JAVANESE MANTRA
Oleh: Amurwa Loka
hartarta.arif@gmail.com
Abstract
Mantra Orang
Jawa, selanjutnya disingkat MOJ secara bebas dapat ditafsirkan sebagai
metode atau gagasan—sebagai penegasan suatu tujuan tertentu—yang dinyatakan
dengan kata-kata yang dianggap mengandung kekuatan gaib dan diciptakan sebagai
terobosan untuk mengatasi problem-problem kehidupan. Hasil penelitian terhadap MOJ memberi gambaran bahwa MOJ adalah serangkaian kata yang dianggap
istimewa (dominasi bahasa Jawa) yang disusun sedemikian rupa dalam bentuk
afirmasi-afirmasi swasugestif. MOJ memiliki 3 tipe struktur: ideal, acak,
dan timpang. Struktur ideal MOJ terdiri atas bagian, yaitu: kepala, tubuh, dan kaki.
Struktur mantra ”dibungkus” oleh
formula mistik, magis, mitologis, bunyi, diksi, dan imagi. MOJ bagi para pengamalnya merupakan wilayah atau ”ruang sakral, ruang kudus”
yang bersifat sangat pribadi dan
syarat akan makna filosofis. Misteri laku dalam ritual mantra
merupakan permainan psikis/emosi sekaligus kognitif yang sengaja diciptakan
untuk mencapai tataran meditatif.
Setidaknya terdapat 28 jenis MOJ berdasarkan fungsinya.
Keyword:
mantra, orang Jawa, laku, kasunyatan
PENDAHULUAN
Mantra adalah salah satu wujud
kebudayaan Nusantara. Kebudayaan memiliki tiga wujud,
yakni: 1) mentifac, 2) sosiofac, dan 3) artefac (Koentjaraningrat, 1984:5-6). Mantra
Orang Jawa, selanjutnya disingkat MOJ bisa dikatakan sebagai cetak biru produk
kebudayaan yang berada dalam wilayah mental dan wujud. Kebudayaan merupakan kristalisasi dari aktivitas
(cipta, rasa, karsa) dan
karya manusia yang bersifat dinamis. Sulit dirunut awal mula MOJ karena terbatasnya data tertulis tentang hal ini. Sejauh diketahui dari
dokumen-dokumen atau naskah-naskah Jawa lama, MOJ sudah ter/bercampur dengan isme-isme dari luar, baik dari ajaran Hindu, Buddha,
Kristen, dan Islam. Meskipun
begitu, nilai-nilai kebijaksanaan lokal—yang dianggap—asli Jawa masih di/mempertahankan eksistensinya.
Istilah “mantra” awalnya berasal dari
bahasa Sanskerta yang berarti ‘melindungi pikiran dari napsu-napsu rendah
duniawi (Prabhupada, 1987:77). Namun dalam perkembangannya di Jawa, istilah
“mantra” telah mengalami pergeseran arti, makna, dan maksud. Secara sederhana
dapat dirumuskan bahwa MOJ merupakan suatu metode atau gagasan sebagai penegasan suatu tujuan tertentu yang
dinyatakan dengan kata-kata yang dianggap mengandung kekuatan gaib dan diciptakan
sebagai terobosan untuk mengatasi problem-problem sosial (lihat Arif, 2010). Teks mantra tak ubahnya seperti karya sastra
berbentuk puisi bebas dan memiliki struktur serta karakter tersendiri. Karya sastra
tidak lahir dalam kekosongan budaya, karya sastra tidak bebas nilai, karya
sastra tidak berfungsi dalam situasi kosong (Teeuw, 1980:11). Artinya, produk
budaya ini menyimpan suatu makna, maksud, dan tujuan tertentu. Artefak ini
menyimpan rekaman kegeniusan ide pujangga/sang kawi/sastrawan, seniman
maupun filosuf tempo dulu. Karya sastra adalah artefak yang sesungguhnya mati,
baru memiliki makna dan menjelma menjadi objek estetik apabila telah diberi
arti oleh pembaca berdasarkan konvensi kesastraan yang konkrit pada masa
tertentu (lihat Teeuw, 1984:191), begitu pula “mantra”.
Fenomena yang masih bisa dilihat di
masyarakat Jawa adalah beberapa kasus ketika seseorang hendak pergi merantau. Tidak
jarang bahwa orang yang bersangkutan terlebih dahulu pergi ke dukun, kyai,
orang pintar, paranormal untuk meminta ilmu, aji-aji, mantra,
rajah, jimat agar keselamatanya di rantau terjamin berkat
kekuatan magis tersebut. Tidak sebatas itu, dalam pengamatan peneliti, tidak
sedikit anak muda yang meminta jimat, mantra kepada orang pintar
untuk keperluan mencari pasangan atau menaklukkan lawan jenis. Bahkan sering
peneliti dapatkan penjaja seks komersial datang ke dukun untuk meminta
dipasangkan susuk pelet atau
pengasihan di tempat-tempat tertentu dalam tubuhnya dengan tujuan ‘badan’
jajanannya semakin laris. Fenomena yang sama dan tidak bisa dinafikkan adalah
banyaknya pejabat pemerintah yang meminta backing dari orang pintar
untuk memperlancar tujuannya, apalagi kalau masih sebagai calon pejabat, mereka
rajin berkunjung ke paranormal.
Emoto (2006:115-117) menyuguhkan fakta
suatu peristiwa ketika seorang kepala pendeta Houki Kato memantrai air di
bendungan Fujiwara yang telah tercemari oleh limbah industri. Setelah air
mendapat aliran kekuatan mantra tersebut, air menjadi jernih dan steril seperti
semula. Kekuatan seperti itu oleh orang Jepang disebut dengan istilah kotodama
yang berarti “ruh kata”. Kini Masaru Emoto menjadi pengusaha ‘air sehat’ sukses
di Jepang. Di dalam negeripun, tidak sedikit perusahaan yang membungkus mantra
dalam slogan-slogan perusahaan untuk mempengaruhi kepercayaan masyarakat
sehingga tergugah untuk membangun dan ikut membesarkan perusahaan terkait.
Melihat fakta tersebut, ada kecurigaan peneliti terhadap peran ‘yang magis’
(mantra) dalam perkembangan perilaku, sains modern dan kapitalisme komunikasi
modern. Fakta tersebut merupakan data yang perlu diperhatikan keberadaannya.
Sejauh penelusuran peneliti, yang sering terlupakan oleh peneliti, kritikus,
seniman, dan sastrawan, baik dari sastra Indonesia dan sastra Jawa pada
khususnya adalah bahwa kata memiliki kekuatan, kata memiliki roh atau ekspresi.
Mantra yang ada dan masih tersimpan di Masyarakat Jawa ternyata sangat perlu
untuk diteliti guna mengungkap bentuk, isi, nilai-nilai atau makna, tujuan, fungsi
sekaligus misteri yang ada di dalamnya. Penelitian terhadap objek kajian
seperti “mantra” sepatutnya menggunakan perpaduan pendekatan ala barat yang
cenderung mekanistis, positivistis, prakmatis, materialistis, rasionalistis dengan pendekatan
ala timur yang cenderung bersifat organistis, spiritualis, dan mistis.
Berdasar latar belakang diatas, dapat
diidentifikasikan permasalahan yang hendak diungkap dalam penelitian ini: (1)
struktur teks MOJ, (2) makna laku (disiplin
ritual) MOJ, dan (3) fungsi MOJ.
Istilah “mantra” bisa dilihat dari
sudut pandang etimologi, makna, dan secara pragmatik. Terkait dengan bentuk,
MOJ memiliki 3 wujud: (1) kata-kata disebut Japa; Mantra; Aji-Aji; Rapal,
(2) tulisan, misalnya tertulis pada logam, kertas, kain, kulit, bambu, kuku,
bunga disebut Rajah, dan (3) mantra yang kekuatannya ditanam dalam benda
disebut Jimat; misalnya pada batu akik, tongkat, keris. Fakta lain,
peneliti menemukan adanya bentuk mantra dengan metrum tembang macapat
dhandanggula (kidung Mantraweda,
Kidung Purwa Sejati) yang terikat oleh konvensi guru lagu, guru
wilangan, dan guru gatra. Orang Jawa pengamal “mantra” dalam pengertian dan
cakupan pada penelitian ini tidak menunjuk kepada kelompok orang perorangan
konkrit tertentu (Magnis, 1984 dalam Jatman, 2000:23). Kebudayaan Jawa bersifat
hiterogen dan bukan monolitik. Cakupan penelitian ini berorientasi pada dua
macam tradisi yang memiliki nilai penghayatan serta penafsiran hidup bagi
masyarakat. Dua macam tradisi tersebut adalah tradisi mistis dan tradisi etis.
Tradisi-tradisi penghayatan nilai orang Jawa, paling tidak bisa dirunut dari
penghayatan mentalitas pra-Islam dan sistem atau hegemoni yang menaunginya.
Magnis (2003:3) mengatakan bahwa di Jawa, tidak ada yang ‘khas tipe Jawa’,
semua memiliki sikap hidup sosial yang plural (bandingkan Mulder, 2005:17).
Pernyataan di atas didukung oleh pernyataan Ahimsa (2000:425) bahwa apa yang
dinamakan kebudayaan Jawa adalah hasil ciptaan ahli antropologi, dan bukan
realita sebenarnya yang ada di lapangan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan
struktural tingkat lanjut, atau sering disebut pendekatan Struktural Dinamis,
yaitu perpaduan antara pendekatan struktural dan semiotika. Pendekatan tersebut
sangat berguna untuk memahami fenomena “mantra” dilihat dari teks dan konteks (lihat
Pradopo, 2008). Artinya, peneliti akan melihat teks dan konteks apa saja yang
dipengaruhi dan mempengaruhi teks dan konteks MOJ, mengingat bahwa mantra
sebagai salah satu genre sastra yang
menanggapi teks sebelumnya (interteks). Eksistensi keberadaan MOJ berkait erat
dengan mitos-mitos Dewa, Nabi, Wali, Tokoh Gaib, dan Manusia Super. Tentang mitos, Levi Strauss (lihat Dwi Kristanto dalam Mudji Sutrisno & Hendar Putranto (ed), 2005:138-142),
mengatakan bahwa mitos-mitos itu memikirkan dirinya melalui manusia tanpa
sepengetahuan si manusia itu. Mitos memiliki makna struktur mendalam atau struktur batin yang kemudian
disebut dengan binary oposition oleh Levi Strauss. Logika dalam
pemikiran mitologis memang sama ketatnya dengan logika dalam
pemikiran sains modern. Mitos merupakan hasil kreativitas psyche manusia
yang secara tak sadar menaati hukum-hukum partikular, dan membaca mitos sama
seperti membaca partitur musik, yaitu secara vertikal dan horisontal.
MOJ masih dipandang sebagai sesuatu
yang bersifat magis. Di dunia magis, manusia bertitik tolak pada dunia gaib
yang penuh kekuatan tinggi itu. Jadi seolah-olah dalam praktek magis itu, magis
memainkan peranan yang penting (Mulyono, 1983:30). Lebih lanjut Peursen (dalam
Mulyono, 1983:30) mengatakan bahwa magis itu dapat disamakan dengan asuransi
jiwa bagi masyarakat modern. Magis bersifat okultisme atau condong untuk
menguasai sesuatu lewat kekuatan, kepandaian, dan keahlian. Dalam Wedhatama
yang ditulis oleh Pangeran Mangkunagoro VII, hal tersebut dinamakan sebagai “ilmu
karang” yang dimaksudkan gaib disini adalah ilmu yang berasal dari kekuatan
makhluk halus. Mulyono (1983:30) mengatakan bahwa penghayat magis mencoba
menolak dan menangkis bahaya yang mengancam dengan kekuatan alam yang
ditundukkan. Mereka lebih suka menggunakan ‘mantra-mantra’ atau sarana lain
yang dianggap lebih tinggi, misalnya guru, leluhur, dewa. Hal ini berarti “mantra”
merupakan salah satu bagian dari magis itu sendiri.
