam tersebut terungkap dengan digunakannya bahasa Arab yang oleh khalayak umum diidentikkan dengan Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Komponen salam di dalam tubuh mantra memiliki relasi dengan komponen penutupnya, seperti: amin, la illaha ilallah, dll.
Nomor (3) adalah komponen niat. Meskipun tanpa ada kata atau frasa yang menyebut kata ’niat’, secara tidak langsung frasa mbok sukma pawekas telah merujuk ke pengertian niat yang telah menjadi tindakan memanggil, mengamalkan, atau mengaktifkan kekuatan sukma pawekas seperti yang tersebut dalam mantra. Jika dirunut dengan teliti, salam pembukapun sesungguhnya telah merujuk pada niat seseorang untuk mengamalkan sesuatu, dalam hal ini adalah pengamalan mantra. Pada banyak MOJ, komponen niat ditunjukkan oleh frasa matak ajiku (terjemahan: mengamalkan/mengaktifkan ajianku) si balasrewu, sedangkan pada data H. 1 tertulis lengkap ”sun mateg ajiku si kutut putih” (terjemahan: aku mengamalkan ajianku –bernama– kutut putih) Membandingkan dua buah Mantra Kanuragan dengan satu Mantra Pengasih, telah memberikan keterangan pasti untuk mengungkapkan bahwa komponen niat sering kali menunjukan nama mantra atau kegunaan mantra sekaligus formula mitologis (misal: balasrewu) yang ada di dalam teks mantra. Menurut narasumber ketika menurunkan ilmu (Jw: mejang ngilmu) mengatakan bahwa niat merupakan sesuatu yang terpenting dalam berguru atau beraktivitas lain seperti mempraktikkan mantra, selanjutnya niat tersebut akan mengggugah kekuatan-kekuatan terpendam dalam diri untuk bangkit dan bekerja.
Komponen nomor (1) dan (3) pada mantra ini juga termasuk di dalam komponen tanda, yaitu  simbol. Mbok sukma bermakna ibu daripada roh atau daya hidup atau disebut juga prana. Dalam pemahaman Hinduisme, mbok sukma identik dengan percikan Brahman yang disebut Atman. Atman inilah yang menjadi kehidupan dan melakukan perjalanan dari waktu ke waktu dalam kuanta waktu yang tak menentu untuk kembali bersatu dengan Brahman atau Tuhan. Dengan begitu, mantra ini adalah mengolah daya hidup untuk menjadikan kreatifitas cipta turun ke dunia material. Disinilah intelektual terbentur, dan imaginasi menggantikan perannya. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah siapakan sukma kawekas ini dalam alam pencitraan? Dalam penelusuran ini, peneliti mencoba mencocokkan pemahaman pencitraan dengan dua orang murid yang lain, dan hasilnya berbeda-beda. Pertama, peneliti memahami dan melihat pencitraan representasi dari mbok sukma kawekas dalam wujudnya cahaya putih seperti fosfor yang keluar dari dalam diri melalui tengkuk. Kedua, siswa pertama menyatakan bahwa mbok sukma kawekas berujud seperti dirinya sendiri dalam selimut cahaya yang tiba-tiba keluar begitu saja tanpa tahu darimana wujud pencitraan itu keluar. Ketiga, siswa kedua menyatakan bahwa sukma kawekas berujud wanita. Dalam pemahaman Taoisme, ada feminisme dalam maskulin, dan ada maskulin dalam feminisme. Jajak pendapat yang peneliti lakukan cukup untuk menunjukkan bukti bahwa pengalaman spiritual setiap individu akan berbeda satu dengan yang lain, dan hal tersebut bukanlah sesuatu yag harus diperbantahkan atau dipertahankan mati-matian kebenarannya. Hal ini dapat dikatakan sebagai satu esensi dalam seribu wujud. Yang jelas, narasumberpun tidak memberi penjelasan yang pasti untuk masalah ini. Semua narasumber selalu mengatakan hal yang sama, ”sing penting dilakoni sik” (terjemahan: yang terpenting jalanilah dulu) ketika ada orang yang bertanya tetang apa, siapa, mengapa, dan bagaimana dengan prosesi mantra.
Nomor (4) dan (5) adalah komponen perintah. Dalam mantra ini si pemantra memerintah Sukma Pawekas untuk keluar menjalankan tugas membantu menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi oleh si pemantra, yaitu agar si pemantra menjadi kebal. Tugas di sini bisa pula berarti tugas mantra tersebut menunaikan fungsinya. Jadi jelas bahwa memilih mantra untuk suatu tujuan tertentu sangatlah penting. Artinya, untuk tujuan X diperlukan mantra X pula.
Nomor (6) dan (7) adalah komponen sugesti. Mantra di atas memberi daya saran mental kepada si pemantra dalam rangka meningkatkan rasa percaya diri. Daya saran yang diberikan mantra kepada pelaku mantra ini adalah si pemantra seolah-olah menjadi kebal senjata tajam dan selalu terhindar dari serangan timah panas/senjata api.
Nomor (8) adalah komponen harapan. Pemantra berharap supaya apa yang dicipta dalam alam fuikirannya, yang tersurat dalam rangkaian kata-kata pada syair mantra yang dilantunkan akan menjadi kenyataan atau terwujud di alam material. Pada komponen ini pemantra memantapkan keyakinan dan rasa hormat terhadap mantra ini.
Nomor (9) adalah komponen penutup sekaligus komponen sugestif dan penguatan simbol visualisasi. Apa yang telah dicipta dalam alam fikiran pemantra akan benar-benar bisa terwujud karena telah mendapatkan ijin dari guru, roh, dan rasa sejati. Menurut narasumber, ketiganya tersebut adalah simbol nama untuk Gusti Allah atau Tuhan yang setiap nama memiliki teretorial otonomi kekuasaan masing-masing. Apabila dicermati secara teliti, konsep ini mirip sekali dengan konsep Kristiani yang disebarkan oleh St. Paulus, yaitu konsep Tri Tunggal yang menyatakan Allah sebagai Bapa, Allah sebagai Putra (Yesus Kristus), dan Allah sebagai Roh Kudus.
Makna dalam teks mantra diperoleh dengan pemahaman kontekstual. Sebagai contoh adalah kalimat berbahasa Jawa ”ana kidung rumeksa ing wengi”. Kalimat tersebut apabila dibaca secara heuristik (lapis arti) akan didapatkan arti ”ada lagu yang menjaga malam”. Namun apabila dibaca secara retroaktif (lapis makna) akan didapatkan makna ”inilah lagu(keselamatanyang menjaga kita dari ancaman si jahat (santet, guna-guna, tenung, sihir)”. Kata ’malam’ (Jw: wengi) bukan saja menunjuk pada kondisi waktu—malam hari—melainkan lebih merujuk kepada konotasi aktifitas ’dunia kegelapan’. Mantra merupakan sebuah kebulatan makna yang menggunakan bahasa sebagai media. Di bawah ini adalah pola struktur ideal teks MOJ:
1)      Awal/purwa: Kepala
Unsur awal meliputi komponen salam pembuka, komponen niat, dan komponen nama mantra.
2)      Tengah/madya: Tubuh
Unsur tengah meliputi komponen sugesti, komponen perintah, komponen tanda, komponen nama sasaran (untuk mantra pengasih dan pengobatan), komponen tujuan, dan komponen harapan.
3)      Akhir/wasana: Kaki
Unsur akhir terdapat komponen penutup.
Pemilihan istilah di atas dengan pertimbangan konsep pemahaman atau kawruh kebatinan yang peneliti peroleh dari para guru yang sekaligus sebagai narasumber penelitian ini. Konsep tersebut mengatakan bahwa genepe wong Jawa kuwi telu, artinya ‘yang dianggap genap bagi orang Jawa adalah bilangan tiga’, yaitu masa awal, masa tengah, dan masa akhir, atau dengan penjelasan lain adalah siklus kehidupan yang dimulai dari lahir, hidup, dan mati. Tidak semua MOJ memiliki struktur ideal, ada yang timpang, dan acak.
A.     1 Formula dalam MOJ
1)      Formula Bunyi
Setiap karya sastra adalah merupakan rangkaian bunyi, dan dari bunyi itulah kemudian timbul arti. Jones (1958:12) sebagaimana dikutip oleh Marsono (2006:16), bahwa secara umum bahasa dibedakan atas: vocal, konsonan, dan semi vocal. Dalam mantra sistem Hindu, bunyi merupakan unsur pokok pembangunnya. Syair-syair mantra kadang-kadang secara etimologis tidak memiliki makna. Hal ini dikarenakan memang mantra tersebut dirahasiakan oleh pemiliknya atau dengan alasan lain yang belum mampu dijelaskan pada zaman itu (penyelarasan gelombang). Hanya orang-orang tertentu yang mengetahui maksud kata atau syair mantra tersebut, yaitu para Maharsi. Satu hal yang cukup menarik bahwa orkhestrasi bunyi (voice) yang mampu menimbulkan kesan perasaan yang mendalam, kesan magis yang menerawang jauh di luar kenyataan sebenarnya, kesan yang menimbulkan situasi dan suasana khusus.
Sastra Jawa mengenal istilah “Daya Sastra”, yaitu kekuatan sastra, kekuatan aksara yang memiliki bunyi mendengung. Contoh: ng-Gendong, eN-Dodok ,eM- Balang. Dalam literatur mantra Hindu, mantra harus memenuhi dua syarat pokok, yaitu song and sound (lagu/irama/ritme dan suara), misal: OM, AUM. Sebagai contoh:
Teks MOJ untuk menolak gangguan makhluk halus
(1)   Allahumma watuteluwatitu
(2)   Watuteluwatitu watuteluwatitu
(3)   Allahumma watuteluwatitu