Pengamalan MOJ selalu bersinggungan
dengan dimensi mistik. Mistik
atau suluk disebut juga tasawuf. Mistik adalah ilmu pengetahuan yang
mempelajari bagaimana orang dapat berada sedekat mungkin dengan Tuhan (Mulyono,
1983:57). Laku mistik biasanya ditempuh dengan cara bertapa,
mengasingkan diri, dan bersemedi
(merupakan salah satu dari tiga koponen pokok dalam pengamalan MOJ: patrab, laku, ubarampe). Damardjati (2001:99-100)
merumuskan makna mistik sebagai persoalan tentang gaib, rahasia-rahasia
terdalam. Mistik juga dipahami sebagai eksistensi tertinggi, atau lenyapnya
segala perbedaan, atau kesatuan mutlak hal-ikhwal, atau dasar-dasar dari segala
pengalaman, atau ketiadaan, mistik juga berarti pamoring kawula-Gusti (bersatunya manusia dan Tuhan), puncak kecintaan makhluk
kepada Khaliknya sebagai suatu pengalaman dan aktivitas spiritual yang disertai
peniadaan atau pengabaikan diri, bukanya bersifat teori tetapi bersifat praktis.
Penelitian ini juga menggunakan
pendekatan “meta ilmiah”, yaitu suatu pendekatan yang mendahului sains untuk
mendekati realita. Pendekatan ini dilakukan dengan cara masuk tepat ke dalam
objek, melihat objek sebagaimana adanya. Fromm, Suzuki, dan Martino (2004:24-25)
menyebutnya dengan pendekatan Zen, yaitu suatu metode pendekatan dengan
cara melihat objek dan unsur lain yang terkait dengan objek secara menyeluruh
(holistik). Konsep Zen yang telah banyak ditulis oleh para peneliti
merupakan analogi yang sangat dekat dengan sandi-sandi sastra ilmu Jawa yang
biasanya dibungkus dengan bentuk saloka (kata/kalimat kiasan). Sebagai
contoh adalah saloka-saloka berikut:
“warangka manjing curiga (wadah keris masuk dalam kerisnya), “bisa
ngemot sakisining tri loka” (bisa mewadahi seisi tiga dunia), golekana
tapaking kuntul nglayang (carilah bekas telapak kaki burung yang terbang), golekana
gigiring punglu (carilah sudut pelor; waktu lampau pelor berupa gotri
bulat), “ing ngendi galihing kangkung” (dimana inti tanaman kangkung), “golekana
kayu gung susuhing angin” (carilah sarang angin di pohon besar) dan
lain-lain. Saloka tersebut merupakan hal yang tidak masuk akal (Jw: ora
ketemu nalar). Dalam ajaran Zen, saloka tersebut dikenal
dengan istilah koan. Koan adalah kata atau kalimat—bisa berupa
kalimat tanya, kalimat seru—yang biasa digunakan oleh para Master untuk
mencerahkan pikiran (mencapai satori) para muridnya.
Para pencari pencerahan dipusingkan
atau dibuat bingung karena memikirkan jawaban atau pemacahan koan tersebut.
Tujuan dari koan ini adalah untuk mendesak, bahkan membunuh kekuatan
intelektual supaya berhenti bekerja, dan digantikan dengan kondisi kemurnian;
berhentinya aktivitas pikiran. Daya intelektual tidak akan pernah mampu
menembus pemahaman di luar ranah logikannya. Kesulitan mencari misteri kunci
pencerahan ini dijawab oleh kebijaksanaan Jawa dengan ungkapannya, “amarga
sing dianggo lagi nalare dudu rasane” (yang diandalkan barulah logikanya,
belum memakai rasa’nya/intuisinya). Kesimpulan yang bisa ditarik adalah
bahwa saloka-saloka tertentu dalam ungkapan orang Jawa yang terdapat pula
dalam beberapa teks MOJ adalah untuk menghentikan aktivitas logika kemudian
digantikan oleh kesadaran “rasa jati” yang memang tidak bisa dijangkau
oleh akal manusia. Dalam kondisi ini, manusia dipercaya telah bersatu dengan
‘karsa Illahi’.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian ini
mencakup: (1) Bentuk dan Strategi Penelitian, (2) Lokasi Penelitian, (3) Sumber
Data dan Data Penelitian, (4) Teknik Pengumpulan Data, (5) Validitas Data, (6) Teknik
Analisis Data. Bentuk penelitian ini adalah Kualitatif Deskriptif.
Hal ini mengingat bahwa data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa
kata-kata, kalimat atau gambar (rajah) yang memiliki makna lebih dari sekedar
angka atau frekuensi. Penelitian dalam kasus mantra ini tidak mengembangkan
pengetahuan lewat konstruksi spekulatif di dalam budi—rekayasa pikiran untuk
membentuk teori—seperti yang telah dirintis sejak Sokrates hingga Hegel, tetapi
menangkap makna pengetahuan lewat kehadiran data dalam kesadaran budi.
Lokasi penelitian ini di wilayah
kebudayaan Eks Karesidenan Surakarta (Boyolali, Sukoharjo, Wonogiri, Klaten,
Sragen, Karang Anyar). Pemilihan lokasi awal ini dipandang tepat mengingat
beberapa hal, antara lain sebagai berikut: (1) di wilayah ini terdapat pusat
kebudayaan tempo dulu, yaitu: Karaton Kasunanan dan Pura Mangkunegaran, (2) masih
dijumpai upacara-upacara ritual di beberapa daerah pada medan penelitian ini, (3)
bahasa Jawa masih digunakan sebagai bahasa komunikasi sehari-hari atau bahasa
ibu. Sumber data dalam penelitian ini dapat dibedakan menjadi sumber data primer
dan sekunder. Sumber data primer pertama dalam penelitian ini adalah informan
atau narasumber. Informan yang dipilih adalah orang-orang yang benar-benar
memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam
bidang mantra, terdiri dari para dhukun, kyai, paranormal atau
para sesepuh adat. Sedangkan sumber data sekunder berupa buku-buku mantra yang
banyak tersebar sebagai pembanding (Sutopo, 2002).
Data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua
kelompok, yakni Data Primer dan Data Sekunder. Data primer berupa mantra yang diturunkan secara langsung (wejangan),
informasi dari wawancara dengan sumber dan pengguna mantra, perilaku dan
barang-barang (sesaji) mantra. Sesuai dengan karakteristik datanya, data primer langsung dapat diperoleh
dari lokasi penelitian. Sedangkan data sekunder berupa teks mantra, pedoman
penggunaan mantra, tata cara dan upacara mantra, dan petunjuk-pentunjuk lain
terkait dengan aktivitas mantra.
Teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini dibedakan menjadi dua, yaitu teknik pengumpulan interaktif dan
non-interaktif (Goetz & Compte, 1984 dalam Sutopo, 2002:58). Keduanya
dijabarkan ke dalam tiga teknik, yaitu: (1) wawancara mendalam, (2) observasi, dan (3) analisis isi.
Validasi data dalam penelitian ini
menggunakan teknik triangulasi dengan sumber,
yaitu sumber data, baik dari sumber informan, data peristiwa, maupun dokumen (1987:331
dalam Moleong, 1990:178). Teknik
analisis data yang akan dipergunakan dalam penelitian ini adalah teknik
Analisis Interaktif. Analisis Interaktif adalah proses pengorganisasian dan
pengurutan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat
ditemukan tema dan dapat merumuskan hipotesis seperti yang disarankan oleh
data. Analisis interaktif dibangun oleh adanya tiga komponen pokok, yaitu
reduksi data, sajian data, dan verifikasi atau penarikan kesimpulan (Sutopo, 2002:96).
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Struktur Teks MOJ
Isi yang terkandung dalam teks
MOJ, selain menyatakan maksud dari pengamalan yang
sesungguhnya menjadi indikasi daripada fungsi suatu mantra, juga berisi pengulangan sejarah mitologis. Artinya, dalam
teks MOJ mencoba menghadirkan kembali peristiwa yang
dipercaya ada di masa lalu, baik tentang kekuasaan dewa-dewa, nabi-nabi,
kesaktian para raja serta para ksatria. Berikut adalah teks MOJ:
Teks MOJ untuk kanuragan:
(1) Suksma Pawekas (MSP)
(2)
Sallalahu
ngali wasalam
(3)
Mbok
suksma pawekas
(4)
Sira
metua lan jumbedula ana gawe
(5)
Bantunen
jabang bayiku supaya peng-pengan
(6)
Dibacok
ora tedas
(7)
Ditembak
ora tumama
(8)
Apa
ciptaku bisowa kelakon
(9)
Entuk
ijine guruku, suksmaku, rasa kang sejati
Nomor (1) dan (3) menunjukkan
identitas atau nama mantra, yaitu Mantra Sukma Pawekas (MSP). Nama mantra
disini sering diartikan juga sebagai sumber kekuatan pada mantra. Kata
‘pawekas’ merupakan vocabulary bahasa Jawa. Keterangan dari narasumber
pemberi mantra, MSP adalah mantra untuk menggugah kekuatan yang terdapat dalam
inti roh. Sebelum kekuatan ini dibangkitkan, kekuatan yang terdapat dalam inti
roh masih tertidur (lihat: kundalini dan atomisme pada pembahasan berikutnya).
Arti kata ‘pawekas’ sejajar dengan arti kata ‘pepunthon’ memiliki arti
‘terakhir/pamungkas, pasrah/berserah’. Namun, setelah melakukan penyelidikan
lebih lanjut, penggunaan kata ‘pawekas’ ini merupakan penyimpangan arti dan
penciptaan arti karena penyimpangan ketatabahasaan seperti yang diungkapkan
oleh Riffatere. Apabila kata ‘pawekas’ diartikan seperti makna yang disampaikan
oleh narasumber, maka kata yang seharusnya dipakai adalah ‘kawekas’. Kata
‘wekas’ juga memiliki arti ‘menyampaikan pesan’. Sebagai contoh dalam dialog: “nduk,
dhawuhe simbah mengko wekasna bapakmu ya”. Terjemahan: “nak, pesan eyang
tadi tolong disampaikan ke bapak”. Narasumber mantra mengatakan bahwa MSP digunakan
untuk membangkitkan kekuatan yang tertidur. Jika diperhatikan dengan seksama,
makna ‘membangkitkan’ bisa berarti mengirim/menyampaikan pesan atau sinyal
kepada inti roh.
Hal semacam banyak ditemukan
dalam mantra lisan. Peristiwa seperti ini disebabkan sifat dari budaya oral
yang bersifat luwes, ekspresif, dan kreatif. Penerimaan dan penyampaian sangat
tergantung pada latar belakang sosial, pendidikan, adat, ekonomi dan kemampuan
intuitif penutur dan petutur. Kesadaran akan hal ini sesungguhnya telah
tercermin dalam istilah Jawa “sakdawa-dawane lurung isih dawa gurung”.
Terjemahan: sepanjang apapun jalan, masih lebih panjang olah kata (diskursus
masyarakat oral)”.