Rangkaian utuh bunyi vocal teks mantra di atas akan menjadi: A-U-O-U-A-A-U-E-U-A-I-U-A-U-E-U-A-I-U-A-U-E-U-A-I-U-A-U-O-U-A-A-U-E-U-A-I-U. Vocal A ganda dibaca A dengan tempo yang lebih panjang seperti dalam tata bahasa Sanskrit. Menurut teori gelombang bunyi, suara vocal yang demikian mampu menembus lais-lapis gelombang yang pada waktunya akan membawa pada kondisi ‘jenuh’ dan memasuki kondidi trans dengan kekuatan adi kodrati atau sering disebut sebagai “ruang kudus/hierofani kinestik”. MOJ telah menunjukkan bukti terjadinya “Jawanisasi” dalam proses diffusi ke proses akulturasi selektif. Fakta ini menunjukkan bahwa kondisi trans untuk menciptakan atau menemukan visualisasi atau citra mental hampir selalu diikuti dengan bunyi-bunyian (bacaan mantra) dengan tingkat frekuensi tertentu.
2) Formula Diksi dan Gaya Bahasa/Majas
Majas adalah komponen pembangun mantra yang memiliki hubungan intim dengan diksi atau pilihan kata yang digunakan di dalam mantra. Khususnya di dalam mantra, sering peneliti jumpai majas (simile) di dalamnya, seperti: cahyaku cemeng saloka dadaku. Terjemahan: cahayaku cahaya hitam, dadaku bak slaka (campuran emas dan perak).
3) Formula Imaginasi
Imaginasi yang peneliti maksud bukanlah konsep tentang imaginasi yang telah mengalami evolusi setiap periode zaman yang terlalu berbelit-belit. Imaginasi dalam konteks ini sangat berbeda dengan khayalan, ilusi, atau sekedar membayangkan. Imaginasi di sini sangat sederhana difahami, yaitu suatu proses kreatif dalam ruang pikiran untuk menciptakan gambaran-gambaran yang bersifat audio visual. Tentu saja daya untuk membentuk gambaran ini adalah melalui pencerapan atau sensasi penginderaan. Tedjoworo (2001:15-25) mengatakan bahwa imaginasi merupakan tindakan kesadaran menciptakan maknanya sendiri dari dirinya sendiri dengan catatan bahwa kemungkinan besar sesuatu yang difikirkan sebagai ’bisa terjadi’. Imaginasi pada MOJ diperlukan mulai dari proses pengamalan hingga sesudah pengamalan mantra. Sebagai contoh adalah mantra pengasihan. Si pemantra diharuskan membayangkan wajah orang yang dituju. Selanjutnya, secara otomatis seseorang yang mengidamkan lawan jenis akan membentuk dunia imaginer romantisme dalam ruang imaginernya. Jenis imajinasi seperti ini disebut dengan istilah imagery eidetic (lihat Jaynes dalam Robertson, 2009:30-31). Jenis imaji ini memang unik dan sulit dimengerti, dimana imaji menyerupai foto yang telah terekam di dalam memori otak kemudian diproyeksikan dalam media. Stimulan munculnya imajeri eidetik ini biasanya adalah rasa lapar. Peristiwa kimiawi unik dari otak yang disebabkan oleh rasa lapar dan hasrat besar pada tujuan menimbulkan kemampuan imajeri dengan gambaran yang luar biasa. Lebih dari itu, suasana ruang yang gelap mampu memberikan kondisi bagus bagi suatu proses proyeksi dan peniruan dari imaginasi mental tersebut. Jika kita komparasikan dengan aktivitas mantra, penjelasan ilmiah di atas sangat relevan dengan fakta keberadaan atau peristiwa aktivitas MOJ.
Setiap mantra yang disebut sebagai Mantra Ajian, selalu ada syarat laku atau berprihatin dengan cara berpuasa selama beberapa hari, ditambah lagi melakukan ritual pati geni atau berdiam diri di dalam kamar gelap untuk penutupan puasa. Tradisi pati geni ini sangat mungkin merupakan pengaruh dari kebudayaan Arya atau agama Hindu. Biasanya, saat pengamal mantra atau pelaku spiritual menjalani ritual-ritual seperti berpuasa dan pati geni, mereka mengaku mendapat gambaran-gambaran, penampakan gaib yang beraneka ragam macamnya pada tiap-tiap individu. Gambaran-gambaran mental ini selanjutnya mereka sebut dengan istilah “wangsit, pulung, dan tenger”. Benang merah yang dapat ditarik dari fenomena-fenomena tersebut tidak lain adalah adanya ”daya imaginasi visual”. Pencitraan ini diharapkan akan membuat hasil dari suatu tindakan terjadi seperti yang diharapkan.
B.     Makna Laku (Disiplin Ritual) MOJ
Penelitian ini tidak sekadar menyuguhkan paparan perkembangan kebudayaan mental yang bersifat interpretatif, namun lebih kepada makna yang ada pada Mantra Orang Jawa. Disadari betul bahwa ketika masyarakat mengikuti pola-pola yang dibuat khusus untuk kepentingan suatu kelompok, maka hal-hal yang awalnya hanyalah fiksi belaka akan menjadi sebuah ideologi. Hal tersebut merupakan konsekkuensi perkembangan pemikiran manusia baik secara partikular/individu maupun kolektif dalam tiga tahap, yaitu: (1) tahap mitis, (2) tahap ontologis, dan (3) tahap fungsionil (lihat Peursen 1988:18-21). Laku merupakan salah satu elemen terpenting dalam belajar MOJ untuk mendapatkan daya-daya spiritual dan supranatural. Berikut adalah hasil inventarisasi laku yang ada dalam MOJ.
1.      Pati Geni: Tidak makan, tidak minum, tidak tidur, berada dalam kamar, tidak buang air (besar/kecil) apabila malam tidak membuat penerangan.
2.      Nglowong: Tidak makan, tidak minum, tidak buang air, boleh tidur sejenak tetapi tidak bepergian.
3.      Ngebleng: Tidak makan, tidak minum, boleh tidur sejenak, tidak keluar kamar, boleh keluar kamar apabila ingin buang air.
4.      Mbisu: Tidak berbicara dengan siapapun. Biasanya dilakukan di tempat sepi dan jauh dari pergaulan.
5.      Mutih: Hanya makan nasi putih tanpa lauk dan minumnya air putih/ tawar.
6.      Mutih: Hanya makan nasi putih tanpa lauk dan minumnya air putih/ tawar, tetapi dibatasi saur dan buka(biasanya) tepat tengah malam.
7.      Mutih milang kepel/ngepel: Nasi putih dibuat kepalan, dan cara makannyapun diatur. Apabila laku selama 7 (tujuh) hari maka hari pertama makan 7 (tujuh) kepal, hari kedua 6 (enam) kepal dan begitu seterusnya hingga hari ketuju menjadi satu kepal. Tanpa minum.
8.      Nawa/tawar: Biasanya disebut laku mutih 40 (empat puluh) hari. Hakikatnya hanya mengkonsumsi makanan dan minuman yang tawar.
9.      Melek: tetap terjaga tidak boleh tidur dan tidak boleh nyambi/diselingi kegiatan/aktivitas apapun.
10.  Puasa: tidak makan dan tidak minum dalam hitungan 1 X 24 jam.
11.  Puasa weton/hari kelahiran: tidak makan dan tidak minum pada waktu hari kelahiran dalam hitungan 1 X 24 jam.
12.  Puasa senin-kemis: tidak makan dan tidak minum di hari senin dan kamis dalam hitungan waktu 1 X 24 jam.
13.  Puasa Ndaud (Daud, Nabi): satu hari puasa, satu hari tidak berpuasa.
14.  Puasa biasa: seperti puasa hari Ramadan.
15.  Prihatin dan tapa ngrame: mengurangi kesukaan/mengurangi bersenang-senang serta ikhlas menolong sesama tanpa pamrih.
16.  Kungkum: berendam di sungai tempuran (biasanya waktu yang dipilih adalah pkl 00:00 – 02.00).
17.  Ngedan: dengan sengaja menirukan stile orang gila pada umumnya.
18.  Tapa pendhem: adalah laku mengubur diri hidup-hidup, dan biasanya dilakukan selama 3 (tiga) sampai 7 (tujuh) hari 7 (tujuh) malam.
19.  Ngrowot: laku puasa hanya memakan sayur-sayuran yang direbus tanpa bumbu penyedap apapun. Biasanya selama 24 jam makan pada waktu menjelang malam (pukul 18.00).
20.  Ngidang: laku ngidang adalah laku yang (cara makan) meniru perilaku kijang, yaitu merumput sampai ada orang yang ngelokne/ mengatai “ada kijang!” barulah laku tersebut dianggap selesai, dan biasanya orang yang menjalani laku ini melakukan kompromi terlebih dahulu dengan salah seorang temannya agar ritualnya cepat selesai.
21.  Tapa bolot: tidak mandi atau membasuh diri dengan air selama waktu tertentu.

Catatan khusus dalam pembahasan ini bahwa semua laku di atas dimulai menjelang matahari terbenam setelah melalui tahap penyucian raga/lahir. Dalam proses laku ini diharapkan membawa sikap rendah hati, sabar, tabah, nrima, lila legawa, nalangsa atas semua dosa yang telah diperbuat. Sikap batin dan pikiran dianjurkan untuk selalu tenang, jernih, waspada, dan selalu ingat kepada Sang maha Pencipta (Jw: heneng, hening, awas, eling) sebagai tahap penyucian batin. Setelah selesai menjalani laku, biasanya ditebus dengan bancakan/syukuran yang berupa nasi gurih, daging ayam dengan niat atur dhahar Gusti Rosul doanya slamet kabul.
Selain laku yang telah dijelaskan di atas, sebenarnya masih banyak jenis laku yang dijalani para pengamal ilmu gaib seperti manekung/samadi, wiridan (mengulang-ulang doa pujian), mlaku nekuk sikil pisan (berjalan jauh sesuai dengan yang telah ditentukan namun hanya boleh sekali saja istirahat dalam posisi duduk), turu pisan (hanya sekali tidur dalam 24 jam, biasanya tidak boleh lebih dari 2 jam), tidur di bawah talang/grojogan/pancuran air genting, sesirih, nepi, bertapa, kaul, beramal dan lain sebagainya menurut lenging ati/niat yang muncul dari keyakinan hati orang yang akan mengamalkan mantra. Namun pada umumnya/kaprah digunakan adalah seperti tersebut diatas.
Mencari makna laku yang mengiringi tiap-tiap mantra sama halnya memegang angin. Dalam kasus ini mendekati dengan pengertian dasar hiper semiotika, hiper relitas. Sejauh apapun diamati dengan teori-teori sastra dan teori sosial yag lain, dapat dipastikan tidak ada korelasi yang tepat antara mantra dan lakunya. Substansi laku secara metafisik adalah meningkatkan kuantitas dan kualitas energi batin. Artinya, semakin lama seseorang menjalankan laku, semakin besar pula energi yang dikantunginya.
Hakikat laku yang kedua adalah menambah kemantapan seseorang dalam misi mengamalkan mantra, serta melatih konsentrasi atau berfikir secara fokus, yaitu hanya berfikir tentang apa yang dicita-citakan atau yang didamba-dambakan oleh si pengamal mantra. Jelasnya, menempatkan cita-cita atau harapan di atas kebutuhan yang lain. Tujuan laku adalah memberi makanan rohani dengan cara menempa raga, mengingat bahwa mantra bekerja secara batin, maka batin harus dikondisikan dalam keadaan kenyang.
Ritual kungkum bisa ditafsirkan sebagai upaya menekuni satu hal dengan kebulatan tekat (Jw: golong gilig). Pati Geni dapat ditafsirkan sebagai upaya menakhlukkan api amarah (setan) yang ada di hati. Puasa mutih dapat ditafsirkan sebagai upaya penyucian fikiran dan hati dari pengaruh-pengaruh nafsu-nafsu duniawi. Tapa pendhem bertujuan mengingatkan manusia hidup akan dunia kematian agar manusia segera bertobat dan memperbaiki akhlak di dunia. Ritual yang lain bertujuan mengolah perasaan atau kondisi intuitif seseorang. Misalnya dengan laku ngedan, pengamal bisa merasakan perasaan dihinakan oleh sesama. Tapa ngidang bisa membuat pengamal merasakan kehidupan binatang kijang. Perasaan-perasaan yang muncul dari ritual ini diharapkan bisa membangkitkan rasa penghargaan akan kehidupan alam. Capra (2003) menyebutnya dengan istilah ”ekologis organistik”.
Setiap ritual tertentu dalam aktivitas mantra selalu dipersiapkan sajen, baik sebelum menjalani ritual maupun setelah ritual selesai. Di Jawa dan Bali, setiap tempat yang dianggap angker diberi sesaji pada hari-hari tertentu atau pada saat acara tertentu, bahkan ada sesaji yang dibuat di luar acara dan hari tertentu. Sajen berasal dari kata ’aji’ yang berarti: raja, berharga, dihormati. Sajen merupakan seperangkat tanda yang mewakili niat serta kondisi batin atau mental. Sajen berupa bunga mawar menandakan niat hati yang harum. Biasanya berupa bunga setaman, bunga telon (tiga rupa), kembang piton (tujuh rupa). Bunga setaman melambangkan pluralitas dan pluralisme atau keberagaman yang manunggal.
Bunga tiga rupa melambangkan tindakan mengawali, melaksanakan, dan mengakhiri (Jw: purwa, madya, wasana). Bunga tujuh (Jw: pitu) rupa sebagai wujud permohonan agar mendapatkan pituduh, pitutur, pitulung (petunjuk, hikmah, dan pertolongan). Bunga kantil dalam sesaji ilmu pengasih sebagai lambang jatuh cinta (Jw: kumantil). Daun alang-alang sebagai lambang permohonan agar terhindar dari semua halangan dalam mencapai tujuan. Uang kertas seratus (Jw: satus) rupiah sebagai lambang kesungguhan upaya sampai memeras keringat ”ditus”. Air kelapa muda (Jw: degan) melambangkan air suci kodrati, artinya belum disentuh oleh manusia ataupun hewan. Dalam pengertian semiotik, sajen tidak melulu sebagai wujud penyimpangan, tetapi lebih kepada cara menyampaikan maksud dengan tanpa kata. Maksud yang terepresentasi dalam wujud sajen memiliki kesejajaran makna dengan mantra, dengan doa.
Laku-laku seperti di atas sesungguhnya merupakan jalan mencari ngilmu. Ngilmu menurut pemikiran jawa berbeda makna dengan ilmu yang memiliki pengertian intelektual. Ngilmu merujuk pada gnosis; bentuk-bentuk pengalaman mistik, religius, dan intuitif. Perjalanan spiritual ini disebut dengan olah rasa, yaitu mengolah kepekaan rasa sampai kepada penghayatan akan apa yang disebut dengan ”rahsa”. Rahsa lebih dalam dan gaib daripada rasa. Rahsa adalah tempat bertahtanya ’Gaib’. Metafora untuk rahsa adalah darah yang dikontasikan dengan makna ”hidup” (Jw: Sejatining Urip). Stange (2009:5) mencoba mendeskripsikan makna rasa sebagai kemampuan pengenalan untuk mengetahui aspek-aspek intuitif terhadap realitas. Pengalaman dan pengetahuan intuitif menurut paham Jawa dapat menjangkau ”wahyu”.