Nomor 2 adalah komponen salam pembuka
yang berbunyi salalahu ngali wassalam. Artinya MSP telah mendapat
pengaruh atau sentuhan Islam, namun terlihat jelas bahwa pengaruh Islam dalam
mantra ini belum benar-benar maksimal, pasalnya dalam ungkapan salam tersebut
berbunyi salalahu ngali wassalam, seharusnya Sallalahu alaihi
wassalam (paling tidak). Hal ini kaprah atau lazim di masyarakat kita, pelesapan ini
semata-mata untuk mempermudah pengucapan seperti penyebutan kota Kartasura
menjadi Tosura. Kata lain yang mengalami penyimpangan ketatabahasaan adalah
suku kata Om menjadi Hong, awignam menjadi wigeno/wilaheng,
Sri menjadi Seri, bismillah menjadi semilah. Kembali
pada mantra di atas, bentuk pengaruh Islam tersebut terungkap dengan
digunakannya bahasa Arab yang oleh khalayak umum diidentikkan dengan Agama
Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Komponen salam di dalam tubuh mantra
memiliki relasi dengan komponen penutupnya, seperti: amin, la illaha
ilallah, dll.
Nomor (3) adalah komponen
niat. Meskipun tanpa ada kata atau frasa yang menyebut kata ’niat’, secara
tidak langsung frasa mbok sukma pawekas telah merujuk ke pengertian niat
yang telah menjadi tindakan memanggil, mengamalkan, atau mengaktifkan kekuatan
sukma pawekas seperti yang tersebut dalam mantra. Jika dirunut dengan teliti,
salam pembukapun sesungguhnya telah merujuk pada niat seseorang untuk
mengamalkan sesuatu, dalam hal ini adalah pengamalan mantra. Pada banyak MOJ, komponen niat ditunjukkan oleh frasa matak ajiku (terjemahan:
mengamalkan/mengaktifkan ajianku) si balasrewu, sedangkan pada data H. 1
tertulis lengkap ”sun mateg ajiku si kutut putih” (terjemahan: aku
mengamalkan ajianku –bernama– kutut putih) Membandingkan dua buah Mantra
Kanuragan dengan satu Mantra Pengasih, telah memberikan
keterangan pasti untuk mengungkapkan bahwa komponen niat sering kali menunjukan
nama mantra atau kegunaan mantra sekaligus formula mitologis (misal: balasrewu)
yang ada di dalam teks mantra. Menurut narasumber ketika menurunkan ilmu (Jw: mejang ngilmu) mengatakan bahwa “niat merupakan sesuatu yang terpenting
dalam berguru atau beraktivitas lain seperti mempraktikkan mantra, selanjutnya niat tersebut akan mengggugah kekuatan-kekuatan terpendam dalam
diri untuk bangkit dan bekerja”.
Komponen nomor (1) dan (3)
pada mantra ini juga termasuk di dalam komponen tanda, yaitu simbol. Mbok sukma bermakna ibu
daripada roh atau daya hidup atau disebut juga prana. Dalam pemahaman
Hinduisme, mbok sukma identik dengan percikan Brahman yang disebut
Atman. Atman inilah yang menjadi kehidupan dan melakukan perjalanan dari waktu
ke waktu dalam kuanta waktu yang tak menentu untuk kembali bersatu dengan
Brahman atau Tuhan. Dengan begitu, mantra ini adalah mengolah daya hidup untuk
menjadikan kreatifitas cipta turun ke dunia material. Disinilah intelektual
terbentur, dan imaginasi menggantikan perannya. Pertanyaan yang muncul kemudian
adalah siapakan sukma kawekas ini dalam alam pencitraan? Dalam
penelusuran ini, peneliti mencoba mencocokkan pemahaman pencitraan dengan dua
orang murid yang lain, dan hasilnya berbeda-beda. Pertama, peneliti memahami
dan melihat pencitraan representasi dari mbok sukma kawekas dalam
wujudnya cahaya putih seperti fosfor yang keluar dari dalam diri melalui
tengkuk. Kedua, siswa pertama menyatakan bahwa mbok sukma kawekas berujud
seperti dirinya sendiri dalam selimut cahaya yang tiba-tiba keluar begitu saja
tanpa tahu darimana wujud pencitraan itu keluar. Ketiga, siswa kedua menyatakan
bahwa sukma kawekas berujud wanita. Dalam pemahaman Taoisme, ada
feminisme dalam maskulin, dan ada maskulin dalam feminisme. Jajak pendapat yang
peneliti lakukan cukup untuk menunjukkan bukti bahwa pengalaman spiritual
setiap individu akan berbeda satu dengan yang lain, dan hal tersebut bukanlah
sesuatu yag harus diperbantahkan atau dipertahankan mati-matian kebenarannya.
Hal ini dapat dikatakan sebagai satu esensi dalam seribu wujud. Yang jelas,
narasumberpun tidak memberi penjelasan yang pasti untuk masalah ini. Semua
narasumber selalu mengatakan hal yang sama, ”sing penting dilakoni sik”
(terjemahan: yang terpenting jalanilah dulu) ketika ada orang yang bertanya
tetang apa, siapa, mengapa, dan bagaimana dengan prosesi mantra.
Nomor (4) dan (5) adalah
komponen perintah. Dalam mantra ini si pemantra memerintah Sukma Pawekas untuk
keluar menjalankan tugas membantu menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi oleh
si pemantra, yaitu agar si pemantra menjadi kebal. Tugas di sini bisa pula
berarti tugas mantra tersebut menunaikan fungsinya. Jadi jelas bahwa memilih
mantra untuk suatu tujuan tertentu sangatlah penting. Artinya, untuk tujuan X
diperlukan mantra X pula.
Nomor (6) dan (7) adalah
komponen sugesti. Mantra di atas memberi daya saran mental kepada si pemantra
dalam rangka meningkatkan rasa percaya diri. Daya saran yang diberikan mantra
kepada pelaku mantra ini adalah si pemantra seolah-olah menjadi kebal senjata
tajam dan selalu terhindar dari serangan timah panas/senjata api.
Nomor (8) adalah komponen
harapan. Pemantra berharap supaya apa yang dicipta dalam alam fuikirannya, yang
tersurat dalam rangkaian kata-kata pada syair mantra yang dilantunkan akan menjadi
kenyataan atau terwujud di alam material. Pada komponen ini pemantra
memantapkan keyakinan dan rasa hormat terhadap mantra ini.
Nomor (9) adalah komponen
penutup sekaligus komponen sugestif dan penguatan simbol visualisasi. Apa yang
telah dicipta dalam alam fikiran pemantra akan benar-benar bisa terwujud karena
telah mendapatkan ijin dari guru, roh, dan rasa sejati. Menurut
narasumber, ketiganya tersebut adalah simbol nama untuk Gusti Allah atau Tuhan
yang setiap nama memiliki teretorial otonomi kekuasaan masing-masing. Apabila
dicermati secara teliti, konsep ini mirip sekali dengan konsep Kristiani yang
disebarkan oleh St. Paulus, yaitu konsep Tri Tunggal yang menyatakan Allah
sebagai Bapa, Allah sebagai Putra (Yesus Kristus), dan Allah sebagai Roh Kudus.
Makna dalam teks mantra diperoleh dengan pemahaman
kontekstual. Sebagai contoh adalah kalimat berbahasa Jawa ”ana kidung
rumeksa ing wengi”. Kalimat tersebut apabila dibaca secara heuristik (lapis
arti) akan didapatkan arti ”ada lagu yang menjaga malam”. Namun apabila dibaca
secara retroaktif (lapis makna) akan didapatkan makna ”inilah lagu—(keselamatan—yang menjaga kita dari
ancaman si jahat (santet, guna-guna, tenung, sihir)”. Kata ’malam’ (Jw: wengi)
bukan saja menunjuk pada kondisi waktu—malam hari—melainkan lebih merujuk
kepada konotasi aktifitas ’dunia kegelapan’. Mantra merupakan sebuah kebulatan makna yang menggunakan bahasa
sebagai media. Di bawah ini adalah pola struktur ideal teks MOJ:
1)
Awal/purwa:
Kepala
Unsur awal meliputi komponen
salam pembuka, komponen niat, dan komponen nama mantra.
2)
Tengah/madya:
Tubuh
Unsur tengah meliputi komponen
sugesti, komponen perintah, komponen tanda, komponen nama sasaran (untuk mantra pengasih dan pengobatan),
komponen tujuan, dan komponen harapan.
3)
Akhir/wasana:
Kaki
Unsur akhir terdapat komponen penutup.
Pemilihan istilah di atas dengan pertimbangan konsep
pemahaman atau kawruh kebatinan yang peneliti peroleh dari para guru
yang sekaligus sebagai narasumber penelitian ini. Konsep tersebut mengatakan
bahwa genepe wong Jawa kuwi telu, artinya ‘yang dianggap genap bagi
orang Jawa adalah bilangan tiga’, yaitu masa awal, masa tengah, dan masa akhir,
atau dengan penjelasan lain adalah siklus kehidupan yang dimulai dari lahir,
hidup, dan mati. Tidak semua MOJ
memiliki struktur ideal, ada yang timpang, dan acak.
A. 1 Formula dalam MOJ
1) Formula Bunyi
Setiap karya sastra adalah
merupakan rangkaian bunyi, dan dari bunyi itulah kemudian timbul arti. Jones
(1958:12) sebagaimana dikutip oleh Marsono (2006:16), bahwa secara umum bahasa
dibedakan atas: vocal, konsonan, dan semi vocal. Dalam mantra sistem Hindu,
bunyi merupakan unsur pokok pembangunnya. Syair-syair mantra kadang-kadang secara etimologis tidak memiliki makna. Hal
ini dikarenakan memang mantra
tersebut dirahasiakan oleh pemiliknya atau dengan alasan lain yang belum mampu
dijelaskan pada zaman itu (penyelarasan gelombang). Hanya orang-orang tertentu
yang mengetahui maksud kata atau syair mantra
tersebut, yaitu para Maharsi. Satu hal yang cukup menarik bahwa
orkhestrasi bunyi (voice) yang mampu menimbulkan kesan perasaan yang
mendalam, kesan magis yang menerawang jauh di luar kenyataan sebenarnya, kesan
yang menimbulkan situasi dan suasana khusus.
Sastra Jawa mengenal istilah “Daya Sastra”, yaitu
kekuatan sastra, kekuatan aksara yang memiliki bunyi mendengung. Contoh: ng-Gendong, eN-Dodok ,eM- Balang.
Dalam literatur mantra Hindu, mantra harus memenuhi dua syarat pokok,
yaitu song and sound (lagu/irama/ritme dan suara), misal: OM, AUM.
Sebagai contoh:
Teks MOJ untuk menolak gangguan
makhluk halus
(1) Allahumma watuteluwatitu
(2) Watuteluwatitu watuteluwatitu
(3) Allahumma watuteluwatitu
Rangkaian utuh bunyi vocal
teks mantra di atas akan menjadi:
A-U-O-U-A-A-U-E-U-A-I-U-A-U-E-U-A-I-U-A-U-E-U-A-I-U-A-U-O-U-A-A-U-E-U-A-I-U.
Vocal A ganda dibaca A dengan tempo yang lebih panjang seperti dalam tata
bahasa Sanskrit. Menurut teori gelombang bunyi, suara vocal yang demikian mampu
menembus lais-lapis gelombang yang pada waktunya akan membawa pada kondisi
‘jenuh’ dan memasuki kondidi trans dengan kekuatan adi kodrati atau sering
disebut sebagai “ruang kudus/hierofani
kinestik”. MOJ telah menunjukkan bukti terjadinya “Jawanisasi”
dalam proses diffusi ke proses akulturasi selektif. Fakta ini menunjukkan bahwa kondisi trans untuk menciptakan atau menemukan
visualisasi atau citra mental hampir selalu diikuti dengan bunyi-bunyian (bacaan mantra) dengan tingkat frekuensi tertentu.