C.     Fungsi MOJ
Secara psikologis, fungsi mantra adalah sarana untuk menambah kekuatan mental. Artinya, mantra sanggup memberikan kekuatan bagi seseorang yang kehilangan rasa percaya diri dengan satu catatan ‘percaya penuh’. Mantra mengandung sugesti yang mampu membangkitkan etos, semangat, dan rasa percaya diri terhadap pemiliknya. Setidaknya terdapat 28 jenis MOJ berdasarkan fungsinya.
1)      Mantra panyuwunan: berfungsi untuk meminta anugerah baik yang berupa materi maupun anugerah kebahagiaan batin.
2)      Mantra tulak balak: berfungsi untuk mengembalikan hal-hal buruk yang datang menyerang, baik serangan dari makhluk halus maupun dari perbuatan orang lain dalam bentuk santet, tenung, teluh, guna desti.
3)      Mantra kawaskitan: berfungsi untuk melihat dan masuk ke alam lain. Berfungsi untuk melihat orang dari jarak jauh, untuk melihat masa lalu dan masa depan.  Mantra jenis ini dikenal juga dengan nama sorog. Mantra jenis ini dalam praktiknya lebih sering dipakai untuk nayuh pusaka (mengetahui kekuatan gaib penunggu pusaka).
4)      Mantra kanuragan: mantra-mantra kanuragan digunakan untuk mencapai titik “atosing balung, uleting kulit” atau lebih dikenal dengan istilah kebal. Mantra kanuragan ini biasanya bersifat membuat kebal senjata api, senjata tajam, dan kebal pukulan.
5)      Mantra Guru Sejati: mantra jenis ini bersifat multi fungsi, artinya bahwa dalam pengamalannya tergantung maksud pengamal. Kekuatan yang dipanggil berasal dari dalam diri yang dianggap sebagai guru kehidupan.
6)      Mantra pengobatan: mantra jenis ini berfungsi untuk penyembuhan segala macam jenis penyakit.
7)      Mantra Sanggama: berfungsi untuk menambah kenikmatan dalam aktivitas seksual. Dipercaya bahwa dengan mengamalkan mantra senggama, maka pasangan tidak akan berselingkuh dengan orang lain. Kepercayan ini berdasar pada anggapan bahwa mantra senggama juga berguna sebagai perekat hubungan pasangan setelah melalui hubungan seksualitas.
8)      Mantra pengasihan khusus: berfungsi untuk menakhlukkan hati lawan jenis. Biasa dipakai oleh orang-orang yang mencari pasangan. Ada beberapa mantra pengasihan khusus tertentu disebut sebagai golongan ilmu pelet.
9)      Mantra pengasihan umum: berfungsi dalam merekatkan hubungan dengan sesama, meningkatkan kualitas aura, meningkatkan kualitas empati, dan menarik perhatian umum.
10)   Mantra pangruwatan: berfungsi membersihkan aura kotor, menghilangkan kesialan, merubah nasib buruk menjadi lebih baik, memperbaiki kelakuan, dan penyempurna tingkat spiritual seseorang.
11)  Mantra tolak udan: berfungsi untuk menahan turunnya air hujan atau memindah arah turunnya hujan.
12)  Mantra Brojol: berfungsi melancarkan proses persalinan. Juga digunakan untuk membuka gembok.
13)  Mantra ngedohke ula lan kewan galak: berfungsi untuk menjauhkan gangguan ular dan hewan buas lainnya agar tidak masuk rumah, agar tidak datang mengganggu pengamal mantra.
14)  Kidung Mantraweda: dipercaya bahwa mantra dalam bentuk kidung Mantraweda memiliki multi kegunaan seperti yang dijelaskan dalam teks. Mantra ini akan lebih manjur dengan cara pengucapan dilagukan dengan metrum macapat dhandhanggula.
15)  Mantra pager diri (keslametan), pager omah, santet (nyerang): berfungsi melindungi diri dari serangan atau gangguan makhluk halus, hewan, serta manusia lain yang datang secara tak terduga. Mantra menyerang digunakan untuk melumpuhkan orang lain dari jarak jauh tanpa melalui kontak fisik.
16)  Mantra mbukak Aura: berfungsi untuk membuka aura atau prana seseorang. Aura yang masih tertutup dianggap menarik hal-hal buruk dan mudah mendapat gangguan fisik maupun non fisik. Aura yang telah dibuka dipercaya bisa menarik rejeki dan mendatangkan kebahagiaan. Selain itu dipercaya bahwa aura yang telah terbuka akan meningkatkan kualitas spiritual seseorang.
17)  Mantra bangun tidur tepat waktu: berfungsi agar bisa bangun tidur tepat waktu sesuai yang direncanakan dalam keadaan segar bugar.
18)  Mantra manekung: berfungsi untuk menuntun dalam proses semedi dan mempercepat kondisi semedi. Mantra manekung juga berfungsi untuk mempertajam penghayatan dan pengetahuan terhadap kasunyatan. Mantra jenis ini digunakan oleh pengamal untuk melakukan pemisahan badan halus dan badan fisik (Jw: (ng)raga sukma).
19)    Mantra betah luwe: berfungsi untuk menahan lapar dan haus. Biasanya diamalkan ketika menjalani puasa atau ritual khusus selama beberapa hari.
20)   Mantra betah melek: berfungsi untuk menjaga ketahanan mata agar tidak kelelahan dan tertidur. Mantra ini biasanya diamalkan ketika menunggui orang meninggal dunia di hari selasa kliwon. Mantra ini lebih sering diamalkan ketika pengamal mantra sedang menjalani laku khusus yang harus ditebus dengan syarat tidak tidur selama beberapa hari. Dipercaya oleh orang Jawa bahwa laku melek merupakan laku yang paling berat dalam proses spiritual. Namun terjaga atau melek dalam konteks ini tidak sekadar ’tidak tidur’ selama berhari-hari dan berkegiatan menyibukkan diri dengan hal-hal anorma. Laku melek harus disertai dengan pengendalian diri, pengekangan nafsu, perasaan pasrah, nalangsa (menyesali dosa-dosa). Dan yang diharapkan adalah mencapai ketenangan serta keheningan pikiran dan batin.
21)  Mantra pengeling-eling: mantra ini berfungsi untuk meningkatkan daya ingat atau menghindari kondisi ’cepat pikun’, tidak mudah lupa terhadap apa saja yang pernah dilihat, didengar, dipelajari dan dialami sebagai pengalaman berharga.
22)  Mantra penglarisan: berfungsi untuk menarik konsumen atau pelanggan, meningkatan kuantitas penjualan barang atau jasa. Mantra penglarisan digunakan oleh kaum pedagang (barang dan jasa) untuk meraih keuntungan yang banyak.
23)  Mantra sirep: berfungsi untuk menidurkan orang baik secara massal maupun perorangan. Mantra sirep biasanya digunakan oleh para pencuri untuk menidurkan penjaga ronda dan pemilik rumah yang disatroni. Mantra ini bersifat memaksakan kehendak terhadap kesadaran orang lain.
24)  Mantra Kasukman: mantra ini berfungsi dalam mempelajari hal-hal yang bersifat gaib, yang berhubungan dengan roh atau nyawa. Mantra kasukman digunakan untuk menunjukkan jalan pelepasan pada orang yang sulit meninggal dunia. Mantra jenis ini ada pula yang disebut dengan nama mantra pangracutan. Mantra pangracutan diamalkan apabila ada seorang yang sakti dalam keadaan sekarat. Dipercaya bahwa roh seseorang tersebut tersiksa dalam wadag-nya karena digondeli oleh ilmu kesaktian yang diperoleh semasa hidupnya. Dengan mateg mantra pangracutan, roh seseorang tersebut akan segera terbebas dari raganya.
25)  Mantra tetanen: diamalkan pada waktu musim bercocok tanam dengan maksud agar hasil panen sesuai dengan harapan. Mantra bertani berfungsi untuk menjauhkan hama tanaman, menjaga kesuburan tanah dan kelancaran irigasi.
26)  Mantra dhanyangan: mantra ini berfungsi untuk berhubungan serta  mendatangkan makhluk gaib penunggu tempat tertentu atau pusaka tertentu. Tujuan mengundang roh atau kekuatan alam ini adalah meminta bantuan dari daya-daya dalam mencapai tujuan. Sebagai contoh pengamalan mantra dhanyangan adalah dalam kasus pemilihan kepala desa. Mantra dhanyangan bersifat fleksibel, artinya, bisa dikategorikan sebagai ilmu putih, bisa ilmu hitam, dapat pula abu-abu (mengandung unsur hitam dan putih). Apabila digunakan dalam upaya mencari ketentraman dapat dinyatakan bersifat putih, tetapi sebaliknya, apabila digunakan untuk menyantet, tenung, teluh, dan guna dhesti, jelaslah bahwa sifatnya hitam. Namun pada hakekatnya semua mantra beserta kekuatannya akan berada pada posisinya masing-masing tergantung pada praktik pengamalnya
27) Mantra puter giling: berfungsi untuk memanggil orang hilang, mendatangkan orang dari tempat yang jauh. Teknik mengamalkan mantra ini beraneka ragam. Ada yang melakukan membaca mantra pada saat menjelang tidur tengah malam. Namun ada juga yang menyiapkan perlengkapan ritual seperti gentong atau ember yang telah diisi air, kelapa muda yang telah dibelah untuk digunakan sebagai alas kaki saat ritual pemanggilan, lilin/dian, serta barang berupa pakaian, rambut, kuku, atau foto orang yang dimantrai.
28) Mantra judi: berfungsi untuk meraub kemenangan saat berjudi. Pengamalan mantra ini disertai dengan penyesuaian hari dan pasaran ketika berjudi, serta arah keberuntungan (naga dina).

C. 1 Kesejajaran Konseptual Sains dan Mistik (Sunyata) dalam MOJ
Otak dari setiap manusia yang masih hidup selalu menghasilkan gelombang listrik fluktuatif. Gelombang listrik inilah yang sering disebut sebagai ’gelombang otak’. Dalam perkembangan medis berkenaan dengan psikologi, gelombang otak manusia diukur dengan alat Elektro Enchepalograph (EEG). Gelombang otak memiliki tingkat-tingkat frekuensi yang berlainan seperti berikut.
1.      frekuensi Beta (12-25 Hz): gelombang ini dominan pada saat seseorang dalam kondisi sadar penuh yang menuntut logika dan analisa tingkat tinggi.
2.      frekuensi Alfa (8-12 Hz): dominasi gelombang ini terjadi pada saat seseorang dalam keadaan rileks. Gelombang ini sering disebut sebagai kondisi meditatif. Gelombang alfa berfungsi menghubungkan alam sadar dan bawah sadar. Mantra-mantra tertentu biasa digunakan untuk wirid dengan tujuan memasuki wilayah gelombang alfa agar menghasilkan suasana aman, nyaman, dan tenang.
3.      frekuensi Teta (4-8 Hz): gelombang ini mendominasi pada saat seseorang dalam kondisi hipnosis yang cukup dalam atau meditasi dalam. Orang Jawa menggambarkan pengalaman ini dalam syair ”...layab liyebing aluyub”. Yaitu kondisi setengah tidur, setengah terjaga. Ini disebut sebagai gerbang ’gaib’.
4.      frekuensi Delta (0,1-4 Hz): kondisi ini seperti orang yang tidur nyenyak tanpa mimpi (suwung).
5.      gelombang Epsilon (dibawah 0,5 Hz): untuk gelombang ini belum banyak diketahui oleh para peneliti. Gelombang ini merambat dengan kecepatan cahaya 299.792,46 Km/detik. Nyaris berkecepatan sama dengan kecepatan cahaya (SI) yang dilambangkan dengan c =  300.000 Km/detik (lihat Diddi, 2010:15-25, Agiel, 2010:104-106).
Telah disepakati bahwa cahaya matahari memerlukan waktu sekitar 8 menit untuk menempuh jarak ke bumi (lihat Capra,1991:169). Einstein memperkenalkan persamaan matematis yang sederhana namun sangat sulit dan rumit sebagai berikut: E = m.c². E adalah energi, m adalah massa benda, dan c adalah kecepatan cahaya (300.000 Km/detik). Dalam waktu 8 menit pikiran manusia telah mampu menjangkau jarak bumi-matahari. Dalam waktu satu detik, pikiran manusia mampu menempuh jarak lebih dari 300.000 Km. Sebagai contoh, jika anda pernah pergi mengelilingi bumi, sekarang pikiran anda akan dengan cepat dan mudah mengulanginya kurang dari satu detik. Dalam Jawa diungkapkan sebagai berikut:
weninging cipta wus kawasa ngungak sakisining  tri loka”
(terjemahan: pikiran jernih mampu melihat aktivitas tiga dunia: bumi, langit, sorga)
“keplasing cipta wus kawasa mobah wasesaning mangsakala
(terjemahan: pikiran melesat (ke alam takdir) untuk merubahnya)
Peristiwa mistik tersebut begitu cepatnya bagai kilat. Oleh orang Jawa dipergunakan metafora ”pindha pesating supena sumusubing rahsa jati”; bagaikan mimpi yang merasuk sanubari. Maka tidak heran jika masalah ’pikiran’ begitu penting setelah rasa. Tidak heran apabila seseorang yang telah mampu mengolah mentalnya dikatakan ”lantibing cipta ngungkuli landheping curiga”; tajamnya pikiran melebihi ketajaman keris pusaka. Manusia pada tahap ini dikatakan sebagai ”jalma limpat seprapat tamat; waskitha; mengerti sebelum diajarkan. Jika benar bahwa mantra merupakan bentuk bahasa afirmatif, maka hukum aksi pikiran berlaku dalam kasus mantra.
Hukum pikiran mengatakan bahwa hal-hal yang ada dalam pikiran (mental) akan terwujud secara persis sama di dunia faktual (Giardina, 2003:27). Aktualitasnya bekerja sesuai daya saran yang diserap oleh alam bawah sadar. Pikiran digolongkan menjadi tiga, yaitu pikiran tak sadar, pikiran sadar dan pikiran bawah sadar. Pikiran bawah sadar selalu memberi respon dan mengusahakan apa yang tertanam dipikiran atau mental sadar. Pikiran sadar berkait erat dengan akal, logika. Pikiran bawah sadar berkait dengan hal-hal imaginer dan kepercayaan. Percaya berarti menerima suatu hal sebagai benar. Hukum kepercayaan mengatakan bahwa ”sesuai dengan kepercayaan anda, akan terjadi pada anda (Murphy, 2008:63, 81), karena sebagian besar pemikiran kita dilakukan di bawah sadar, dan tanpa kita sadari kognisi alam bawah sadar membentuk dan menyusun segala pemikiran sadar (Capra, 2009:74,78). Karena daya-daya, efek-efek dari segala hal adalah energi, maka dapat ditarik benang merah bahwa energi mengalir mengikuti pikiran.
Metode afirmatif mental bawah sadar dengan cara mengulang-ulang syair mantra tertentu, misalkan pada kutipan mantra pengasih, dalam teori swahipnosa dianggap sangat efektif. Syair mantra ini bersifat past tense, artinya seolah-olah hal yang diharapkan sudah terjadi. Sikap memasuki swahipnosa (menghipnosis diri) biasa dilakukan dengan cara memandang ujung hidung (lihat Krishna, 2006:69). Sikap ini seperti sikap manekung atau semedi dalam gaya Jawa. Afirmasi daya saran positif akan efektif apabila ditanamkan pada bawah sadar seseorang ketika dalam keadaan relaks penuh. Tujuannya adalah untuk mengatasi masalah mental yang sedang dihadapi (lihat Rafael, 2010:10).
”...
Raga jiwane si...
Teka welas teka asih marang jabang bayiku