2) Formula Diksi dan Gaya Bahasa/Majas
Majas adalah komponen
pembangun mantra yang memiliki
hubungan intim dengan diksi atau pilihan kata yang digunakan di dalam mantra. Khususnya di dalam mantra, sering peneliti jumpai majas
(simile) di dalamnya, seperti: cahyaku cemeng saloka dadaku. Terjemahan:
cahayaku cahaya hitam, dadaku bak slaka (campuran emas dan perak).
3) Formula Imaginasi
Imaginasi yang peneliti maksud
bukanlah konsep tentang imaginasi yang telah mengalami evolusi setiap periode
zaman yang terlalu berbelit-belit. Imaginasi dalam konteks ini sangat berbeda
dengan khayalan, ilusi, atau sekedar membayangkan. Imaginasi di sini sangat
sederhana difahami, yaitu suatu proses kreatif dalam ruang pikiran untuk
menciptakan gambaran-gambaran yang bersifat audio visual. Tentu saja daya untuk
membentuk gambaran ini adalah melalui pencerapan atau sensasi penginderaan.
Tedjoworo (2001:15-25) mengatakan bahwa imaginasi merupakan tindakan kesadaran
menciptakan maknanya sendiri dari dirinya sendiri dengan catatan bahwa
kemungkinan besar sesuatu yang difikirkan sebagai ’bisa terjadi’. Imaginasi
pada MOJ diperlukan mulai
dari proses pengamalan hingga sesudah pengamalan mantra. Sebagai contoh adalah mantra pengasihan. Si pemantra diharuskan membayangkan wajah
orang yang dituju. Selanjutnya, secara otomatis seseorang yang mengidamkan
lawan jenis akan membentuk dunia imaginer romantisme dalam ruang imaginernya. Jenis imajinasi seperti ini disebut dengan istilah imagery eidetic (lihat Jaynes dalam Robertson, 2009:30-31). Jenis imaji
ini memang unik dan sulit dimengerti, dimana imaji menyerupai foto yang telah
terekam di dalam memori otak kemudian diproyeksikan dalam media. Stimulan
munculnya imajeri eidetik ini
biasanya adalah rasa lapar. Peristiwa kimiawi unik dari otak yang disebabkan
oleh rasa lapar dan hasrat besar pada tujuan menimbulkan kemampuan imajeri
dengan gambaran yang luar biasa. Lebih dari itu, suasana ruang yang gelap mampu
memberikan kondisi bagus bagi suatu proses proyeksi dan peniruan dari imaginasi
mental tersebut. Jika kita komparasikan dengan aktivitas mantra, penjelasan
ilmiah di atas sangat relevan dengan fakta keberadaan atau peristiwa aktivitas MOJ.
Setiap mantra yang disebut
sebagai Mantra Ajian, selalu ada syarat laku atau berprihatin dengan
cara berpuasa selama beberapa hari, ditambah lagi melakukan ritual pati geni
atau berdiam diri di dalam kamar gelap untuk penutupan puasa. Tradisi pati
geni ini sangat mungkin merupakan pengaruh dari kebudayaan Arya atau agama
Hindu. Biasanya, saat pengamal mantra atau pelaku spiritual menjalani
ritual-ritual seperti berpuasa dan pati geni, mereka mengaku mendapat
gambaran-gambaran, penampakan gaib yang beraneka ragam macamnya pada tiap-tiap
individu. Gambaran-gambaran mental ini selanjutnya mereka sebut dengan istilah
“wangsit, pulung, dan tenger”. Benang merah yang
dapat ditarik dari fenomena-fenomena tersebut tidak lain adalah adanya ”daya
imaginasi visual”. Pencitraan ini diharapkan akan membuat hasil dari suatu
tindakan terjadi seperti yang diharapkan.
B.
Makna Laku (Disiplin
Ritual) MOJ
Penelitian ini tidak sekadar menyuguhkan paparan
perkembangan kebudayaan mental yang bersifat interpretatif, namun lebih kepada
makna yang ada pada Mantra Orang Jawa. Disadari betul bahwa ketika masyarakat
mengikuti pola-pola yang dibuat khusus untuk kepentingan suatu kelompok, maka
hal-hal yang awalnya hanyalah fiksi belaka akan menjadi sebuah ideologi. Hal tersebut merupakan konsekkuensi perkembangan
pemikiran manusia baik secara partikular/individu maupun kolektif dalam tiga tahap, yaitu: (1)
tahap mitis, (2) tahap ontologis, dan (3) tahap fungsionil (lihat Peursen 1988:18-21). Laku merupakan
salah satu elemen terpenting dalam belajar MOJ untuk mendapatkan daya-daya
spiritual dan supranatural. Berikut adalah hasil inventarisasi laku yang ada dalam MOJ.
1. Pati Geni: Tidak makan, tidak minum, tidak tidur, berada
dalam kamar, tidak buang air (besar/kecil) apabila malam tidak membuat
penerangan.
2. Nglowong: Tidak makan, tidak minum, tidak buang air, boleh
tidur sejenak tetapi tidak bepergian.
3. Ngebleng: Tidak makan, tidak minum, boleh tidur sejenak,
tidak keluar kamar, boleh keluar kamar apabila ingin buang air.
4. Mbisu: Tidak berbicara dengan siapapun. Biasanya
dilakukan di tempat sepi dan jauh dari pergaulan.
5. Mutih: Hanya makan nasi putih tanpa lauk dan minumnya
air putih/ tawar.
6. Mutih: Hanya makan nasi putih tanpa lauk dan minumnya
air putih/ tawar, tetapi dibatasi saur dan buka(biasanya) tepat tengah malam.
7.
Mutih
milang kepel/ngepel: Nasi
putih dibuat kepalan, dan cara makannyapun diatur. Apabila laku selama 7
(tujuh) hari maka hari pertama makan 7 (tujuh) kepal, hari kedua 6 (enam) kepal
dan begitu seterusnya hingga hari ketuju menjadi satu kepal. Tanpa minum.
8. Nawa/tawar: Biasanya disebut laku mutih
40 (empat puluh) hari. Hakikatnya
hanya mengkonsumsi makanan dan minuman yang tawar.
9. Melek: tetap terjaga tidak boleh tidur dan tidak boleh
nyambi/diselingi kegiatan/aktivitas apapun.
10. Puasa: tidak makan dan tidak minum dalam
hitungan 1 X 24 jam.
11. Puasa weton/hari kelahiran: tidak
makan dan tidak minum pada waktu hari kelahiran dalam hitungan 1 X 24 jam.
12. Puasa senin-kemis: tidak makan dan tidak
minum di hari senin dan kamis dalam hitungan waktu 1 X 24 jam.
13. Puasa Ndaud (Daud, Nabi): satu hari
puasa, satu hari tidak berpuasa.
14. Puasa biasa: seperti puasa hari Ramadan.
15. Prihatin dan tapa ngrame: mengurangi
kesukaan/mengurangi bersenang-senang serta ikhlas menolong sesama tanpa pamrih.
16. Kungkum: berendam di sungai tempuran (biasanya waktu yang
dipilih adalah pkl 00:00 – 02.00).
17. Ngedan: dengan sengaja menirukan stile orang gila
pada umumnya.
18. Tapa pendhem: adalah laku mengubur diri hidup-hidup, dan
biasanya dilakukan selama 3 (tiga) sampai 7 (tujuh) hari 7 (tujuh) malam.
19. Ngrowot: laku puasa hanya memakan sayur-sayuran
yang direbus tanpa bumbu penyedap apapun. Biasanya selama 24 jam makan pada
waktu menjelang malam (pukul 18.00).
20. Ngidang: laku ngidang adalah laku yang (cara
makan) meniru perilaku kijang, yaitu merumput sampai ada orang yang ngelokne/
mengatai “ada kijang!” barulah laku tersebut dianggap selesai, dan
biasanya orang yang menjalani laku ini melakukan kompromi terlebih dahulu
dengan salah seorang temannya agar ritualnya cepat selesai.
21. Tapa bolot: tidak mandi atau membasuh diri dengan air selama
waktu tertentu.
Catatan khusus dalam pembahasan ini bahwa semua laku di atas dimulai menjelang
matahari terbenam setelah melalui tahap penyucian raga/lahir. Dalam proses laku
ini diharapkan membawa sikap rendah hati, sabar, tabah, nrima, lila
legawa, nalangsa atas semua dosa yang telah diperbuat. Sikap batin
dan pikiran dianjurkan untuk selalu tenang, jernih, waspada, dan selalu ingat
kepada Sang maha Pencipta (Jw: heneng, hening, awas, eling) sebagai tahap penyucian batin.
Setelah selesai menjalani laku, biasanya ditebus dengan bancakan/syukuran
yang berupa nasi gurih, daging ayam dengan niat atur dhahar Gusti Rosul
doanya slamet kabul.
Selain laku yang telah dijelaskan
di atas, sebenarnya masih banyak jenis laku yang dijalani para pengamal ilmu
gaib seperti manekung/samadi, wiridan (mengulang-ulang
doa pujian), mlaku nekuk sikil pisan (berjalan jauh sesuai dengan yang telah ditentukan namun hanya boleh
sekali saja istirahat dalam posisi duduk), turu pisan (hanya sekali
tidur dalam 24 jam, biasanya tidak boleh lebih dari 2 jam), tidur di
bawah talang/grojogan/pancuran air genting, sesirih, nepi,
bertapa, kaul, beramal dan lain sebagainya menurut lenging ati/niat
yang muncul dari keyakinan hati orang yang akan mengamalkan mantra. Namun pada
umumnya/kaprah digunakan adalah seperti tersebut diatas.
Mencari makna laku yang
mengiringi tiap-tiap mantra sama halnya memegang angin. Dalam kasus ini
mendekati dengan pengertian dasar hiper semiotika, hiper relitas.
Sejauh apapun diamati dengan teori-teori sastra dan teori sosial yag lain,
dapat dipastikan tidak ada korelasi yang tepat antara mantra dan lakunya.
Substansi laku secara metafisik adalah meningkatkan kuantitas dan
kualitas energi batin. Artinya, semakin lama seseorang menjalankan laku,
semakin besar pula energi yang dikantunginya.
Hakikat laku yang kedua
adalah menambah kemantapan seseorang dalam misi mengamalkan mantra, serta
melatih konsentrasi atau berfikir secara fokus, yaitu hanya berfikir tentang
apa yang dicita-citakan atau yang didamba-dambakan oleh si pengamal mantra. Jelasnya, menempatkan cita-cita atau
harapan di atas kebutuhan yang lain. Tujuan laku adalah memberi makanan rohani
dengan cara menempa raga, mengingat bahwa mantra bekerja secara batin, maka
batin harus dikondisikan dalam keadaan kenyang.
Ritual kungkum bisa
ditafsirkan sebagai upaya menekuni satu hal dengan kebulatan tekat (Jw: golong
gilig). Pati Geni dapat ditafsirkan sebagai upaya menakhlukkan api
amarah (setan) yang ada di hati. Puasa mutih dapat ditafsirkan sebagai
upaya penyucian fikiran dan hati dari pengaruh-pengaruh nafsu-nafsu duniawi.