Kalimat-kalimat di atas bersifat past tense. Pengamal mantra telah meyakini hasil atau efek mantra yang diamalkan, yakni wanita yang dituju sudah jatuh cinta atau cinta mati terhadap pengamal mantra pengasih. Pengamalan mantra ini dilakukan selama tiga hari tiga malam puasa ngrowot, mantra diucapkan berulang-ulang. Tujuannya adalah meningkatkan kualitas keyakinan akan hasil. Bertolak dari teori pola kerja pikiran di atas, bisa dipastikan bahwa bawah sadar akan mengkonkritisasi diri menjadi seperti daya saran dalam syair mantra. Pengamal mantra ’telah’ membuat orang lain ’menjadi’. Bawah sadar akan mengejawantah dalam dunia faktual. Bawah sadar mencari informasi kosmik tentang kesesuaian pemantra dan yang dimantrai. Logika yang berlaku disini adalah sesungguhnya si pengamal mantralah yang melakukan penyesuaian mental dengan orang yang dituju.
Penjelasan di atas akan menjawab misteri yang selama ini menyelimuti wacana seputar ritual-ritual aktifitas mantra. Para guru (narasumber) tidak mampu menjelaskan kaidah-kaidah laku secara sistematik karena kurangnya pemahaman konsep-konsep dasar. Hal ini seperti seseorang petani yang ahli dalam mencangkul, namun tidak bisa mengajarkan metode mencangkul terhadap orang lain. Model perguruan dengan cara melihat, memperhatikan, dan mempraktikkan masih berlaku hingga sekarang. Gaya berguru seperti ini seperti pepatah ”anda akan menjadi seperti dengan siapa anda bergaul”.
Berpijak pada konsep di atas, kemanjuran suatu mantra sangat berkait erat dengan kepercayaan dan keyakinan pengamal mantra terhadap dogma keberhasilan akan hasil yang gemilang yang ada dalam mantra, selain ditopang dengan konsep-konsep kekuatan vibrasi, getaran, dan gelombang yang dihasilkan oleh kata-kata tertentu dalam mantra untuk mencapai tataran frekuensi Alfa atau frekuensi Teta. Keyakinan ini bisa muncul dari diri pribadi atau berasal dari stimulan wacana mantra yang digunakan, bisa juga berasal dari afirmasi syair-syair mantra. Masalah keyakinan ini yang sering ditekankan oleh sebagian besar narasumber kepada para murid atau pasien. Keberhasilan mencapai tujuan tergantung pada tingkat atau kualitas keyakinan seseorang.
Misteri laku atau ritual yang mengiringi praktik bermantra akan terungkap jika melihat fakta ilmiah di atas. Peneliti dan siapapun yang pernah memasuki jagad kebatinan sudah bisa dipastikan pernah menjalani ritual, atau paling tidak pernah mendengar ritual melek dan puasa dalam berbagai macam jenis. Setelah melakukan ekplorasi dan penyelidikan mendalam, peneliti menemukan maksud dibalik ritual-ritual tersebut. Pokok gagasan adalah mencapai keadaan trans atau layab luyubing aluyub untuk mencapai tataran frekuensi Teta. Hal ini sangat logis terjadi pada seseorang yang telah mengalami kelelahan mata selama puluhan jam (melek).
Proses di atas terjadi karena daya tarik-menarik dan dorong-mendorong antara syaraf sensorik dan motorik, antara perintah otak dan perintah ’kemauan/hasrat’. Artinya, kondisi Teta ini sengaja diciptakan atau dimunculkan. Tentang puasa, sudah bisa dipastikan bahwa tubuh mengalami kekurangan kalori sehingga menyebabkan daya-daya panca indra melemah. Dalam kondisi ini tingkat kesadaran mental seseorang digiring ke arah halusinasi dan imaginasi (Alfa) dan selanjutnya akan masuk kekesadaran meditatif (Teta) dalam ranah kepekaan spiritual tingkat tinggi.
Sejalan dengan pendapat Whitehead (2009:148) yang mengatakan bahwa kebenaran religius berkecambah dari pengetahuan yang diperoleh manusia tankala operasi inderawi dan intelektual yang biasa saja ini berada pada puncak kepekaan. Maka tidak heran apabila setiap guru selalu berpesan agar menjaga kesadaran agar tidak ketiduran. Begitu pula dengan bentuk-bentuk laku yang lain, bahwa semua laku merupakan permainan psikis/emosi sekaligus kognitif. Sampai pada pembahasan ini ditarik kesimpulan  bahwa praktik-praktik mengolah batin dan mental adalah proses penetralisasi, penyeimbangan, penyesuaian, dan transformasi energi melalui jalur/gelombang/frekuensi tertentu. Langkah ini merupakan upaya transformasi pemahaman fisika modern ke dalam ranah sastra budaya yang dicitrakan oleh beberapa kelompok sebagai anti sains. Selama ini sains dianggap sebagai hal yang sistematik. Hal ini telah digagas oleh Capra (2009:61, 78), seorang ahli fisika teoritik, filosof sekaligus mistikus terkemuka pada abad ini bahwa dialog antara sains kognitif dan tradisi kontemplatif meditasi menunjukkan bahwa bukti-bukti praktik meditasi akan menjadi bagian dari sains kesadaran apapun di masa depan.
Teori kuantum modern membuktikan bahwa semua atom bergetar pada tingkat frekuensi masing-masing, dan semua energi saling mempengaruhi tanpa bergantung pada jarak. Secara sederhana teori kuantum dapat difahami bahwa energi merupakan aliran foton (elektromaknit) yang berbentuk pulsa-pulsa terpisah yang sangat kecil dengan jumlah energi sebanding dengan frekuensi dari radiasi yang dipancarkan (lihat Stockley, Oxlade, dan Wertheim, 2000:84). Dalam konsep atomik dikatakan bahwa fenomena kuantum bisa berperilaku sebagai gelombang dan kadang berperilaku sebagai partikel. Elemen atom-atom ini menyesuaikan dengan alat diteksinya (Capra, 1991:150, Mappadjantji, 2005:73-74). Dalam mantra, akan dijumpai hal yang sama, yaitu antara batas yang disebut dengan ilmu hitam dan ilmu putih. Sebagai contoh adalah Mantra Kanuragan yang bisa digunakan untuk berbuat kebaikan ataupun kejahatan.
Efek mantra kanuragan bisa digunakan untuk ’berbuat baik’ (melindungi diri dari bahaya, menolong orang) dan bisa digunakan untuk ’berbuat kejahatan’ (merampok, berkelahi) tergantung niat dan moralitas orang yang akan menggunakannya. Dari kasus ini bisa disimpulkan bahwa batas hitam dan putih dalam mantra diukur dari kode etik dan moral. Dakwaan tentang ’kuat’ dan ’tidak kuat’ dalam menerima ilmu atau ajian tertentu ternyata lebih mengacu kepada managemen emosional seseorang. Orang yang belum mampu mengendalikan hawa nafsu dianggap tidak kuat memiliki ajian tertentu. Dengan ajian yang dimiliki, membuat seseorang dalam usia labil menjadi sombong. Dogma inipun bersifat ketidakpastian (relativitas). Fenomena hitam dan putih dalam dunia mantra, peneliti sebut dengan istilah ”Kuantum Mantra”.
Menguak misteri eksistensi rajah, jimat, atau benda pusaka di dunia paranormal akan lebih mengena dengan memahami konsep relativitas. Teori relativitas mengatakan bahwa massa, tak lain merupakan bentuk energi. Energi tidak hanya bisa menempati berbagai bentuk, namun bisa pula ’terkurung’ dalam massa suatu objek. Sekarang telah jelas bahwa mantra dalam wujud benda memiliki kadar fungsi yang sama dengan mantra lisan, karena energi yang dihasilkan oleh mantra tersebut telah ditransfer, diisikan, dan dikunci (dipagar) dalam benda sebagai medianya. Energi yang ada dalam rajah, jimat, atau pusaka lebih populer disebut sebagai kodam.
Aktivitas bermantra merupakan pola transformasi energi dalam bentuk getaran atau gelombang. Seperti telah peneliti paparkan di atas bahwa gelombang tersebut, selain dari gelombang ’pikiran’, mental, atau batin, juga mencakup gelombang yang ditimbulkan oleh suara si pengamal mantra. Jika mantra yang diucapkan berisi tujuan-tujuan dunia, analogi yang tepat untuk menjelaskan fenomena ini adalah frekuensi pada chanel radio. Pengamal mantra sesungguhnya sedang dalam proses penyesuaian frekuensi. Kenyataan ini tidak disadari betul oleh para pengamal mantra secara umum. Jika frekuensi subyek pemantra dan objek yag dimantrai telah bertemu, maka terjadi keselarasan. Namun tidak menutup banyak kemungkinan adanya gangguan frekuensi yang berasal dari dalam diri si pemantra maupun faktor luar (alam atau pengamal lain). Karena tidak ada alat ukur ketepatan frekuensi subjek dan objek, ditambah lagi dengan ilmu titen, maka para guru selalu menganjurkan agar mantra-mantra tersebut diucapkan selama beberapa malam (dengan hitungan 3, 7, 9, 21, 40 malam) secara ajeg dan konsisten dalam waktu. Pemilihan waktu tengah malam inipun bukan tanpa alasan. Tengah malam merupakan kondisi alam yang hening. Kondisi yang nyaman untuk melakukan penyesuaian frekuensi. Khusus untuk mantra pengasihan, diharapkan orang yang dituju sudah tertidur. Artinya bahwa si pengamal mantra tinggal menyesuaikan tingkat atau dimensi frekuensinya terhadap objek sasaran.
Mantra pengobatan dalam data penelitian ini menggunakan media air. Tradisi pengobatan menggunakan media air dalam Islam (Rosyad, 2004:28) dikenal dengan istilah rukyah. Dunia modern telah mampu menyingkap misteri air. Penelitian tentang air dilakukan oleh Emoto (2005) dengan menunjukkan kualitas kristal-kristal yang terbentuk dari berbagai jenis air. Air yang diberi ’informasi’ (dalam bentuk tulis maupun lisan) positif akan menghasilkan kristal yang baik, sebaliknya jika informasi yang diberikan negatif atau tidak baik, maka air tersebut tidak bisa menghasilkan kristal yang bagus, bahkan tidak bisa membentuk kristal. Mengingat bahwa 75 % tubuh manusia terdiri dari air, maka air yang sehat menentukan kesehatan tubuh orang yang meminumnya. Seburuk apapun kualitas air, bila terus menerus diberi informasi positif, kadar kualitasnya akan membaik. Air yang telah diberi informasi positif bisa digunakan sebagai obat untuk hampir segala penyakit. Tindakan penyembuhan dengan air dilakukan dengan cara membaca mantra atau doa penyembuhan pada air sebelum diminum. Jika tidak ada doa khusus, cukup memberi tulisan seperti ’terimakasih, sembuh, sehat, dsb’, kemudian ditempelkan berhadap muka pada botol air (dibaca oleh air di dalam botol). Catatan penting mengenai air adalah bahwa kualitas air tidak mampu bertahan terhadap gelombang listrik/elektromagnetik. Air juga tidak memiliki ketahanan terhadap energi dari benda sejenis logam. Temuan ini sejalan dengan konsep lima elemen dalam tradisi Tao China, yaitu hubungan ’saling’ antara unsur air, api, kayu, tanah, dan logam.
Merunut konsepsi pembangun formula serta seluk beluk dunia mantra dapat dipastikan akan menyentuh dimensi kompleksitas (bandingkan Capra, 2009:83). Sejalan dengan pernyataan Whitehead (2009:246) bahwa di dalam filsafat organisme doktrin-doktrin tidak bisa dijelaskan secara terpisah dari satu dengan yang lain. Doktrin-doktrin tersebut membentuk penjelasan dengan prinsip fundamental, yaitu ontologis dan relativitas. Semesta raya memiliki jaringan/sistem organis yang saling terhubung kait, saling mempengaruhi anatara satu dengan yang lain, serta bersifat dinamis seperti halnya Mantra Orang Jawa dalam penelitian ini.
Paragraf ini peneliti akan mengulas hakikat kasunyatan atau mistik dalam Mantra Orang Jawa dengan paradigma relativitas khusus dan teori atomik. Dimensi realitas tertinggi dalam pemahaman Jawa disebut dengan sunyaruri yang berarti suwung atau nir. Istilah kasunyatan, sunyata, dan sunya. Namun kekosongan atau kasunyatan ini bukanlah merupakan hakikat tertinggi. Hakikat tertinggi adalah Pengada kasunyatan. Penguasa alam sunyaruri bernama Sang Hyang Wenang atau Hyang Tunggal. Konsep ini termaktub dalam ceritera pakeliran wayang Jawa. Konsep ini memiliki kesamaan dengan konsep dalam Bhagavad Gita VIII : 20:  ”lebih tinggi dari Tak Nyata adalah Pengada Tak Nyata”. Namun ada bentuaran konsep tentang Tuhan bagi orang Jawa. Ada pendapat yang menyatakan bahwa Tuhan orang Jawa asli bernama Hyang Taya yang berarti kosong namun memiliki sifat, artinya adalah kosong tapi sebenarnya penuh dengan isi. (Jw: Gusti iku adoh tanpa wangenan, cerak tanpa senggolan, Gusti iku nyangga ya ngayomi), artinya bahwa Tuhan tidak bisa diserupakan dengan apapun, Ia dekat namun tak tersentuh, Ia jauh sampai tak terlihat. Konsep kasunyatan yang ’tak berhingga’ ini di dunia fisika modern diwakili oleh lambang bilagan nol (0). Nol memiliki hakikat kemutlakan atau infiniti.
Penyelidikan terhadap asal mula alam semesta dan hakikatnya oleh para fisikawan menemukan suatu kenyataan yang sampai sekarang belum bisa direpresentasikan, bahkan dengan analogi yang paling sederhana. Kenyataan ini dikenal dengan nama Teori Fisika Kuantum. Teori Kuantum begitu membingungkan para ilmuwan kelas wahid sekalipun. Heisenberg mengatakan: ”...mungkinkah alam begitu absurdnya seperti tampak dalam eksperimen atom?” Selanjutnya diutarakan bahwa hampa kuantum merupakan realitas paling transendental, dan merupakan samudra tenang dan diam yang didalamnya keberadaan semua benda terwujud sebagai gelombang-gelombang atau osilasi energi (dalam Mappadjantji, 2005:73, 81). Temuan dalam dunia fisika di atas sangat cocok dengan konsep suwung dalam pemahaman Jawa. Kesejajaran ini tampak pula dalam ajaran Hindu, Budhhis, Zen, dan Tao. Dalam Tao-Te Ching dikatakan bahwa ”yang tak dapat dinamai nyata selamanya” (Lao Tzu, terjemahan Saut Pasaribu, 2010:53). Kesulitan pemberian identitas ’realitas tertinggi’ ini sampaikan pula oleh Einstein (2010:123) bahwa dalam pemahaman Teori Relativitasnya, keindahan besar yang dihasilkan dari pertimbangan ini (realitas tertinggi) terletak pada pengenalan terhadap fakta bahwa semesta makhluk-makhluk ini adalah terhingga namun masih tidak memiliki batas juga. Lebih lanjut dikatakan oleh Hawking (tanpa tahun, halaman 80) bahwa keadaan alam semesta dan isinya, sebagaimana diri kita, telah dengan sempurna ditentukan oleh hukum-hukum alam, sampai pada batas tertentu oleh prinsip Ketidakpastian.
Kesejajaran esensi antara Mistik Jawa dan dunia Fisika Modern tentang realitas tertinggi berhenti pada ”ketidakpastian”. Pengamal mantra meditasi mampu mencapai pemahaman dimensi realitas tertinggi dengan ’oleh rasa’ atau batin, namun dunia sains menggunakan pendekatan intelektual. Dua pendekatan yang berbeda inilah yang membedakan antara kutub barat dan timur. Kondisi kasunyatan dirumuskan oleh para ilmuan fisika dengan pra Big Bang Theory (teori Dentuman Besar). Namun para fisikawan belum mampu menjelaskan penyebab tunggal kondisi ”lautan energi” alam semesta yang menyebabkan terjadinya Dentuman Besar. Jalan buntu yang dihadapi oleh Fisikawan dijawab dengan sederhana oleh Orang Jawa, bahwa penyebab tunggal semesta raya adalah ”Tuhan” yang tidak bisa diserupakan dengan apapun (Jw: tan kena kinayangapa). Pernyataan dalam konsep Jawa seperti ini sering dikerdilkan oleh kaum kritis bahwa orang Jawa (orang Timur) adalah bangsa yang ”anti proses”. Sesungguhnya tidak sesederhana bantahan itu. Orang Jawa menempatan diri sebagai makhluk manusia yang penuh dengan keterbatasan. Orang Jawa telah mengetahui lungguhnya, jejernya, atau posisinya sebagai makhluk ciptaan.
Budaya Jawa mampu menampilkan analogi kosmik dengan jelas, rinci, serta terstruktur, bukan hanya sekadar dalam wujud ide, melainkan telah mampu ngejawantah dalam wujud artefak. Orang Jawa adalah manusia yang penuh simbol dan upacara dalam kehidupannya sehari-hari. Simbol dan bentuk-bentuk upacara ini merupakan penghormatan orang Jawa terhadap kebesaran Tuhan. Sebelum datangnya pengaruh agama-agama besar dunia ke Nusantara, orang Jawa telah mengenal hakikat dari Tuhan, yakni Zat yang tidak bisa diumpamakan dengan apapun, dan hanya bisa diterangkan melalui sifat-sifatnya.