Tapa pendhem bertujuan mengingatkan manusia hidup akan dunia kematian
agar manusia segera bertobat dan memperbaiki akhlak di dunia. Ritual yang lain
bertujuan mengolah perasaan atau kondisi intuitif seseorang. Misalnya dengan
laku ngedan, pengamal bisa merasakan perasaan dihinakan oleh sesama. Tapa
ngidang bisa membuat pengamal merasakan kehidupan binatang kijang. Perasaan-perasaan
yang muncul dari ritual ini diharapkan bisa membangkitkan rasa penghargaan akan
kehidupan alam. Capra (2003) menyebutnya dengan istilah ”ekologis organistik”.
Setiap ritual tertentu dalam
aktivitas mantra selalu dipersiapkan sajen, baik sebelum menjalani
ritual maupun setelah ritual selesai. Di Jawa dan Bali, setiap tempat yang
dianggap angker diberi sesaji pada hari-hari tertentu atau pada saat
acara tertentu, bahkan ada sesaji yang dibuat di luar acara dan hari
tertentu. Sajen berasal dari kata ’aji’ yang berarti: raja, berharga,
dihormati. Sajen merupakan seperangkat tanda yang mewakili niat serta
kondisi batin atau mental. Sajen berupa bunga mawar menandakan niat hati
yang harum. Biasanya berupa bunga setaman, bunga telon (tiga rupa), kembang
piton (tujuh rupa). Bunga setaman melambangkan pluralitas dan pluralisme
atau keberagaman yang manunggal.
Bunga tiga rupa melambangkan
tindakan mengawali, melaksanakan, dan mengakhiri (Jw: purwa, madya, wasana).
Bunga tujuh (Jw: pitu) rupa sebagai wujud permohonan agar mendapatkan pituduh,
pitutur, pitulung (petunjuk, hikmah, dan pertolongan). Bunga kantil dalam
sesaji ilmu pengasih sebagai lambang jatuh cinta (Jw: kumantil). Daun
alang-alang sebagai lambang permohonan agar terhindar dari semua halangan dalam
mencapai tujuan. Uang kertas seratus (Jw: satus) rupiah sebagai lambang
kesungguhan upaya sampai memeras keringat ”ditus”. Air kelapa muda (Jw: degan)
melambangkan air suci kodrati, artinya belum disentuh oleh manusia ataupun
hewan. Dalam pengertian semiotik, sajen tidak melulu sebagai wujud
penyimpangan, tetapi lebih kepada cara menyampaikan maksud dengan tanpa kata.
Maksud yang terepresentasi dalam wujud sajen memiliki kesejajaran makna dengan
mantra, dengan doa.
Laku-laku seperti di atas sesungguhnya merupakan
jalan mencari ngilmu. Ngilmu menurut
pemikiran jawa berbeda makna dengan ilmu yang memiliki pengertian intelektual. Ngilmu
merujuk pada gnosis;
bentuk-bentuk pengalaman mistik, religius, dan intuitif. Perjalanan spiritual
ini disebut dengan olah rasa, yaitu mengolah kepekaan rasa sampai kepada
penghayatan akan apa yang disebut dengan ”rahsa”. Rahsa lebih
dalam dan gaib daripada rasa. Rahsa
adalah tempat bertahtanya ’Gaib’. Metafora untuk rahsa adalah darah
yang dikontasikan dengan makna ”hidup” (Jw: Sejatining Urip). Stange
(2009:5) mencoba mendeskripsikan makna rasa sebagai kemampuan pengenalan
untuk mengetahui aspek-aspek intuitif terhadap realitas. Pengalaman dan
pengetahuan intuitif menurut paham Jawa dapat menjangkau ”wahyu”.
C.
Fungsi MOJ
Secara psikologis, fungsi mantra adalah sarana untuk menambah
kekuatan mental. Artinya, mantra
sanggup memberikan kekuatan bagi seseorang yang kehilangan rasa percaya diri
dengan satu catatan ‘percaya penuh’. Mantra
mengandung sugesti yang mampu membangkitkan etos, semangat, dan rasa percaya
diri terhadap pemiliknya. Setidaknya
terdapat 28 jenis MOJ berdasarkan fungsinya.
1) Mantra panyuwunan: berfungsi untuk meminta anugerah baik
yang berupa materi maupun anugerah kebahagiaan batin.
2) Mantra tulak balak: berfungsi untuk mengembalikan hal-hal
buruk yang datang menyerang, baik serangan dari makhluk halus maupun dari
perbuatan orang lain dalam bentuk santet, tenung, teluh, guna desti.
3) Mantra kawaskitan: berfungsi untuk melihat dan masuk ke alam lain.
Berfungsi untuk melihat orang dari jarak jauh, untuk melihat masa lalu dan masa
depan. Mantra jenis ini dikenal juga dengan nama sorog. Mantra jenis ini dalam praktiknya lebih
sering dipakai untuk nayuh pusaka (mengetahui kekuatan gaib penunggu
pusaka).
4) Mantra kanuragan: mantra-mantra kanuragan digunakan untuk
mencapai titik “atosing balung, uleting kulit” atau lebih dikenal dengan
istilah kebal. Mantra kanuragan ini
biasanya bersifat membuat kebal senjata api, senjata tajam, dan kebal pukulan.
5) Mantra Guru Sejati: mantra
jenis ini bersifat multi fungsi, artinya bahwa dalam pengamalannya tergantung
maksud pengamal. Kekuatan yang dipanggil berasal dari dalam diri yang dianggap
sebagai guru kehidupan.
6) Mantra pengobatan: mantra
jenis ini berfungsi untuk penyembuhan segala macam jenis penyakit.
7) Mantra Sanggama: berfungsi untuk menambah kenikmatan dalam
aktivitas seksual. Dipercaya bahwa dengan mengamalkan mantra senggama, maka pasangan tidak akan berselingkuh dengan orang
lain. Kepercayan ini berdasar pada anggapan bahwa mantra senggama juga berguna sebagai perekat hubungan pasangan
setelah melalui hubungan seksualitas.
8) Mantra pengasihan khusus: berfungsi untuk menakhlukkan hati lawan
jenis. Biasa dipakai oleh orang-orang yang mencari pasangan. Ada beberapa mantra pengasihan khusus tertentu
disebut sebagai golongan ilmu pelet.
9) Mantra pengasihan umum: berfungsi dalam merekatkan hubungan
dengan sesama, meningkatkan kualitas aura, meningkatkan kualitas empati, dan
menarik perhatian umum.
10) Mantra pangruwatan: berfungsi membersihkan aura kotor, menghilangkan
kesialan, merubah nasib buruk menjadi lebih baik, memperbaiki kelakuan, dan
penyempurna tingkat spiritual seseorang.
11) Mantra tolak udan: berfungsi untuk menahan turunnya air hujan atau
memindah arah turunnya hujan.
12) Mantra Brojol: berfungsi melancarkan proses persalinan. Juga
digunakan untuk membuka gembok.
13) Mantra ngedohke ula lan kewan galak: berfungsi untuk menjauhkan gangguan ular
dan hewan buas lainnya agar tidak masuk rumah, agar tidak datang mengganggu
pengamal mantra.
14) Kidung Mantraweda: dipercaya bahwa mantra dalam bentuk kidung Mantraweda
memiliki multi kegunaan seperti yang dijelaskan dalam teks. Mantra ini akan
lebih manjur dengan cara pengucapan dilagukan dengan metrum macapat
dhandhanggula.
15) Mantra pager diri (keslametan), pager
omah, santet (nyerang):
berfungsi melindungi diri dari serangan atau gangguan makhluk halus, hewan,
serta manusia lain yang datang secara tak terduga. Mantra menyerang digunakan untuk melumpuhkan orang lain dari jarak
jauh tanpa melalui kontak fisik.
16) Mantra mbukak Aura: berfungsi untuk membuka aura atau prana
seseorang. Aura yang masih tertutup dianggap menarik hal-hal buruk dan mudah
mendapat gangguan fisik maupun non fisik. Aura yang telah dibuka dipercaya bisa
menarik rejeki dan mendatangkan kebahagiaan. Selain itu dipercaya bahwa aura
yang telah terbuka akan meningkatkan kualitas spiritual seseorang.
17) Mantra bangun tidur tepat waktu: berfungsi agar bisa
bangun tidur tepat waktu sesuai yang direncanakan dalam keadaan segar bugar.
18) Mantra manekung: berfungsi untuk menuntun dalam proses semedi dan
mempercepat kondisi semedi. Mantra manekung
juga berfungsi untuk mempertajam penghayatan dan pengetahuan terhadap kasunyatan.
Mantra jenis ini digunakan oleh
pengamal untuk melakukan pemisahan badan halus dan badan fisik (Jw: (ng)raga
sukma).
19) Mantra betah luwe: berfungsi untuk menahan lapar dan haus. Biasanya
diamalkan ketika menjalani puasa atau ritual khusus selama beberapa hari.
20) Mantra betah melek: berfungsi untuk menjaga ketahanan mata agar
tidak kelelahan dan tertidur. Mantra
ini biasanya diamalkan ketika menunggui orang meninggal dunia di hari selasa kliwon.
Mantra ini lebih sering diamalkan
ketika pengamal mantra sedang
menjalani laku khusus yang harus ditebus dengan syarat tidak tidur
selama beberapa hari. Dipercaya oleh orang Jawa bahwa laku melek merupakan
laku yang paling berat dalam proses spiritual. Namun terjaga atau melek dalam
konteks ini tidak sekadar ’tidak tidur’ selama berhari-hari dan berkegiatan
menyibukkan diri dengan hal-hal anorma. Laku melek harus disertai dengan
pengendalian diri, pengekangan nafsu, perasaan pasrah, nalangsa
(menyesali dosa-dosa). Dan yang diharapkan adalah mencapai ketenangan serta
keheningan pikiran dan batin.
21) Mantra pengeling-eling: mantra
ini berfungsi untuk meningkatkan daya ingat atau menghindari kondisi ’cepat
pikun’, tidak mudah lupa terhadap apa saja yang pernah dilihat, didengar,
dipelajari dan dialami sebagai pengalaman berharga.
22) Mantra penglarisan: berfungsi untuk menarik konsumen atau
pelanggan, meningkatan kuantitas penjualan barang atau jasa. Mantra
penglarisan digunakan oleh kaum pedagang (barang dan jasa) untuk meraih
keuntungan yang banyak.
23) Mantra sirep: berfungsi untuk menidurkan orang baik secara
massal maupun perorangan. Mantra sirep biasanya digunakan oleh para
pencuri untuk menidurkan penjaga ronda dan pemilik rumah yang disatroni. Mantra ini bersifat memaksakan kehendak
terhadap kesadaran orang lain.
24) Mantra Kasukman: mantra
ini berfungsi dalam mempelajari hal-hal yang bersifat gaib, yang berhubungan
dengan roh atau nyawa. Mantra kasukman
digunakan untuk menunjukkan jalan pelepasan pada orang yang sulit meninggal
dunia. Mantra jenis ini ada pula yang
disebut dengan nama mantra pangracutan. Mantra pangracutan
diamalkan apabila ada seorang yang sakti dalam keadaan sekarat. Dipercaya bahwa
roh seseorang tersebut tersiksa dalam wadag-nya karena digondeli oleh
ilmu kesaktian yang diperoleh semasa hidupnya. Dengan mateg mantra
pangracutan, roh seseorang tersebut akan segera terbebas dari raganya.
25) Mantra tetanen: diamalkan pada waktu musim bercocok tanam dengan
maksud agar hasil panen sesuai dengan harapan. Mantra bertani berfungsi
untuk menjauhkan hama tanaman, menjaga kesuburan tanah dan kelancaran irigasi.