SIMPULAN DAN SARAN
Sejauh pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa puisi berbahasa Jawa ber-genre mantra (Mantra Orang Jawa) memiliki ciri-ciri khusus, seperti berikut: (1) memiliki pola struktur ideal, timpang, dan acak, (2) syair mantra bisa dirangkai dalam bentuk tembang macapat, (3) memiliki kesan sebagai puisi bebas atau otonom, (4) berbahasa Jawa bercampur dengan bahasa Sanskerta, Arab, (5) secara psikologis syair pada mantra tertentu (pengasihan) bersifat egois, emosi, memaksa dan bersifat afirmatif, (6) kata-kata pada beberapa mantra adalah nir-arti dan memang tidak memerlukan arti, (7) diksi dalam mantra bersifat to the point, (8) syair berisi pernyataan dan informasi keberadaan penguasa kekuatan magis, gaib, atau adi kodrati (mitos), dan (9) pada beberapa MOJ untuk kanuragan dan clairvoryance bersifat kloning, yaitu menjadikan diri seperti atau sebagai tokoh iconik dalam teks mantra.
Mantra adalah salah satu wahana spiritual dan mental yang masih ada sampai sekarang. Terdapat hubungan ”saling” antara mantra dengan sastra. Sastra memakai mantra sebagai objeknya, sedangkan mantra menggunakan sastra sebagai medianya. MOJ  berbentuk puisi ekpresif, prosa, dan tembang macapat. Isi teks Mantra Orang Jawa bersifat nostalgis, yaitu menceritakan dan mengingatkan ulang akan tokoh-tokoh mitologis. Secara kontekstual berisi tentang pemahaman tek berhingga akan kehidupan. Aktivitas (laku) MOJ memiliki makna tindakan simbolis seseorang, tindakan ini adalah doa. Artinya bahwa mantra sama dengan doa dalam pemahaman universal. Mantra Orang Jawa dalam penelitian ini memiliki 28 fungsi sesuai dengan klasifikasi masing-masing. Kaidah dari belajar Mantra adalah ”memayu hayuning bawana agung”, (terjemahan bebas: ikut menenteramkan kehidupan dunia).
Penelitian sejenis guna memahami fenomena keberadaan mantra dan budaya lisan yang lain secara lengkap seyogyanya menggunakan teori kompleksitas. Pluralitas budaya harus difahami sebagai kekayaan dan bukan sebagai perbedaan yang harus diseragamkan. Belajar tradisi mantra (MOJ) dihimbau memiliki guru spiritual sebagai pembimbing, karena proses belajar mantra sangat dekat dengan dunia ”gila” dan kematian, dalam arti bahwa yang kurang beruntung akan celaka. Yang paling berbahaya dan sering terjadi adalah ketika orang yang baru saja belajar mantra menerima mentah-mentah ajaran dan makna syair dalam teks mantra tanpa memperhatikan apa yang tersirat. Memasuki dunia mantra bagi pemula akan sangat dekat dengan godaan-godaan ego, seperti: merasa paling hebat, sombong atau suka pamer. Maka peneliti menyampaiakan saran kepada pembaca dengan ilmu padi, ”semakin tua semakin merunduk”. Pepatah Jawa memperingatkan dengan ungkapan ”sura dira jayani kanang rat syuh brastha tekabing ulah darmastuti” atau lebih lazim diucapkan ”sura sudira jayaningrat lebur dening pangastuti(terjemahan bebas: setelah dharma atau kebaikan datang, maka yang jahat akan hancur).

DAFTAR PUSTAKA
Achmad Faizur Rosyad. 2004. Mengenal Alam Suci: Menapak Jejak Al-Ghazali: Tashawuf, Filsafat dan Tradisi. Yogyakarta: Kutub.

Ali Agiel, 2010. Jadilah Sang Jago Hipnotis. Yogyakarta: Garailmu.

Arif Hartarta. 2010. Mantra Pengasihan: Rahasia Asmara dalam Klenik Jawa. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Capra, Fritjof. 1991. The Tao of Physics; An Exploration of the Parallels Between Modern Phisics and Eastern Mysticism. Boston: Shambhala.

_______. 2009. The Hidden Connections: Strategi Sistemik Melawan Kapitalisme Baru (terjemahan Andya Primanda). Yogyakarta: Jalasutra.

Damardjati Supadjar. 2001. Filsafat Sosial Serat Sastra Gending. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
                                                      
Diddi Agephe. 2010. The Power of Sound: Metode Pemberdayaan Diri Melalui Bunyi, Frekwensi, dan Vibrasi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Einstein, Albert. 2010. Relativity: The Special and General Theory: Teori Relativitas Einstein (penyunting Lilih Prililian Ari Pranowo). Yogjakarta: Narasi.

Emoto, Masaru. 2006. The True Power of Water: HADO (terjemahan Azam Translator). Bandung: MQ Publishing.

Franz Magnis Suseno. 2003. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Fromm, Erich, D.T. Suzuki, Richard De Martino. 2004. Zen & Psikoanalisis (terjemahan Herlambang). Yogyakarta: Suwung.

Giardina, Ric. 2003. BECOME A LIFE BALANCE MASTER (terjemahan Reslian Pardede). Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.

Hawking, Stephen W. (tanpa tahun). The Theory of Everything: The Origin and Fate of the Universe Teori Segala Sesuatu: Asal-usul dan Kepunahan Alam Semesta . Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Heddy Shri Ahimsa Putra. 2006. Ketika Orang Jawa Nyeni. Yogyakarta: Galang Press.

Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: P.T. Gramedia.

Krishna Wardhana. 2006. HIPNOTISME: Teknik Memberi Sugesti dan Mempengaruhi Pikiran Orang lain. Yogyakarta: Delphi.

Mappandjantji Amien, A. 2005. KEMANDIRIAN LOKAL. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Marsono. 2006. Fonetik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Maryaeni. 2005. Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta: Bumi Aksara.

Moleong, Lexy J. 1990. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mudji Sutrisno & Hendar Putranto (ed). 2005. Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisisus.

Mulder, Niels. 2005. Mysticism in Java: IDEOLOGI IN INDONESIA. Yogyakarta: Kanisius.

Murphy, Joseph. 2008. The Power of Your Subconcious Mind (penyadur Dian Prati). Semarang: Dahara Prize.

Peursen, van. C. A. 1988. Strategi Kebudayaan (terjemahan Dick Hartoko). Yokyakarta: Kanisius.

Prabhupada, A.C. Bhaktivedanta Swami. 1987. Srimad Bhagavatam of Krsna Dvaipayana Vyasa. Sydney: Bhaktivedanta Book Trust.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2008. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Robertson, I. 2009. Misteri Pikiran Manusia: Menyingkap Rahasia Kekuatan Imaginasi dan Pikiran Manusia Memahami Seluk Beluk Lahirnya Setiap Pikiran dan Perilaku Manusia.

Romy Rafael. 2010. Menghilangkan Fobia dan Masalah Emosional dengan Hypnotherapi. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.

Sri Mulyono. 1983. Sebuah Tinjauan Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang. Jakarta: Gunung Agung.

Stange, Paul. 2009. POLITIK PERHATIAN: Rasa dalam Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: LKiS.

Stockkley, Corinne, Oxlade, Chris dan Wertheim. 2000. KAMUS FISIKA BERGAMBAR (terjemahan Abdul Jamil Husin) . Jakarta: Erlangga.

Sutopo, H.B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Universitas Sebelas Maret University Press.

Teeuw, A. 1980. Tergantung pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya.
­­­­­­
_______. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Tedjoworo. 2001. IMAJI DAN IMAJINASI. Yogyakarta: Kanisius.

Tzu, Lao. 2010. TAO TE CHING: 81 Filsafat Hidup Tao (penyunting Saut Pasaribu). Yogyakarta: New Diglossia.

Whitehead, Alfred North. 2009. FILSAFAT PROSES: Proses dan Realitas dalam Kajian Kosmologi (terjemahan Saut Pasaribu). Yogyakarta: Kreasi Wacana.

_______. 2009. Mencari Tuhan Sepanjang Zaman: dari agama kesukuan hingga agama universal (terjemahan Alois Agus Nugroho). Bandung: Mizan.