26) Mantra dhanyangan: mantra ini berfungsi untuk berhubungan
serta mendatangkan makhluk gaib penunggu
tempat tertentu atau pusaka tertentu. Tujuan mengundang roh atau kekuatan alam
ini adalah meminta bantuan dari daya-daya dalam mencapai tujuan. Sebagai contoh
pengamalan mantra dhanyangan adalah dalam kasus pemilihan kepala desa. Mantra
dhanyangan bersifat fleksibel, artinya, bisa dikategorikan sebagai ilmu
putih, bisa ilmu hitam, dapat pula abu-abu (mengandung unsur hitam dan putih).
Apabila digunakan dalam upaya mencari ketentraman dapat dinyatakan bersifat
putih, tetapi sebaliknya, apabila digunakan untuk menyantet, tenung, teluh,
dan guna dhesti, jelaslah bahwa sifatnya hitam. Namun pada hakekatnya
semua mantra beserta kekuatannya akan
berada pada posisinya masing-masing tergantung pada praktik pengamalnya
27) Mantra puter giling: berfungsi
untuk memanggil orang hilang, mendatangkan orang dari tempat yang jauh. Teknik
mengamalkan mantra ini beraneka
ragam. Ada yang melakukan membaca mantra
pada saat menjelang tidur tengah malam. Namun ada juga yang menyiapkan
perlengkapan ritual seperti gentong atau ember yang telah diisi air,
kelapa muda yang telah dibelah untuk digunakan sebagai alas kaki saat ritual
pemanggilan, lilin/dian, serta barang berupa pakaian, rambut, kuku, atau
foto orang yang dimantrai.
28) Mantra judi: berfungsi untuk meraub kemenangan saat berjudi.
Pengamalan mantra ini disertai dengan penyesuaian hari dan pasaran ketika
berjudi, serta arah keberuntungan (naga dina).
C. 1 Kesejajaran Konseptual Sains dan Mistik (Sunyata) dalam
MOJ
Otak dari setiap manusia yang
masih hidup selalu menghasilkan gelombang listrik fluktuatif. Gelombang listrik
inilah yang sering disebut sebagai ’gelombang otak’. Dalam perkembangan medis
berkenaan dengan psikologi, gelombang otak manusia diukur dengan alat Elektro
Enchepalograph (EEG). Gelombang otak memiliki tingkat-tingkat frekuensi
yang berlainan seperti berikut.
1. frekuensi Beta (12-25 Hz): gelombang ini
dominan pada saat seseorang dalam kondisi sadar penuh yang menuntut logika dan
analisa tingkat tinggi.
2. frekuensi Alfa (8-12 Hz): dominasi
gelombang ini terjadi pada saat seseorang dalam keadaan rileks. Gelombang ini
sering disebut sebagai kondisi meditatif. Gelombang alfa berfungsi
menghubungkan alam sadar dan bawah sadar. Mantra-mantra tertentu biasa digunakan
untuk wirid dengan tujuan memasuki wilayah gelombang alfa agar menghasilkan
suasana aman, nyaman, dan tenang.
3. frekuensi Teta (4-8 Hz): gelombang ini
mendominasi pada saat seseorang dalam kondisi hipnosis yang cukup dalam atau
meditasi dalam. Orang Jawa menggambarkan pengalaman ini dalam syair ”...layab
liyebing aluyub”. Yaitu kondisi setengah tidur, setengah terjaga. Ini
disebut sebagai gerbang ’gaib’.
4. frekuensi Delta (0,1-4 Hz): kondisi ini
seperti orang yang tidur nyenyak tanpa mimpi (suwung).
5. gelombang Epsilon (dibawah 0,5 Hz): untuk
gelombang ini belum banyak diketahui oleh para peneliti. Gelombang ini merambat
dengan kecepatan cahaya 299.792,46 Km/detik. Nyaris berkecepatan sama dengan
kecepatan cahaya (SI) yang dilambangkan dengan c = 300.000 Km/detik (lihat Diddi,
2010:15-25, Agiel, 2010:104-106).
Telah disepakati bahwa cahaya
matahari memerlukan waktu sekitar 8 menit untuk menempuh jarak ke bumi (lihat
Capra,1991:169). Einstein memperkenalkan persamaan
matematis yang sederhana namun sangat sulit dan rumit sebagai berikut: E = m.c². E adalah energi, m adalah massa
benda, dan c adalah kecepatan cahaya (300.000 Km/detik). Dalam waktu 8 menit pikiran manusia telah mampu
menjangkau jarak bumi-matahari. Dalam waktu satu detik,
pikiran manusia mampu menempuh jarak lebih dari 300.000 Km. Sebagai contoh,
jika anda pernah pergi mengelilingi bumi, sekarang pikiran anda akan dengan
cepat dan mudah mengulanginya kurang dari satu detik. Dalam Jawa diungkapkan sebagai berikut:
”weninging cipta wus kawasa ngungak sakisining tri loka”
(terjemahan: pikiran jernih
mampu melihat aktivitas tiga
dunia: bumi, langit, sorga)
“keplasing cipta wus kawasa
mobah wasesaning mangsakala”
(terjemahan: pikiran melesat (ke alam takdir) untuk merubahnya)
Peristiwa mistik tersebut
begitu cepatnya bagai kilat. Oleh orang Jawa dipergunakan metafora ”pindha
pesating supena sumusubing rahsa jati”; bagaikan mimpi yang merasuk
sanubari. Maka tidak heran jika masalah ’pikiran’ begitu penting setelah rasa.
Tidak heran apabila seseorang yang telah mampu mengolah mentalnya dikatakan ”lantibing
cipta ngungkuli landheping curiga”; tajamnya pikiran melebihi ketajaman
keris pusaka. Manusia pada tahap ini dikatakan sebagai ”jalma limpat
seprapat tamat; waskitha; mengerti sebelum diajarkan. Jika benar bahwa
mantra merupakan bentuk bahasa afirmatif, maka hukum aksi pikiran berlaku dalam
kasus mantra.
Hukum pikiran mengatakan bahwa
hal-hal yang ada dalam pikiran (mental) akan terwujud secara persis sama di
dunia faktual (Giardina, 2003:27). Aktualitasnya bekerja sesuai daya saran yang
diserap oleh alam bawah sadar. Pikiran digolongkan menjadi tiga, yaitu pikiran
tak sadar, pikiran sadar dan pikiran bawah sadar. Pikiran bawah sadar selalu
memberi respon dan mengusahakan apa yang tertanam dipikiran atau mental sadar.
Pikiran sadar berkait erat dengan akal, logika. Pikiran bawah sadar berkait
dengan hal-hal imaginer dan kepercayaan. Percaya berarti menerima suatu hal
sebagai benar. Hukum kepercayaan mengatakan bahwa ”sesuai dengan kepercayaan
anda, akan terjadi pada anda (Murphy, 2008:63, 81), karena sebagian besar
pemikiran kita dilakukan di bawah sadar, dan tanpa kita sadari kognisi alam
bawah sadar membentuk dan menyusun segala pemikiran sadar (Capra, 2009:74,78).
Karena daya-daya, efek-efek dari segala hal adalah energi, maka dapat ditarik
benang merah bahwa energi mengalir mengikuti pikiran.
Metode afirmatif mental bawah
sadar dengan cara mengulang-ulang syair mantra tertentu, misalkan pada kutipan mantra pengasih, dalam teori swahipnosa dianggap sangat
efektif. Syair mantra ini bersifat past tense, artinya seolah-olah hal yang diharapkan sudah terjadi. Sikap
memasuki swahipnosa (menghipnosis diri) biasa dilakukan dengan cara
memandang ujung hidung (lihat Krishna, 2006:69). Sikap ini seperti sikap manekung
atau semedi dalam gaya Jawa. Afirmasi daya saran positif akan efektif
apabila ditanamkan pada bawah sadar seseorang ketika dalam keadaan relaks
penuh. Tujuannya adalah untuk mengatasi masalah mental yang sedang dihadapi
(lihat Rafael, 2010:10).
”...
Raga jiwane si...
Teka welas teka asih
marang jabang bayiku”
Kalimat-kalimat di atas
bersifat past tense. Pengamal mantra telah meyakini hasil atau efek
mantra yang diamalkan, yakni wanita yang dituju sudah jatuh cinta atau cinta
mati terhadap pengamal mantra pengasih. Pengamalan mantra ini dilakukan
selama tiga hari tiga malam puasa ngrowot, mantra diucapkan
berulang-ulang. Tujuannya adalah meningkatkan kualitas keyakinan akan hasil.
Bertolak dari teori pola kerja pikiran di atas, bisa dipastikan bahwa bawah
sadar akan mengkonkritisasi diri menjadi seperti daya saran dalam syair mantra.
Pengamal mantra ’telah’ membuat orang lain ’menjadi’. Bawah sadar akan
mengejawantah dalam dunia faktual. Bawah sadar mencari informasi kosmik tentang
kesesuaian pemantra dan yang dimantrai. Logika yang berlaku disini adalah
sesungguhnya si pengamal mantralah yang melakukan penyesuaian mental dengan
orang yang dituju.
Penjelasan di atas akan menjawab misteri yang selama ini
menyelimuti wacana seputar ritual-ritual aktifitas mantra. Para guru
(narasumber) tidak mampu menjelaskan kaidah-kaidah laku secara
sistematik karena kurangnya pemahaman konsep-konsep dasar. Hal ini seperti
seseorang petani yang ahli dalam mencangkul, namun tidak bisa mengajarkan
metode mencangkul terhadap orang lain. Model perguruan dengan cara melihat,
memperhatikan, dan mempraktikkan masih berlaku hingga sekarang. Gaya berguru
seperti ini seperti pepatah ”anda akan menjadi seperti dengan siapa anda
bergaul”.
Berpijak pada konsep di atas,
kemanjuran suatu mantra sangat berkait erat dengan kepercayaan dan keyakinan
pengamal mantra terhadap dogma keberhasilan akan hasil yang gemilang yang ada
dalam mantra, selain ditopang dengan konsep-konsep kekuatan vibrasi, getaran,
dan gelombang yang dihasilkan oleh kata-kata tertentu dalam mantra untuk
mencapai tataran frekuensi Alfa atau frekuensi Teta. Keyakinan ini bisa muncul
dari diri pribadi atau berasal dari stimulan wacana mantra yang digunakan, bisa
juga berasal dari afirmasi syair-syair mantra. Masalah keyakinan ini yang
sering ditekankan oleh sebagian besar narasumber kepada para murid atau pasien.
Keberhasilan mencapai tujuan tergantung pada tingkat atau kualitas keyakinan
seseorang.
Misteri laku atau
ritual yang mengiringi praktik bermantra akan terungkap jika melihat fakta
ilmiah di atas. Peneliti dan siapapun yang pernah memasuki jagad kebatinan
sudah bisa dipastikan pernah menjalani ritual, atau paling tidak pernah
mendengar ritual melek dan puasa dalam berbagai macam jenis. Setelah
melakukan ekplorasi dan penyelidikan mendalam, peneliti menemukan maksud
dibalik ritual-ritual tersebut. Pokok gagasan adalah mencapai keadaan trans
atau layab luyubing aluyub untuk mencapai tataran frekuensi Teta. Hal
ini sangat logis terjadi pada seseorang yang telah mengalami kelelahan mata
selama puluhan jam (melek).
Proses di atas terjadi karena daya
tarik-menarik dan dorong-mendorong antara syaraf sensorik dan motorik, antara
perintah otak dan perintah ’kemauan/hasrat’. Artinya, kondisi Teta ini sengaja
diciptakan atau dimunculkan. Tentang puasa, sudah bisa dipastikan bahwa tubuh
mengalami kekurangan kalori sehingga menyebabkan daya-daya panca indra melemah.
Dalam kondisi ini tingkat kesadaran mental seseorang digiring ke arah
halusinasi dan imaginasi (Alfa) dan selanjutnya akan masuk kekesadaran
meditatif (Teta) dalam ranah kepekaan spiritual tingkat tinggi.
Sejalan dengan pendapat
Whitehead (2009:148) yang mengatakan bahwa kebenaran religius berkecambah dari
pengetahuan yang diperoleh manusia tankala operasi inderawi dan intelektual
yang biasa saja ini berada pada puncak kepekaan. Maka tidak heran apabila
setiap guru selalu berpesan agar menjaga kesadaran agar tidak ketiduran. Begitu
pula dengan bentuk-bentuk laku yang lain, bahwa semua laku merupakan
permainan psikis/emosi sekaligus kognitif. Sampai pada pembahasan ini ditarik kesimpulan bahwa praktik-praktik
mengolah batin dan mental adalah proses penetralisasi, penyeimbangan,
penyesuaian, dan transformasi energi melalui jalur/gelombang/frekuensi
tertentu. Langkah ini merupakan upaya transformasi
pemahaman fisika modern ke dalam ranah sastra budaya yang dicitrakan oleh
beberapa kelompok sebagai anti sains. Selama ini sains dianggap sebagai hal
yang sistematik. Hal ini telah digagas oleh Capra (2009:61, 78), seorang ahli
fisika teoritik, filosof sekaligus mistikus terkemuka pada abad ini bahwa dialog
antara sains kognitif dan tradisi kontemplatif meditasi menunjukkan bahwa
bukti-bukti praktik meditasi akan menjadi bagian dari sains kesadaran apapun di
masa depan.
Teori kuantum modern
membuktikan bahwa semua atom bergetar pada tingkat frekuensi masing-masing, dan
semua energi saling mempengaruhi tanpa bergantung pada jarak. Secara sederhana
teori kuantum dapat difahami bahwa energi merupakan aliran foton
(elektromaknit) yang berbentuk pulsa-pulsa terpisah yang sangat kecil dengan
jumlah energi sebanding dengan frekuensi dari radiasi yang dipancarkan (lihat
Stockley, Oxlade, dan Wertheim, 2000:84). Dalam konsep atomik dikatakan bahwa
fenomena kuantum bisa berperilaku sebagai gelombang dan kadang berperilaku
sebagai partikel. Elemen atom-atom ini menyesuaikan dengan alat diteksinya
(Capra, 1991:150, Mappadjantji, 2005:73-74). Dalam mantra, akan dijumpai hal
yang sama, yaitu antara batas yang disebut dengan ilmu hitam dan ilmu putih.
Sebagai contoh adalah Mantra Kanuragan yang bisa digunakan untuk berbuat kebaikan ataupun kejahatan.
Efek mantra kanuragan bisa
digunakan untuk ’berbuat baik’ (melindungi diri dari bahaya, menolong orang)
dan bisa digunakan untuk ’berbuat kejahatan’ (merampok, berkelahi) tergantung
niat dan moralitas orang yang akan menggunakannya. Dari kasus ini bisa
disimpulkan bahwa batas hitam dan putih dalam mantra diukur dari kode etik dan
moral. Dakwaan tentang ’kuat’ dan ’tidak kuat’ dalam menerima ilmu atau ajian
tertentu ternyata lebih mengacu kepada managemen emosional seseorang. Orang
yang belum mampu mengendalikan hawa nafsu dianggap tidak kuat memiliki ajian
tertentu. Dengan ajian yang dimiliki, membuat seseorang dalam usia labil
menjadi sombong. Dogma inipun bersifat ketidakpastian (relativitas). Fenomena
hitam dan putih dalam dunia mantra, peneliti sebut dengan istilah ”Kuantum Mantra”.
Menguak misteri eksistensi
rajah, jimat, atau benda pusaka di dunia paranormal akan lebih mengena dengan
memahami konsep relativitas. Teori relativitas mengatakan bahwa massa, tak lain
merupakan bentuk energi. Energi tidak hanya bisa menempati berbagai bentuk,
namun bisa pula ’terkurung’ dalam massa suatu objek. Sekarang telah jelas bahwa
mantra dalam wujud benda memiliki kadar fungsi yang sama dengan mantra lisan,
karena energi yang dihasilkan oleh mantra tersebut telah ditransfer, diisikan,
dan dikunci (dipagar) dalam benda sebagai medianya. Energi yang ada dalam
rajah, jimat, atau pusaka lebih populer disebut sebagai kodam.
Aktivitas bermantra merupakan
pola transformasi energi dalam bentuk getaran atau gelombang. Seperti telah
peneliti paparkan di atas bahwa gelombang tersebut, selain dari gelombang
’pikiran’, mental, atau batin, juga mencakup gelombang yang ditimbulkan oleh
suara si pengamal mantra. Jika mantra yang diucapkan berisi tujuan-tujuan
dunia, analogi yang tepat untuk menjelaskan fenomena ini adalah frekuensi pada chanel
radio. Pengamal mantra sesungguhnya sedang dalam proses penyesuaian frekuensi.
Kenyataan ini tidak disadari betul oleh para pengamal mantra secara umum. Jika
frekuensi subyek pemantra dan objek yag dimantrai telah bertemu, maka terjadi
keselarasan. Namun tidak menutup banyak kemungkinan adanya gangguan frekuensi
yang berasal dari dalam diri si pemantra maupun faktor luar (alam atau pengamal
lain). Karena tidak ada alat ukur ketepatan frekuensi subjek dan objek,
ditambah lagi dengan ilmu titen, maka para guru selalu menganjurkan agar
mantra-mantra tersebut diucapkan selama beberapa malam (dengan hitungan 3, 7,
9, 21, 40 malam) secara ajeg dan konsisten dalam waktu. Pemilihan waktu tengah
malam inipun bukan tanpa alasan. Tengah malam merupakan kondisi alam yang
hening. Kondisi yang nyaman untuk melakukan penyesuaian frekuensi. Khusus untuk
mantra pengasihan, diharapkan orang yang dituju sudah tertidur. Artinya bahwa
si pengamal mantra tinggal menyesuaikan tingkat atau dimensi frekuensinya
terhadap objek sasaran.
Mantra pengobatan dalam data
penelitian ini menggunakan media air. Tradisi pengobatan menggunakan media air
dalam Islam (Rosyad, 2004:28) dikenal dengan istilah rukyah. Dunia
modern telah mampu menyingkap misteri air. Penelitian tentang air dilakukan
oleh Emoto (2005) dengan menunjukkan kualitas kristal-kristal yang terbentuk
dari berbagai jenis air. Air yang diberi ’informasi’ (dalam bentuk tulis maupun
lisan) positif akan menghasilkan kristal yang baik, sebaliknya jika informasi
yang diberikan negatif atau tidak baik, maka air tersebut tidak bisa
menghasilkan kristal yang bagus, bahkan tidak bisa membentuk kristal. Mengingat
bahwa 75 % tubuh manusia terdiri dari air, maka air yang sehat menentukan
kesehatan tubuh orang yang meminumnya. Seburuk apapun kualitas air, bila terus
menerus diberi informasi positif, kadar kualitasnya akan membaik. Air yang
telah diberi informasi positif bisa digunakan sebagai obat untuk hampir segala
penyakit. Tindakan penyembuhan dengan air dilakukan dengan cara membaca mantra
atau doa penyembuhan pada air sebelum diminum. Jika tidak ada doa khusus, cukup
memberi tulisan seperti ’terimakasih, sembuh, sehat, dsb’, kemudian ditempelkan
berhadap muka pada botol air (dibaca oleh air di dalam botol). Catatan penting
mengenai air adalah bahwa kualitas air tidak mampu bertahan terhadap gelombang
listrik/elektromagnetik. Air juga tidak memiliki ketahanan terhadap energi dari
benda sejenis logam. Temuan ini sejalan dengan konsep lima elemen dalam tradisi
Tao China, yaitu hubungan ’saling’ antara unsur air, api, kayu, tanah, dan
logam.
Merunut konsepsi pembangun
formula serta seluk beluk dunia mantra dapat dipastikan akan menyentuh dimensi
kompleksitas (bandingkan Capra, 2009:83). Sejalan dengan pernyataan Whitehead
(2009:246) bahwa di dalam filsafat organisme doktrin-doktrin tidak bisa
dijelaskan secara terpisah dari satu dengan yang lain. Doktrin-doktrin tersebut
membentuk penjelasan dengan prinsip fundamental, yaitu ontologis dan
relativitas. Semesta raya memiliki jaringan/sistem organis yang saling
terhubung kait, saling mempengaruhi anatara satu dengan yang lain, serta
bersifat dinamis seperti halnya Mantra Orang Jawa dalam penelitian ini.
Paragraf ini
peneliti akan mengulas hakikat kasunyatan atau mistik dalam Mantra Orang
Jawa dengan paradigma relativitas khusus dan teori atomik. Dimensi realitas
tertinggi dalam pemahaman Jawa disebut dengan sunyaruri yang berarti
suwung atau nir. Istilah kasunyatan, sunyata, dan sunya.
Namun kekosongan atau kasunyatan ini bukanlah merupakan hakikat tertinggi.
Hakikat tertinggi adalah Pengada kasunyatan. Penguasa alam sunyaruri
bernama Sang Hyang Wenang atau Hyang Tunggal. Konsep ini termaktub dalam
ceritera pakeliran wayang Jawa. Konsep ini memiliki kesamaan dengan konsep
dalam Bhagavad Gita VIII : 20: ”lebih
tinggi dari Tak Nyata adalah Pengada Tak Nyata”. Namun ada bentuaran
konsep tentang Tuhan bagi orang Jawa. Ada pendapat yang menyatakan bahwa Tuhan
orang Jawa asli bernama Hyang Taya yang berarti kosong namun memiliki
sifat, artinya adalah kosong tapi sebenarnya penuh dengan isi. (Jw: Gusti
iku adoh tanpa wangenan, cerak tanpa senggolan, Gusti iku nyangga ya ngayomi),
artinya bahwa Tuhan tidak bisa diserupakan dengan apapun, Ia dekat namun tak
tersentuh, Ia jauh sampai tak terlihat. Konsep kasunyatan yang ’tak
berhingga’ ini di dunia fisika modern diwakili oleh lambang bilagan nol (0).
Nol memiliki hakikat kemutlakan atau infiniti.
Penyelidikan terhadap asal
mula alam semesta dan hakikatnya oleh para fisikawan menemukan suatu kenyataan
yang sampai sekarang belum bisa direpresentasikan, bahkan dengan analogi yang
paling sederhana. Kenyataan ini dikenal dengan nama Teori Fisika Kuantum. Teori
Kuantum begitu membingungkan para ilmuwan kelas wahid sekalipun. Heisenberg
mengatakan: ”...mungkinkah alam begitu absurdnya seperti tampak dalam
eksperimen atom?” Selanjutnya diutarakan bahwa hampa kuantum merupakan realitas
paling transendental, dan merupakan samudra tenang dan diam yang didalamnya
keberadaan semua benda terwujud sebagai gelombang-gelombang atau osilasi energi
(dalam Mappadjantji, 2005:73, 81). Temuan dalam dunia fisika di atas sangat
cocok dengan konsep suwung dalam pemahaman Jawa. Kesejajaran ini tampak
pula dalam ajaran Hindu, Budhhis, Zen, dan Tao. Dalam Tao-Te Ching dikatakan
bahwa ”yang tak dapat dinamai nyata selamanya” (Lao Tzu, terjemahan Saut
Pasaribu, 2010:53). Kesulitan pemberian identitas ’realitas tertinggi’ ini
sampaikan pula oleh Einstein (2010:123) bahwa dalam pemahaman Teori
Relativitasnya, keindahan besar yang dihasilkan dari pertimbangan ini (realitas
tertinggi) terletak pada pengenalan terhadap fakta bahwa semesta
makhluk-makhluk ini adalah terhingga namun masih tidak memiliki batas juga. Lebih
lanjut dikatakan oleh Hawking (tanpa tahun, halaman 80) bahwa keadaan alam
semesta dan isinya, sebagaimana diri kita, telah dengan sempurna ditentukan
oleh hukum-hukum alam, sampai pada batas tertentu oleh prinsip Ketidakpastian.
Kesejajaran esensi antara
Mistik Jawa dan dunia Fisika Modern tentang realitas tertinggi berhenti pada
”ketidakpastian”. Pengamal mantra meditasi mampu mencapai pemahaman dimensi
realitas tertinggi dengan ’oleh rasa’ atau batin, namun dunia sains menggunakan
pendekatan intelektual. Dua pendekatan yang berbeda inilah yang membedakan
antara kutub barat dan timur. Kondisi kasunyatan dirumuskan oleh para
ilmuan fisika dengan pra Big Bang Theory (teori Dentuman Besar). Namun para fisikawan belum mampu menjelaskan
penyebab tunggal kondisi ”lautan energi” alam semesta yang menyebabkan
terjadinya Dentuman Besar. Jalan buntu yang dihadapi oleh Fisikawan dijawab
dengan sederhana oleh Orang Jawa, bahwa penyebab tunggal semesta raya adalah
”Tuhan” yang tidak bisa diserupakan dengan apapun (Jw: tan kena kinayangapa).
Pernyataan dalam konsep Jawa seperti ini sering dikerdilkan oleh kaum kritis
bahwa orang Jawa (orang Timur) adalah bangsa yang ”anti proses”. Sesungguhnya
tidak sesederhana bantahan itu. Orang Jawa menempatan diri sebagai makhluk manusia
yang penuh dengan keterbatasan. Orang Jawa telah mengetahui lungguhnya, jejernya,
atau posisinya sebagai makhluk ciptaan.
Budaya Jawa mampu menampilkan
analogi kosmik dengan jelas, rinci, serta terstruktur, bukan hanya sekadar
dalam wujud ide, melainkan telah mampu ngejawantah dalam wujud artefak. Orang
Jawa adalah manusia yang penuh simbol dan upacara dalam kehidupannya
sehari-hari. Simbol dan bentuk-bentuk upacara ini merupakan penghormatan orang
Jawa terhadap kebesaran Tuhan. Sebelum datangnya pengaruh agama-agama besar
dunia ke Nusantara, orang Jawa telah mengenal hakikat dari Tuhan, yakni Zat
yang tidak bisa diumpamakan dengan apapun, dan hanya bisa diterangkan melalui
sifat-sifatnya.
SIMPULAN DAN SARAN
Sejauh pembahasan di atas,
dapat ditarik kesimpulan bahwa puisi berbahasa Jawa ber-genre mantra (Mantra Orang Jawa) memiliki
ciri-ciri khusus, seperti berikut: (1) memiliki pola struktur ideal, timpang,
dan acak, (2) syair mantra bisa
dirangkai dalam bentuk tembang macapat, (3) memiliki kesan sebagai puisi bebas atau otonom, (4) berbahasa Jawa bercampur dengan bahasa Sanskerta, Arab, (5) secara
psikologis syair pada mantra tertentu
(pengasihan) bersifat egois, emosi, memaksa dan bersifat afirmatif, (6)
kata-kata pada beberapa mantra adalah
nir-arti dan memang tidak memerlukan arti, (7) diksi
dalam mantra bersifat to the point,
(8) syair berisi pernyataan dan informasi keberadaan penguasa kekuatan magis,
gaib, atau adi kodrati (mitos), dan (9) pada beberapa MOJ untuk kanuragan dan clairvoryance
bersifat kloning, yaitu menjadikan diri seperti atau
sebagai tokoh iconik dalam teks mantra.
Mantra adalah
salah satu wahana spiritual dan mental yang masih ada sampai sekarang. Terdapat
hubungan ”saling” antara mantra dengan sastra. Sastra memakai mantra sebagai
objeknya, sedangkan mantra menggunakan sastra sebagai medianya. MOJ berbentuk puisi ekpresif, prosa, dan
tembang macapat. Isi teks Mantra Orang Jawa bersifat nostalgis, yaitu
menceritakan dan mengingatkan ulang akan tokoh-tokoh mitologis. Secara
kontekstual berisi tentang pemahaman tek berhingga akan kehidupan. Aktivitas (laku)
MOJ memiliki makna tindakan
simbolis seseorang, tindakan ini adalah doa. Artinya bahwa mantra sama dengan
doa dalam pemahaman universal. Mantra Orang Jawa dalam penelitian ini memiliki 28 fungsi sesuai dengan klasifikasi masing-masing. Kaidah dari belajar Mantra
adalah ”memayu hayuning bawana agung”, (terjemahan bebas: ikut
menenteramkan kehidupan dunia).
Penelitian sejenis guna memahami fenomena keberadaan mantra dan
budaya lisan yang lain secara lengkap seyogyanya menggunakan teori
kompleksitas. Pluralitas budaya harus difahami sebagai
kekayaan dan bukan sebagai perbedaan yang harus diseragamkan. Belajar tradisi mantra (MOJ) dihimbau memiliki guru spiritual sebagai
pembimbing, karena proses belajar mantra sangat dekat dengan dunia ”gila” dan
kematian, dalam arti bahwa yang
kurang beruntung akan celaka.
Yang paling berbahaya dan sering terjadi adalah ketika orang yang baru saja
belajar mantra menerima mentah-mentah ajaran dan makna syair dalam teks mantra
tanpa memperhatikan apa yang tersirat. Memasuki dunia mantra
bagi pemula akan sangat dekat dengan godaan-godaan ego, seperti: merasa paling
hebat, sombong atau suka pamer. Maka peneliti menyampaiakan saran kepada pembaca dengan ilmu padi, ”semakin
tua semakin merunduk”. Pepatah Jawa memperingatkan dengan ungkapan ”sura dira jayani kanang rat
syuh brastha tekabing ulah darmastuti” atau lebih lazim diucapkan ”sura sudira jayaningrat lebur dening pangastuti”
(terjemahan bebas: setelah dharma atau kebaikan datang, maka
yang jahat akan hancur).
DAFTAR
PUSTAKA
Achmad Faizur
Rosyad. 2004. Mengenal Alam Suci: Menapak Jejak Al-Ghazali: Tashawuf,
Filsafat dan Tradisi. Yogyakarta: Kutub.
Ali Agiel,
2010. Jadilah Sang Jago Hipnotis. Yogyakarta: Garailmu.
Arif Hartarta.
2010. Mantra Pengasihan: Rahasia Asmara dalam Klenik Jawa. Yogyakarta: Kreasi
Wacana.
Capra, Fritjof.
1991. The Tao of Physics; An Exploration of the Parallels Between Modern
Phisics and Eastern Mysticism. Boston: Shambhala.
_______. 2009. The
Hidden Connections: Strategi Sistemik Melawan Kapitalisme Baru (terjemahan
Andya Primanda). Yogyakarta: Jalasutra.
Damardjati Supadjar. 2001. Filsafat
Sosial Serat Sastra Gending. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
Diddi Agephe.
2010. The Power of Sound: Metode Pemberdayaan Diri Melalui Bunyi, Frekwensi,
dan Vibrasi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Einstein, Albert. 2010.
Relativity: The Special and General Theory: Teori Relativitas Einstein
(penyunting Lilih Prililian Ari Pranowo). Yogjakarta: Narasi.
Emoto, Masaru. 2006. The
True Power of Water: HADO (terjemahan Azam Translator). Bandung: MQ
Publishing.
Franz Magnis Suseno.
2003. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Fromm, Erich, D.T.
Suzuki, Richard De Martino. 2004. Zen & Psikoanalisis (terjemahan
Herlambang). Yogyakarta: Suwung.
Giardina, Ric. 2003. BECOME
A LIFE BALANCE MASTER (terjemahan Reslian Pardede). Jakarta: Bhuana Ilmu
Populer.
Hawking, Stephen W.
(tanpa tahun). The Theory of Everything: The Origin and Fate of the Universe
– Teori Segala Sesuatu: Asal-usul dan Kepunahan Alam Semesta .
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Heddy Shri Ahimsa
Putra. 2006. Ketika Orang Jawa Nyeni. Yogyakarta: Galang Press.
Koentjaraningrat.
1974. Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: P.T. Gramedia.
Krishna
Wardhana. 2006. HIPNOTISME: Teknik Memberi Sugesti dan Mempengaruhi Pikiran
Orang lain. Yogyakarta: Delphi.
Mappandjantji
Amien, A. 2005. KEMANDIRIAN LOKAL. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Marsono. 2006. Fonetik. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Maryaeni. 2005.
Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta: Bumi Aksara.
Moleong, Lexy
J. 1990. Metode Penelitian
Kualitatif. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Mudji Sutrisno
& Hendar Putranto (ed). 2005. Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisisus.
Mulder, Niels. 2005. Mysticism in
Java: IDEOLOGI IN INDONESIA.
Yogyakarta: Kanisius.
Murphy, Joseph. 2008. The Power of
Your Subconcious Mind (penyadur Dian Prati). Semarang: Dahara Prize.
Peursen, van.
C. A. 1988. Strategi Kebudayaan (terjemahan Dick Hartoko). Yokyakarta:
Kanisius.
Prabhupada,
A.C. Bhaktivedanta Swami. 1987. Srimad
Bhagavatam of Krsna Dvaipayana Vyasa. Sydney:
Bhaktivedanta Book Trust.
Pradopo, Rachmat
Djoko. 2008. Beberapa
Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Robertson, I. 2009. Misteri Pikiran Manusia: Menyingkap Rahasia
Kekuatan Imaginasi dan Pikiran Manusia Memahami Seluk Beluk Lahirnya Setiap
Pikiran dan Perilaku Manusia.
Romy Rafael.
2010. Menghilangkan Fobia dan Masalah Emosional dengan Hypnotherapi.
Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.
Sri Mulyono.
1983. Sebuah Tinjauan Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang. Jakarta:
Gunung Agung.
Stange, Paul.
2009. POLITIK PERHATIAN: Rasa dalam Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: LKiS.
Stockkley, Corinne, Oxlade, Chris dan
Wertheim. 2000. KAMUS FISIKA BERGAMBAR (terjemahan Abdul Jamil Husin) .
Jakarta: Erlangga.
Sutopo, H.B.
2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Universitas Sebelas Maret University
Press.
Teeuw, A. 1980. Tergantung
pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya.
_______. 1984. Sastra
dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Tedjoworo.
2001. IMAJI DAN IMAJINASI.
Yogyakarta: Kanisius.
Tzu, Lao. 2010.
TAO TE CHING: 81 Filsafat Hidup Tao (penyunting Saut Pasaribu). Yogyakarta:
New Diglossia.
Whitehead,
Alfred North. 2009. FILSAFAT PROSES: Proses dan Realitas dalam Kajian
Kosmologi (terjemahan Saut Pasaribu). Yogyakarta: Kreasi Wacana.
_______. 2009. Mencari
Tuhan Sepanjang Zaman: dari agama kesukuan hingga agama universal (terjemahan
Alois Agus Nugroho). Bandung: Mizan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar