Sabtu, 11 Februari 2012

Naskah Kethoprak (Reinterpretasi)


REINTERPRETASI TERHADAP NASKAH BABAD TANAH JAWI
Studi Kasus Terhadap Naskah Drama Tradisional (Kethoprak)
“NDARU BUMI PAJANG: JRONING LAYAB, LIYEB, LUYUB”
Karya Ki Hartarta (hartarta.arif@gmail.com)
(Dipentaskan di Gedung Wayang Orang Sriwedari, 21 Juni 2011)

A.       Pengantar
Naskah Babad Tanah Jawi merupakan karya sastra Jawa Klasik. Karya sastra sudah diciptakan orang jauh sebelum orang memikirkan apa hakekat sastra dan apa nilai dan makna sastra. Sastra lisan yang belum mengenal sistem huruf dan nama pengarang, sebab sastranya merupakan milik masyarakat bersama, sastra itu tidak semata-mata bersifat penghidangan atau peniruan, melainkan juga merupakan tanggapan terhadap lingkungan, jaman, dan sastra sebelumnya (Harjana, 1981:11). Dapatlah kiranya dikatakan bahwa munculnya sastra yang bersifat tanggapan itulah yang menyebabkan macam-macam versi dari sebuah sastra lisan tertentu, meskipun kelemahan daya ingat manusia juga dapat menyebabkan berubah-ubahnya suatu versi sastra lisan. Perubahan versi itu dilakukan tentu saja dengan maksud agar dapat lebih sesuai dengan nafas dan tuntutan jaman yang terus berubah-ubah, sehingga dari bahan dan pangkal yang sama dapat tumbuh bermacam-macam syair atau cerita lisan karena perubahan lingkungan dan jaman.
Karya sastra menurut kaum strukturalisme adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koheren oleh berbagai unsur pembangunnya. Dilain pihak, struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penggagasan, gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang indah. Di luar pendekatan struktur, terdapat proses-proses atau rentetan peristiwa yang medorong kelahiran karya sastra maupun pengarangnya/kreator. Sebagai pemahaman dasar yaitu era klasik, sastra berarti kitab, atau buku ajaran yang berguna, namun dalam pengertian kontemporer, sastra merupakan simulacrum, representasi dari semua gejala, peristiwa jasmaniah dan atau lahiriah. Karya sastra tidak hanya menceritakan perihal kehidupan, tetapi juga merambah dunia setelah kematian (Mahabarata: Prasthanikaparwa, Swargarohanaparwa).

B. Karya Seni Sastra
Bahasa merupakan media komunikasi paling efektif. Tugas sastrawan adalah memukul bahasa agar menjadi hidup, maka tidak heran apabila di beberapa karya sastra tulis mengandung unsur dramaturgi. Penyampaian karya sastra, baik lisan maupun tulis menggunakan media bahasa selalu melalui proses seleksi atau pemilihan kata. Diksi dan gaya bahasa menjadi stimulan bagi para pembaca dalam rangka membangkitkan daya imaginasi. Hal ini berarti sastrawan harus benar-benar teliti dan tepat dalam menggunakan pilihan kata. Sastrawan mencoba menggunakan kekuatan kata sebagai senjata menembus alam imaginasi, alam emosi penikmat, pembaca atau masyarakat penikmat. Kekuatan kata akan menjadi stimulan daya resap atau kapiler yang diharapkan mampu ngrogoh/ndudut rasa para pembaca atau penikmat dan penonton.
Karya sastra merupakan mimikri dari kehidupan nyata yang telah diolah oleh para sastrawan dengan bumbu-bumbu  bahasa. Tuhan menciptakan manusia, agar manusia hidup, Ia meniupkan ruh hidup. Begitu pula sastrawan, ia meniupkan ruh terhadap karya-karyanya. Bahasa yang dibangun dengan komponen diksi, gaya bahasa, sugesti ternyata mampu menjadi bukit kekuatan. Tidak mengherankan apabila seorang politikus selalu mendalami kemampuan orasi dan retorik. Dengan bahasa dan pilihan kata yang tepat, apa yang disampaikan penutur kepada khalayak akan mampu membakar semangat, mentransfer tujuan ke petutur. Namun apabila ada yang menyalahgunakan kekuatan bahasa, orang tersebut telah membuat orang lain menjadi pecundang. Para pujangga tempo dulu (sebelum angkatan 45), harus memiliki kemampuan seperti; hawi sastra, hawi carita, mardi basa, ketiga julukan tersebut secara harfiah bisa diartikan sebagai seorang yang ahli mengolah sastra (keindahan bahasa), luas pengetahuannya (kaya akan ceritera), dan pandai memilih kata. Untuk menganalisa karya sastra, sebaiknya melihat latar belakang kebudayaan dimana karya tersebut ada.
Culturalisme adalah pendekatan yang berpandangan bahwa dengan menganalisis budaya suatu masyarakat, bentuk-bentuk tekstual dan praktik-praktik budaya yang terdokumentasi, memungkinkan membangun kembali tingkah laku terpola (patterned behavior) dan konstelasi gagasan yang dimiliki bersama oleh para lelaki dan perempuan yang menghasilkan dan mengkonsumsi teks dan praktik-praktik masyarakat itu. Pendekatan ini merupakan human agency yang menekankan pada produksi aktif kebudayaan dan bukan pada konsumsi pasifnya.
Karya sastra dan sastrawan akan lahir dari keadaan sosial budaya di mana ia berada. Seorang sastrawan yang hidup terkurung dalam hegemoni dinastik, tentu saja karya-karya yang dihasilkan selalu menunjukkan, menggambarkan kondisi kehidupan istana, ambilah contoh mpu Prapanca. Dalam setiap karyanya selalu dibungkus dengan konsep dewa raja. Lain halnya dengan musisi legendaris Iwan Fals. Ia hidup dalam resim politik yang absolut sehingga karya-karyanya selalu bersifat satirisme. Keadaan sosial budaya yang selalu berubah-ubah merupakan kesepakatan sementara saja, namun ada pula yang menganggap bahwa kebudayaan tinggi merupakan kesepakatan agung.
Fenomena sosial budaya menyuguhkan berbagai peristiwa atau dinamika kehidupan. Para kawi, sastrawan tidak berhenti pada gejala-gejala yang kelihatan itu, tetapi mencoba menerobos dan melihat apa yang tersembunyi di balik gejala-gejala tersebut. Pengalaman estetik yang didapat tidak hanya rasa ingin tahu, tetapi mengikutsertakan daya-daya lain dari dalam diri kita, seperti misalnya kemauan, daya penilaian, emosi, bahkan seluruh diri untuk menciptakan kristalisasi terhadap objek yang diperhatikan.
Para pencipta karya sastra atau karya seni auratik merupakan individu yang mempunyai sifat unik, berbakat, dan kreatif. Mereka masih menuangkan nilai-nilai ke-Agung-an, dan yang jelas mereka masih memiliki pengikut. Mungkin mereka memunafikkan diri dengan selera jaman. Paradigma pergeseran nilai atau perubahan kondisi sosial budaya selalu mempengaruhi selera massa dan berbengaruh pula pada hasil atau kelahiran karya sastra. Penyebaran sebuah karya sastra maupun karya seni, mulai dari seni primitif, pertengahan, dan kebangsawanan, penerimaannya besifat kolektif. Sebaliknya, dalam seni otonom dan auratik, penerimaan terindividuasi dan penikmat terserap dalam karya tersebut. Praktik-praktik karya sastra, karya seni kontemporer sesungguhnya lebih merupakan penolakan dari karya-karya seni kebudayaan tinggi sebelumnya. Yang jelas bahwa penerimaan, konsumsi, dan kelahiran sebuah produk budaya (karya) berlangsung dalam kondisi ”kacau”.
Karya sastra merupakan kendaraan paling luwes untuk berbagai macam kepentingan. Apakah sastra itu mengabdikan diri kepada keindahan, kaidah, dan kepentingan sastra itu sendiri, atau untuk pengabdiannya kepada masyarakat plural, atau untuk kepentigan agama atau bahkan untuk kepentigan politik. Sastra untuk seni sastra memiliki tujuan mencapai keindahan tertinggi. Nilai etik dan estetik sebisa mungkin adalah keindahan dan kaidah secara transenden maupun imanen. Isi karya sastra semacam biasanya melantukan keagungan alam semesta. Sifatnya netral, tidak diboncengi oleh kepentingan-kepentingan sebuah politik tertentu (budaya, agama, partai). Lain halnya dengan sastra yang diperuntukkan bagi masyarakat, karya sastra ini selalu memiliki standar etik masyarakat penghayatnya. Karya seperti ini biasanya menjadi sistem projektif yakni mengatur pola kehidupan sosial dan berbudaya masyarakatnya, juga sebagai cermin (kaca benggala) kehidupan masyarakatnya. Sastra untuk agama selalu merujuk kepada kepentingan penyebarannya atau keagungan agama tersebut. Karya sastra ini berisi tentang cerita tokoh-tokoh agama beserta ajaran-ajaran yang disampaikan.
Lain halnya dengan sastra untuk politik. Karya sastra ini memang sengaja diiptakan untuk kepentingan golongan tertentu (elite politik). Sebagai contoh adalah mitologi Nyai Rara Kidul. Sebelum nama Panembahan Senapati naik daun, nama Nyai Roro Kidul sama sekali tidak di kenal oleh masyarakat, namun setelah Senapati menjadi penguasa baru mataram Islam, isu yang beredar luas bahwa Senopati bersekutu dengan kerajaan alam lain dengan jalan mengawini ratu pantai selatan itu. Pemeran utama dalam ceritera ini adalah Panembahan Senapati (simbol Jawa), Nyai Rara Kidul (simbol pra-Islam), Sunan Kalijaga (simbol Islam). Senopati mengawini pemimpin makhluk halus untuk mengukuhkan legitimasi hierarki kekuasaanya sebagai raja Jawa baru, sedangkan menurut aturan Islam, hal tersebut adalah musrik. Namun pada kenyataanya, orang Jawa mengesahkan hal itu, dan Kalijaga’pun tidak mengutuk Senopati yang berstatus murid-nya atas peristiwa tersebut.
Relasi antar ketiganya adalah relasi budaya yang dinamakan relasi kooperatif. Senapati mengawini Nyai Rara Kidul (makhluk halus), namun ia juga seorang murid dari Sunan Kalijaga yaitu wali yang menyebarkan agama Islam di Jawa. Apabila dilihat dari kacamata agama, tentu saja hal itu dianggap pelanggaran, namun pada kasus ini, hal tersebut adalah legal, tidak ada masalah, sah-sah saja (mungkin hanya dikhususkan bagi raja). Ketiga tokoh tersebut menjalin hubungan yang rekat, harmonis, sinkretis, tanpa terjadi konflik. Itulah salah satu fungsi mitos, yaitu menunjukkan pesan intelektual ”tanpa konflig”. Namun perlu diingat bahwa mitologi di atas tidak lepas dari pengaruh hegemoni Mataram Islam era Senopati. Mungkin sekali bahwa cerita itu sengaja dibuat untuk memperkuat legitimasi pemerintahan Senapati sebagai raja baru, yaitu transisi dari Pajang ke Mataram agar rakyat benar-benar berserah dan mempercayakan semua perlindungan atau bernaung ke Mataram.
Teks sastra dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) jenis, yang pertama adalah klasik, borjuis, dan radikal. Teks klasik memiliki ciri pakem, artinya semua unsur intrinsik yang ada dalam teks ceritera tidak boleh dirubah (contoh: ceritera wayang). Borjuis memiliki ciri sebagai karya sastra pesanan, artinya cerita rekaan atau carangan untuk kepentigan tertentu atau mengikuti selera penikmatnya. Sedangkan teks radikal memiliki ciri berstruktur kontemporen, bebas, terlepas dari kaidah-kaidah etik – estetik konvensional.
Sastrawan, karya sastra, masyarakat, dan ”alam”, dalam relasi-relasinya yang bersifat partikular dan universal; secara unik berada dalam hubungan yang tak berperantara satu sama lain. Lebih spesifik, tidak terdapat istilah ketiga di mana pemisahan antar keduanya itu diperantarai ketika unsur transendental itu lenyap, problem yang timbul dari persamaan tingkat bahkan menjadi lebih kentara. Dengan demikian apa yang menjadi universal dalam etika adalah individu itu sendiri. Bahwa partikular menjadi universal berarti meruak individualisme masyarakat itu sendiri.

Masalah representasi masyarakat pertama dan terutama merupakan persoalan simbolisasi masyarakat, sebagai universal atau sebagaimana dijelaskan di atas sebagai perpaduan pertikular-partikular. Pentingnya pembedaan antara bentuk itu, lebih lanjut merupakan pokok dalam memahami dan mengkontraskan fenomena klasik dan kontemporer. Akhirnya, kita pasti ingat bahwa persoalan yang dihadapi oleh representasi publik dan pribadi tertentu yang digambarkan sebagai penyatuan adalah setiap sistem referensi diri yang pada akhirnya adalah bagian yang mendukung keseluruhan.

C.       Naskah Drama ”Ndaru Bumi Pajang”.
C.       1 Ringkasan Cerita:
Diawali dengan adegan dua orang pemuda yang tidur di makam (butuh, Sragen) yang kemudian melihat kejadian lintas waktu. Diceritakan di desa Pengging berkumpulah para tokoh Kejawen yang hendak mengungsikan dua jabang bayi bernama karebet dan Jaka tingkir. Pertemuan itu membahas strategi menuju tahta kerajaan yang diperuntukkan bagi Karebet (Sultan Hadiwijaya raja Pajang). Disebarkanlah isu bahwa Karebet samadengan Joko Tingkir, artinya bahwa mereka berdua dibuat seolah-olah menjadi satu tokoh. Kedua pemuda ini berguru di Banyu Biru bersama beberapa teman. Sekelompok pemuda ini menuju ke Demak untuk mengabdikan diri pada Sultan Demak (Trenggono).
Strategi yang digunakan adalah memprofokatori rakyat agar melakukan demonstasi besar-besaran ke Kasultanan Demak. Dengan begitu, mudahlah bagi Karebet untuk menghentikan demonstrasi itu. Singkat cerita, Karebet telah menjadi Sultan baru dengan pemerintahan berpusat di Pajang, sedangkan Joko Tingkir menjadi senapati perang bernama Arya Sinawung.
Masa pemerintahan ini terjadilah konflig dengan adipati Jipang bernama Adipati Arya Penangsang. Terjadilah peperangan antara kubu Pajang dengan kubu Jipang. Arya penangsang berhasil dibunuh oleh Senapati yanng kelak akan membangun dinasti Mataram. Terbunuhnya Arya Penangsang diakhiri dengan pengangkatan sumpah Pemanahan agar tetap setia kepada kedaulatan pemerintahan Pajang. Cerita diakhiri dengan adegan dua orang mahasiswa yang sedang bangun tidur, artinya cerita itu hanyalah mimpi.
C.   2  Reinterpretasi
Kethoprak merupakan salah satu jenis drama tradisional asli Jawa. Kethoprak diperkirakan lahir di Yogyakarta sekitar abad 18, namun ada juga beberapa cerdik pandai yang mengatakan bahwa kethoprak lahir di daerah Klaten. Kethoprak pada awalnya sangat sederhana hingga berkembang seperti sekarang ini. Unsur-unsur yang ada di dalamnya antara lain: dalang, kostum, gamelan, pemain, niyaga, waranggana dan masih bayak lagi yang lain. Sesungguhnya, drama bukanlah karya sastra murni. Artinya, dalam drama telah terjadi kolaborasi antara ilmu seni (seni acting) dan ilmu sastra (dramaturgi). Jadi, drama lebih tepat jika disebut ilmu seni sastra. Riris K. Sarumpaet (dalam Soediro, 1985) mengatakan bahwa Drama adalah kisah yang ditulis untuk selanjutnya dipertunjukkan di atas pentas oleh sejumlah pemain. Disinggung juga oleh Rikrik (2006) bahwa hakikat drama adalah konflig.
Teori konflig dalam ilmu sosiologi diartikan dimana komponen yang satu melemahkan komponen yanng lain untuk kepentingan masing-masing (Raho, 2007), inilah dasar yang digunakan dalam membangun situasi konflig di atas panggung pertunjukan. Drama memiliki ciri pengungkapan dengan cakapan (dialog, monolog). Drama memiliki struktur yang jelas, yaitu: 1) tema dan amanat, 2) alur (plot), 3) Penokohan, 40 latar/setting. Melihat ciri-ciri seperti tersebut, maka penyusun mengambil objek kajian berupa naskah drama Jawa (kethoprak) yang berjudul lengkap ”Ndaru Bumi Pajang: Jroning Layab, Liyeb, Luyub” karya Ki Hartarta yang bernama lengkap Arif Hartarta, S.S.,M.Hum, yang telah dipentaskan di Gedung Wayang Orang Sriwedari pada 23 Juni 2011 silam.
Menurut penulis skenario yang sekaligus sebagai sutradara pertunjukan mengatakan,
”Naskah kethoprak ini sesungguhnya hanyalah reinterpretasi atau interpretasi ulang terhadap makna yang ada dibalik Naskah Klasik Babad Tanah Jawi. Secara sederhana saja, naskah kethoprak yang saya buat ini bisa anda katakan sebagai salah satu episode, yaitu bagian dari keutuhan cerita Babad Tanah Jawi. Boleh juga anda katakan sebagai penyimpangan pakem, sebab saya menafsirkan bahwa tokoh utama dalam naskah ini ada dua yaitu Joko Tingkir dan Mas Karebet; yang pada umumnya dianggap sama. Namun disini saya membedakannya, ini bisa kita kaji dengan paradigma politik kerajaan dimana pada masa itu merupakan masa yang belum tenang dan tenteram. Mungkin anda pernah melihat film dari Cina yang berjudul ”Pangeran menjangan” yang dibintangi oleh Andy Lau. Film inilah salah satu inspirator saya untuk kemudian menggarap naskah pertunjukan ini. Bagi saya pribadi bahwa karya sastra itu harus ditafsir dan ditafsir lagi sesuai dengan paradigma dan perkembangan jaman”.

Cerita dengan judul ”Ndaru Bumi Pajang” yang berarti ”wahyu/kemuliaan di bumi Pajang” memang tidak sesuai dengan pakem yang sudah ada. Untuk melindungi kesan pemahaman masyarakat penghayat yang menyaksikan pementasan tersebut, maka pada akhir pertunjukan ditampilkan adegan dengan setting waktu jaman sekarang, dimana ada dua orang mahasiswa bangun dari tidur, dan mengatakan, ”mimpi dalam layab, liyeb, luyub”. Penyusun melihat bahwa cara ini merupakan cara penulis naskah untuk melindungi diri dari kritikan kaum konservatif. Ada kemungkinan bahwa penulis skenario masih menganggap bahwa masyarakat Jawa generasi tua khususnya belum siap menerima tafsir baru tentang adanya ’surya kembar’, yaitu Mas Karebet dan Joko Tingkir. Ada sedikit pemikiran kritis dari penyususn, jika tafsir Ki Hartarta tersebut ternyata benar dan bisa dibuktikan secara historis, maka sejarah Kerajaan Jawa harus mengalami perubahan yang signifikan, juga harus dilakukan penarikan buku-buku pelajaran sejarah yang sudah beredar dan belum diperbaharui.
Dalam drama, struktur merupakan komponen utama dalam kajiannya, secara sederhana bisa kita sebut unsur intrinsik dan ekstinsik. Namun dalam artikel ini, penyusun tidak menekankan kepada pengkajian unsur intrinsik, tetapi lebih menyoroti unsur ekstrinsik, khususnya yang berhubungan dengan aspek-aspek sosial. Setidaknya ada tiga hal yang harus dicermati dalam analisa sosiologi seni, yaitu:
1.      Sosiologi Seniman
Seorang seniman atau kreator memiliki kepekaan menangkap gejala sekitar. Seniman memiliki tugas menangkap suara (jeritan, ratapan, kebahagiaan) alam dan alam sekitarnya. Seniman ibarat lautan yang bersifat kamot lan momot yang secara harfiah berarti mampu ‘menampung’. Selain  dengan banyak belajar (empiris: membaca, melihat, mengamati), seorang seniman seyogyanya selalu mengolah kepekaan intuisi (rasa) dengan tujuan agar lebih tanggap dan peka.
Proses penciptaan karya dalam dunia seni merupakan perpaduan antara faktor-faktor  internal dengan faktor-faktor yang datang dari luar.
Proses penciptaan sampai pada penciptaan berikutnya selalu melalui empat (4) ruang dan waktu. Keempat ruang tersebut adalah (1) ide, (2) aktivitas berkarya (karya), (3) sajian (teks), dan (4) penikmat. Dimulai dari mendapat inspirasi, menemukan ide, menyusun konsep baru kemudian menuangkan ide tersebut ke dalam bentuk karya seni (memerlukan penggarapan yang matang/proses yang cukup lama). Setelah karya seni terlahir masalah yang dihadapi adalah penyajian. Di dalam penyajian, yang dihadapi adalah penikmat yang siap untuk memuji atau bahkan mencaci. Sastrawan menangkap respon penikmat untuk kemudian merefleksikan lagi ke dalam karya berikutnya. Proses semacam akan selalu terulang seperti sebuah siklus rantai makanan dari kelahiran satu karya ke kelahiran karya berikutnya.
2.      Sosiologi Karya Seni
Sebelum karya seni  terlahir, ia mengalami proses kelahiran atau proses penciptaan. Mencipta berarti merubah sesuatu menjadi sesuatu yang bernilai baru atau mewujudkan sesuatu dengan sesuatu yang sudah ada.
Dalam sosiologi karya seni, karya dipandang sebagai objek yang mandiri atau otonom. Artinya, analisa terhadap suatu karya dilepaskan dari latar belakang seniman dan masyarakat seniman. Analisa seperti ini sering disebut sebagai analisa structural, di mana oleh Roland Bartes dikumandangkan sebagai masa “matinya pengarang”.
3.      Sosiologi Masyarakat
Karya seni adalah untuk dinikmati. Analisa sosiologi masyarakat seni mengkaji hubungan antara karya yang dipamerkan atau diciptakan dengan respon masyarakat, mengingat terdapat masyarakat yang memberi apresiasi dan yang menolak adanya bentuk-bentuk seni.
Nakah Drama Jawa ”nDaru Bumi Pajang” sesungguhnya mengacu pada Naskah Babad Tanah Jawi yang disusun menggunakan metrum macapat. Secara singkat penyususun utarakan bahwa isi keseluruhan Naskah Babad Tanah Jawi berisi silsilah raja-raja Jawa. Dimulai dari cerita Nabi Adam dan berakhir pada cerita Karaton Kartasuta. Naskah kethoprak ini mengambil episode ketika Jaka Tingkir dilahirkan samapi pada pemberontakan Arya Penangsang.
Performance yang disajikan syarat dengan protes-protes sosial yang diuraikan dalam babad Tanah Jawi. Simaklah dialog halaman 12 pada bagian lampiran, bahwa Ki Buyut Banyu Biru mengatakan kalau negeri Demak dipimpin oleh orang-orang yang bisa dikatakan kurang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat. Tokoh Kebo Ndanu yang diuraikan dalam Babad Tanah Jawi ditiadakan oleh penulis skenario, dan hanya diutarakan dalam dialog bahwa nama Kebo Ndanu tersebut merupakan nama organisasi demonstran (gerakan bawah tanah).
Jelas sekali dalam naskah ”nDaru Bumi Pajang”, apabila kita mengetahui serat Babat Tanah Jawi dan Babat Pajang, bahwa Ki Hartarta mencoba membawa cerita babat ke arah historis dengan tafsir-tafsir empiris yang kurang mendapat dukungan dari ilmu pengetahuan. Penyusun menyebutnya sebagai pendekatan ”mitis”.
Secara keseluruhan, kita mendapat gambaran dari naskah yang disajikan tersebut. Ternyata, dari sejak jaman dahulu, fenomena KKN (korupsi, kolusi, dan nepotime) telah ada. Ini dibuktikan ketika Karebet menjadi sultan di Pajang, ia mengangkat Joko Tingkir (saudara angkatnya) menjadi senapati perang, juga mengangkat Mas Jaya Branta menjadi patihnya dengan gelar patih Manca Nagara (sebab ia adalah keturunan bangsa Cina). Sultan Hadi Wijoyo (Karebet) juga mengangkat pejabat pemerintahan dari teman-teman seperguruannya ketika di Banyu Biru, yaitu Pemanahan, Penjawi, dan Juru Mertani. Fenomena serupa pernah terjadi di Indonesia pada masa pemerintahan orde baru. Jadi, fenomena KKN penyusus anggap sebagai pengulangan-pengulangan dosa sejarah, sebab telah dilakukan sejak jaman raja-raja yang memimpin Jawa.
Satu hal yang paling kentara adalah tersisihnya golongan minoritas. Kasus in dialami oleh Ki Ageng Pengging dan kelompoknya ketika menghadapi hegemoni pemerintahan Demak. Secara politis, keberadaan Ki Ageng Pengging, yang dipercaya sebagai murid Sekh Siti Jenar dianggap sebagai kelompok yang mengancam kadaulatan Demak. Kritik penyusun terhadap pemerintahan Demak waktu itu bahwa pemerintahan Kasultanan Demak belum memiliki sistem managerial yang baik, artinya bahwa hegemoni Demak masih saja belum kuat, dengan bukti selalu saja ada konflig antar para waliullah (Siti Jenar, sunan Geseng, Seh Jangkung, Kebo Kenongo, Kebo Kanigoro, dll). Dimana-mana selalu terjadi kecurigaan politik. Kecurigaan ini juga terekam dalam naskah drama Jawa yang menjadi objek kajian analisa ini (lihat kelir 2), dimana Sunan Kudus mengeksekusi Ki Ageng Pengging.
Managemen yang harus dibangun oleh Hegemoni Demak seharusnya managemen kebersamaan, artinya Demak harus mampu menampung aspirasi rakyat, sebab ada indikasi kesenjangan sosial pada masa itu. Demak kurang memperhatikan potensi wilayah bawahan, sehingga tidak sedikit muncul penguasa-penguasa pedalaman, padahal waktu itu umur kerajaan Demak juga belum begitu lama pasca runtuhnya kekuasaan Majapahit (1478 M).
Apa yang digambarkan oleh Ki Hartarta bisa juga merupakan sindiran sosial yang menuding ketimpangan kebijakan pemerintahan sekarang. Pemerintahan sekarang sama juga dengan rahutan adegan yang dipentaskan. Para pemimpin rakyat kurang memperhatikan kepentingan Bangsa dan Negara, namun lebih mementingkan kepentingan pribadi dan golongan dengan kadar yang kurang seimbang terhadap amanah yang sudah diemban. Dalam naskah drama Jawa ini digambarkan rangkain rantai konflig kekuasaan, dimana rakyat selalu menjadi alat pendukung. Para pemimpin saling sibuk mengatur strategi merebut jabatan dan kekuasaan, bukankah hal tersebut begitu mirip dengan yang sedang terjadi di Negeri ini sejak era reformasi? Jadi, dapat disimpulkan bahwa mengangkat kembali kisah-kisah masa lalu, merupakan jalan yang paling aman dalam menyuarakan uneg-uneg seniman, sebab ternyata sejarah hanyalah pengulangan.


Bibiliografi

Andre Harjana. 1981. Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.

Arif Hartarta. 2010. Mantra Pengasihan: Rahasia Asmara dalam Klenik Jawa. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Arif Hartarta. 2010. Panduan Dasar Organisasi dan Bermain Kethoprak. Solo: KKTT Wiswakarman

Baldwin, James Mark. 2007. History of Psychology; a sketch and an interpretation. Yogyakarta: Prismasophie.

Bernard Raho. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarata: Prestasi Pustaka.

Dick Hartoko. 1979. Bianglala Sastra; Bunga Rampai Sastra Belanda Tentang Kehidupan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Edy Tri Sulistyo. H. 2005. Kaji Dini Pendidikan Seni. Surakarta: UNS Prees.

Eka. D. Sitorus. 2003. The Art of Acting (Seni Peran untuk Teater, Film & TV). Jakarta: Gramedia.

Garin Nugroho. 2005. Seni Merayu Massa. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Mudji Sutrisno, Hendar Putranto (ed). 2005. Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Rikrik El Saptaria. 2006. ACTING. Bandung: Rekayasa Sains.

Soediro Satoto. 1985. Wayang Kulit Purwa (Makna dan Struktur Dramatiknya). Yogyakarta: Javanologi (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan).

Turner, Bryan. 2008. Tetori-Teori Sosiologi: Modernitas-Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Naskah Kethoprak : Ndaru Bumi Pajang

http://www.arifhartarta.blogspot.com



NDARU BUMI PAJANG
(Jroning Layab, Liyeb, Luyub)

dening : Arif Hartarta



Sebuah karya kritik Drama Tradisional Jawa yang menggunakan pendekatan “mistis”, dan dimodifikasi dengan paradigma “proses & realitas” ; dalam kerangka ‘dekontruksi’ sederhana berbau ‘postmodernitas’, namun tetap menjaga “harga diri” kethoprak sebagai salah satu identitas kesenian penyangga pilar-pilar kebudayaan Nasional yang berbhineka.
Karya ini merupakan paroh tema besar yang mencoba menafsir ulang sandi sastra dalam serat Babad Tanah Jawi dan Babad Pajang. Dan sekali lagi, bahwa dalam frame ini ada kebenaran dalam logikanya. Semoga bermanfaat.
Salam budaya
(Arif Hartarta, S.S., M. Hum)

Karya ini merupakan karya ke 12 saya dalam bentuk pementasan kethoprak. Karya ini saya akui berbeda dengan karya-karya sebelumnya yang cenderung klasik dan konvensional, walaupun memang ada sedikit yang saya “garap”. Kali ini saya mencoba menggunakan 3 (tiga) type penyutradaraan sekaligus, yaitu: ABSOLUT, RELATIVE, dan BEBAS. Jadi, dalam penyajiannya tidak melulu sama persis dengan naskah ini, mengingat beberapa faktor panggung yang telah saya sebutkan di buku panduan Kethoprak untuk Mahasiswa. Akhirnya, semoga karya ini berguna. Nuwun
Salam Budaya.


NDARU BUMI PAJANG
(Jroning Layab, Liyeb, Luyub)
Naskah lan Sutradara: Ki Hartarta Amurwa Loka

Penokohan:
  1. Ki Ageng Tingkir: paruh baya (±45 th), setia kawan, sabar, pemikir, bijak, ahli strategi politik, waskitha, berkumis abu-abu tebal. Kostum: surjan demangan (jarikan tanpa wiru)
  2. Nyai Ageng Tingkir: paruh baya (±40 th), sabar, pandai membawa diri, pengasih, agak cerewet/lanyap. Kostum: (kebayaan, kudungan sampir).
  3. Ki Ageng Pengging: paruh baya (±45 th), setia kawan, sakti, pemikir radikal, bijak, ahli ilmu gaib, waskitha, berkumis abu-abu tipis. Kostum = no. 1).
  4. Nyi Ageng Pengging: paruh baya (±40 th), sabar, pandai membawa diri, pengasi, ruruh. (Kostum = no. 2).
  5. Ki Ageng Butuh: paruh baya (±45 th), setia kawan, pendiam, teliti, ahli politik, waskitha, berkumis abu-abu agak tebal. (kostum = no. 1).
  6. Ki Ageng Ngerang: paruh baya (±45 th), setia kawan, sangat pendiam, teliti, ahli politik, ahli ilmu tanda, waskitha, berkumis abu-abu agak tebal. (kostum = no. 1).
  7. Ki Buyut Banyu Biru: sedikit tua dari yang paruh baya di atas (±60 th), sakti, ahli segala ilmu, waskitha, serius santai, bijaksana, teliti, kritikus jangka, berkumis putih tebal. (kostum = no. 1).
  8. Mas Karebet: muda (±20 th), setia kawan, tampan, halus budi, pendiam, serius santai, tabah, sakti. (Kostum kasatrian memakai rompi)
·         Sultan Hadiwijaya: paruh baya (±40 th), ruruh, halus budi, pendiam, serius santai, tabah, sakti. (kostum = no. 1 + selendang warna kuning).
  1. Jaka Tingkir: muda (±20 th), setia kawan, tampan, halus budi, pendiam, serius santai, tabah, sakti, kebal, tegas, agak bersifat pemurung bila mendengan teguran. (Kostum kasatrian memakai rompi)
·         Harya Sinawung: paruh baya (±40 th), agak lanyap, halus budi, pendiam, santai, tabah, sakti, tegas, berkumis lumayan tebal. (kostum = no. 1).
10.  Mas Jaya Branta: muda (±20 th), setia kawan, tampan, halus budi, pendiam, serius, jeli, ahli pengobatan,keturunan China. (kotum = no. 1)
·         Patih Mancanagara: paruh baya (±40 th), halus budi, pendiam, serius, jeli, ahli pengobatan, keturunan China. (kostum = no. 1)
11.  Ki Wuragil: umur muda & tuanya = no. 8, setia kawan, pekerja keras, cakap, sedikit lanyap, kumis tipis. (kostum: surjan demangan, jarik diangkat diselipkan sabuk)
12.  Ki Wilamarta: umur muda & tuanya = no. 8, setia kawan, pekerja keras, cakap, sedikit ruruh.(kostum = no. 11)
13.  Ki Baureksa/Kyai Maja: ketua begal/brandal sungai bengawan Solo, kasar, sakti, berkumis tebal hitam. (kostum: begalan ligan)
14.  Ki Jalumampang: patih brandal, kasar, beringas, berkumis tebal hitam. (kostum: begalan ligan).
15.  Prameswari Pajang: umur ±30, sabar, nrima, ukel rambut (kostum kebaya).
16.  Ki Pemanahan: pintar, ahli strategi, ahli politik, pandai membawa diri, berkumis. (kostum: surjan demangan, sinjang/jarik diangkat diselipkan di sabuk).
17.  Ki Juru Mertani: cerdas, tekun, bijak, ahli politik, pandai membawa diri, jeli, berkumis. (kostum: surjan demangan, sinjang/jarik diangkat diselipkan di sabuk).
18.  Ki Panjawi: tekun, jeli, pendiam, cermat, pandai membawa diri, berkumis. (kostum: surjan demangan, sinjang/jarik diangkat diselipkan di sabuk).
19.  Nyi Pemanahan/Nyai Bokor: umur 17 th, halus, berkarakter, sumeh, cantik, ruruh, berambut ikal. (kostum: kebaya ‘hitam’).
20.  Danang Sutawijaya (R. Bagus): umur 17 th, tegap, tegas, sedikit keras kepala, sakti, ada bakal kumis berwarna hijau lumut. (kostum: kasatriyan nom).
21.  Arya Penangsang: umur ±35 tahun, getapan/mudah naik darah, sakti, kebal, keras kepala, berkumis tapi tidak tebal seperti pada umumnya jika tokoh ini ditafsirkan di atas panggung.
22.  Dagelan: bebas
23.  Bala dupak begal (6 pemain): brangasan.
24.  Pemain bayang-bayang laki-laki-perempuan: eksotis, romantic.
25.  Mahasiswa : 2 orang sedang ziarah dalam rangka riset (kritis).

Talu - (Ayak Hong) – Iringan Pambuka (Garap) – Suwuk

Kelir 1:
Sett: Makam/desa. Dua mahasiswa berziarah di makam desa Butuh, Sragen. Dalam ziarahnya, mahasiswa tersebut mendapat “penglihatan” melintasi ruang dan waktu. Dua mahasiswa tersebut memperhatikan kejadian tersebut dengan seksama. Berikut adalah ceriteranya:
Mahasiswa 1: (ngragap, kaget) Nda, tangia nda! (keterangan: karo nyableki kancane)
Mahasiswa 2: apa??? (ket: masih mengantuk)
Mahasiswa 1: gembrudug ko kulon kae nganeh-anehi nde, klambine kaya yen awake dewe kethoprakan nde!
Mahasiswa 2: ho’o ik, aku mrinding wedi mas.
Mahasiswa 1: aku ya iya. Menenga ae, ayo ndelik nyatakne. (ket: terus padha umpetan. Iringan: Ldr. Panjang Ilang, Sl. Pt. Sanga, kasirep, suwuk ing salebetipun ginem).
Keterangan: Muncul berbondong-bondong manusia ke tempat tersebut: Sultan Hadiwijaya (Karebet), Prameswari, Jaka Tingkir (Arya Sinawung), Patih Mancanegara (Jaya Branta), Kyai Maja (Baureksa), Jalumampang. Kecuali Patih Manca, semua meminum racun ramuan patih Manca atas kesepakatan bersama dengan alasan lebih maik mati daripada hidup menjadi buronan Kerajaan Mataram (Panembahan Senapati). Keterangan: pada kelir ini, semua tokoh sudah berumur paroh baya.
Ginem:
Prameswari   : Kangmas, menika sampun tebih anggenipun lumajar…
(katerangan: iringan Ldr kasirep, kabeh padha mandheg)
A.Sinawung          : dhimas sultan, menika lak sampun dugi dukuh Butuh.
Slt/Karebet   : kakang Manca, coba telitinen kahanan kene. Apa pancen wis tekan dukuh mButuh?
Manca           : (karo lingak-linguk): leres njeng sultan, menika dukuh Butuh. Kula taksih capet-capet kemutan. (katerangan: Kyai Maja & Jalumampang melu mbenerake rembuge P. Manca).
Prameswari: kangmas, kenging menapa ndadak tansah mlajar kados makaten.
Slt/Karebet: kaya mengkene iki abote dadi buron nyai…
A.Sinawung: rumiyin kula lan kakang Manca lak nate caos atur bilih mataram menika ibaratipun geni ingkang taksih alit, taksih gampil dipunsireb,
Manca           : nalika semanten kanjeng sultan ngendika bilih “mboten wantun nerak garising Kawasa, awit jangkaning jagad, ing bumi Mentaok badhe mijil ratu enggal ingkang badhe ngregem panguwasa sak nusa Jawi”,
A.Sinawung  : sakiki genine wis mulad-mulad ngobar jagad.
Slt/Karebet   : wis wis ora susah padha nggresula, ana legine wis tau dicecep bareng, sakiki paite padha disangga bebarengan. Sajake iki wis ginaris.
Prameswari   : kangmas lan para sedherek sedaya, kinten kula thole Senapati sagluguting kolang-kaling sarekma pinara sasra mboten nggadahi niat badhe midana kula lan panjenengan sadaya…ngengeti bilih thole Senapati menika putra puponipun kangmas sultan.
A.Sinawung  : nyai, tumrabing aku, luwih becik mati katimbang wirang. Iku darmaning satriya nyai.
Kyai Maja      : kula nggih mboten sudi dibawahake si Bagus.
Manca           : tur malih, ngibaratipun; thole bagus menika kados dene bedati, pengendalinipun kakang Pemanahan.
Slt/karebet    : cukup. Nggrantes rasaning atiku; ngelingi menawa thole Senapati iku putraningsun; senadyan pupon, lan uga siswaningsun; ingsun narimakake lumadine jangka iki. Sapa sing tetep setya kalawan jenengingsun, tak keparengake tut wuri salakuku, ewadene ana sing kepingin mardika, tak mardikaake.
Sadaya wangsulan: sepisan sedulur, selawase sedulur.
Slt/Karebet   : kakang Manca?! (Srepeg Tlutur Sl. Pt. 9, kasireb : Karebet ngajak Mas Manca mlaku maju)
Manca           : wonten dhawuh kanjeng?
Slt/Karebet   : gandheng kakang lebda saliring tetamba lan racun saka tanah Cina, ingsun cawisna racun sing paling memateni kakang.
Manca           : njeng sultan, panjenengan badhe nindakaken menapa?
Slt/Karebet   : wis ta kakang, cawisna wae
(kat: Manca ngetokake botol racun diaturake sultan; terus mlaku mundur maneh mlebu grombolan)
Slt/Karebet   : kakang Manca, si kakang baliya menyang Pajang. Tuturna marang putra wayah dedongengan jangkepe Babad Tanah Jawi menawa; nalika jenengingsun ngglurug perang menyang Mataram, ingsun tiba saka gigiring gajah; iku minangka pralambang rubuhing kasultanan Pajang. Lan sedaningsun amarga diantem demit kang aran Juru Taman abdine thole Senapati. Demit iku minangka sandi nyalawadi. Kabeh wae!, ingsun bakal lampus diri. Luwih becik mati katimbang wirang. (banjur nenggak racun, para kerabat uga banjur nusul nenggak racun, banjur padha pralaya ing papan kono, kajaba Mas manca).
Manca           : (ndeprok, mageb-mageb) dhuh Gusti Pangeran, lelampahan menapa menika…(Ket: Iringan seseg, siak, paraga tablo 20 detik, lampu kelab-kelab).
(mahasiswa 2 mau banjur metu saka pandelikan, gupuh-gupuh nyedhaki P. Manca).
Mahasiswa 1: amit sewu pak…pak… pak, mangga kula biyantu pados pitulungan tiyang dusun…
Manca           : (ngulatake mahasiswa mau karo rada bingung). Pak??? Thole sakeloron iki priyayi Pundi? Rasukanmu kok nganeh-anehi?
Mahasiswa 1: Sala pak..nyuwun sewu pak..(terus ngajak mahasiswa 2 jagongan ngadoh) nda, muga-muga iki dudu alam pengalaban. Kowe mau krungu dewe, wong-wong kuwi saka Pajang. Iki dudu kethoprakan nda. Tak adhepane bapake iki, kowe ngegongi wae. Awake dewe iki nrobos neng alam embuh. Kaya welinge pak’ku; Mati pa Mukti dina iki ya nda. (mahasiswa 2 manthuk, terus padha nyedhaki Mas Manca maneh).
Manca           : Sala?
Mahasiswa 2: tlatah Jawi Tengah Pak…
Mahasiswa 1: saking pawiyatan luhur Salakarta Pak, Tlatah Nuswantara Indonesia
Manca           : pawiyatan luhur Salakarta Indonesia???? Adoh banget le?
Mahasiswa 1 : enggih pak, tebih sanget jamanipun (alarm hp muni, mas Manca kaget).
Manca           : apa kuwi???!! Njedul suwara saka kothak! Andika menika mesthi pandhita mudha ingkang sekti gentur tapa.
Mahasiswa 2: niki alarm, naminipun hp pak..
Manca           : we hla dalah, tape bisa muni!!!
Mahasiswa 2: Ha Pe Pakdhe, Ha Pe.
Mahasiswa 1: nyuwun sewu Pak, panjenengan menika sinten, lan para priyayi ingkang sami nenggak racun menika sinten?
Manca           : jenengku Patih Mancanagara thole, saka Negara Pajang. Iku (karo nudingi) kanjeng sultan Hadiwijaya ya Mas karebet, garwane, Aryo Jaka Tingkir ya Arya Sinawung, Kyai Maja, lan ki Jalumampang. (mahasiswa 1 & 2 ulat-ulatan)
Mahasiswa 1: lhoh?!? Sakngertos kula Mas Karebet kaliyan Jaka Tingkir menika sami pak..!
Manca           : bener miturut pangertenmu. (temlawung, mlaku maju), mengkene mungguh larah-larahe.
(katerangan: iringan Ldr. Gagah Pl. Pt. 9. Iringan kasuwuk alus menawi para paraga sampun imbal wacana. Lampu kelab-kelab, tutup kelir).
 
KELIR 2
Sett: Padhepokan Pengging, suasana tegang, mencekam. Tokoh: K.A Pengging, Ny.A Pengging (nggendong bayi), K.A Tingkir, Ny.A Tingkir (nggendong bayi), K.A Ngerang, K.A Butuh, Ki Buyut Banyubiru.
Ginem:
K.Pengging    : kakang Tingkir, mbakyu Tingkir, kakang Ngerang, kakang Butuh, lan paman Banyu Biru…menawi jangka menika leres, tegesipun kula saged nurunaken wiji ratu ing tanah Jawi nyambet panguwaos saking leluhur Majapahit Nagri.
Ki Buyut       : ngemu karsa kang kepriye pangandikamu mau nakmas Pengging? Paman lan para kadangmu kang makempal ing kene iki sayektine kabeh minangka botoh dumadine jangka mau nakmas.
K. Butuh       : bener adhi, kakangmu iki sing saguh dadi bentenging kewuh.
K. Ngerang    : kiraku mung gari nunggu pletheking srengenge wae adhi…sing perlu digagas; kepriye carane ngumpetake si jabang Karebet supaya ora kadenangan dening kanjeng Sultan ing Demak (Trenggana). Jangkaning jagad kang wus kababar dening para brahmana nelakake menawa jabang Karebet bakal jumeneng Sultan ing Negara Pajang.
K. Butuh       : kiraku, menawa kanjeng sultan Demak pirsa menawa ing Pengging kene ana bakal ratu agung, tan wurunga si jabang Karebet bakal ditumpes. Mangka nyatane adhi Pengging wus nate kadakwa “mirong kampuh jingga, bondan datanpa ratu” dening kasultanan ing Demak.
K. Tingkir      : kang ana ing kene iki sayektine wus bisa ngungak wasesaning mangsakala; cethane, wus ora bakal kekilaban mungguh bakal kepriye mengko dumadine jangka. Becike perkara kang bakal diadhepi iki diaturake ing ngarsane paman Banyu Biru apadene paman Majasta.
K. Pengging   : (sadaya sami manthuk sarujuk dhateng aturipun K. Tingkir). Kados pundi paman???
K. Buyut       : (dehem) hemm (karo semu mikir sawetara). Nakmas Pengging dewe tak kira wus ora kesamaran. Mengkene thole; putramu si jabang Karebet pasrahna marang kakangmu lan mbakyumu ing Tingkir supaya digulawenthah bebarengan kalawan si jabang Jaka. Nakmas Tingkir kepriye?
K. Tingkir      : namung sendika dhawuh paman.
K. Buyut       : nanging ngene: jabang loro iki aja nganti kadenangan ing akeh menawa saknyatane pancen loro. Si Jaka Tingkir iki ya Mas Karebet, si Karebet ya si Jaka Tingkir. Dadi loro loroning atunggal. Sawise jabang wus padha ngancik Dewasa, aturna supaya digulawenthah dening nakmas Butuh ing Butuh. Sabanjure, menawa si jabang wus padha dewasa, tuduhna supaya ngansu kawruh ing Banyu Biru. Sawuse ing Banyu Biru mengko gampang, ingsun pribadi kang bakal miyak wiwaraning kanugrahan keprabon saka Demang mring tanah Pajang.
Sedaya          : namung ngestoaken dhawuh paman…
K. Pengging   : sedaya sampun gamblang trawaca, samendhang mboten wonten ingkang karempit. Lah sadaya kemawon, samangke kula tundung wangsul piyambak-piyambak, sampun ngantos kepranggul utusan saking Demak. Sekedhap malih kanjeng Sunan Kudus lan para sekabatipun badhe dugi ing papan ngriki. Inggih ing ngriku margining kaswargan kula minangka anyembuh kuncaraning putra wayah…
Sadaya          : kangmas/adhi/nakmas…
K. Pengging   : menika sampun kula kersakaken…nyuwun pamit, mangsa borong lelampahanipun anak kula…
(Katerangan: iringan Srepeg Tlutur, Sl. Pt 9, kasireb. Nyai Pengging masrahake bayine marang K. Tingkir. Sawise rangkul-rangkulan, kajaba K. Pengging lan Ny. Pengging, padha budhal. K. Pengging lan Ny. Pengging among legeg-legeg ing papan kono; tutup kelir. Iringan seseg, suwuk gropak lajeng mlebet lagu “Aja Dipleroki”).

KELIR 3
Sett: taman. Dagelan (teks lawakan terdapat di file terpisah dalam naskah panduan menjadi dagelan koleksi A. Hart Folder). Inti akhir pembicaraan: “jebeng Karebet lan Jaka Tingkir mau sakiki wis dewasa lan suwita ing Banyu Biru, sajake iki wancine “Bubar Pasinaon”, (iringan Srepeg Mataraman, Sl. 9, seseg, tutup kelir. Srepeg dipunsuwuk, mlebet Lcr. Bubar Pasinaon Kreasi, Pl. 9; kelir binuka, iringan lajeng kasuwuk).

KELIR 4
Sett: Padhepokan Banyu Biru, wejangan. Tokoh: Ki Buyut Banyu Biru kaadhep Mas Karebet, Jaka Tingkir, Jaya Branta (Mas Manca), Wuragil, Wilamarta, Pemanahan, Mertani, Panjawi. Para siswa padha gegojegan (dialog improve kontekstual), Ki Buyut banjur jumedhul.
Ginem:
Buyut            : anak-anakku kabeh, wis buntas saliring kawruh kang tak paringake marang thole kabeh. Dina iki bakal tak babar jatining jangka menawa thole Karebet ing mbesuk bakal jumeneng Sultan anyar ing bumi Pajang. Mula padha sengkuyungen adhimu thole Karebet, lan kabeh wae aja ana kang pisah paseduluran.
Sadaya          : sendika dawuh bapa guru…
Karebet          : bapa, kula menika sampun dipuntundung dening kanjeng Sultan Trenggana, awit kula mejahi Dhadhungawuk nalika pandadaran tamtama Demak. Menawi nekad ngrabasa prang, sami mawon kaliyan pejah nglalu dipun kroyok prajurid Demak bapa...
Buyut            : ngger, kalah okol kudu menang akal, kalah cacah kudu menang krenah. Kowe kudu bali menyak Demak jupuken atine kanjeng Sultan. Kowe kudu pinter nujuprana ing ngarsane Kanjeng Sultan. Sabanjure kowe kudu nelukake atine putra putrine sultan Demak. Yen wis kasembadan, pek’en bojo. Saka kono sira bakal nemu kamulyan ngger…
Karebet          : nanging menawi gusti putri nampik kaliyan kula?? Utawi kula mboten saged tresna kados pundi bapa??? Kamangka tresna menika mboten saged dipunpeksa.
Buyut            : wis ta, aja maido disik, bapa ngerti karemanmu. Mesthi cocog’e, bapa sing tanggung. Thole Jaka Tingkir!
J. Tingkir      : wonten dhawuh bapa???
Buyut            : wiwit dina iki sira gantiya jeneng Jaka Sinawung. Mbesuk menawa thole Karebet wis bisa nyekel keprabon, kowe bakal dadi agul-aguling kraton Pajang peparab Arya Sinawung. Lan kowe thole Jaya Branta, mbesuk kowe dadi pepatih, peparaba Mancanagara, awit sejatine sira iku darah Cempa (China). Thole Wuragil, Wila, Pemanahan, Mertani, lan Panjawi, tetepa dadi suh adeging kraton Pajang.
Sadaya          : (nyembah) ngestokaken dawuh bapa.
Buyut            : kabeh wae para siswaku, wiwit dina iki kowe padha tak tundhung budhal menyang Demak. Saka papan kene, mampira Butuh, banjur mampir Pengging, Tingkir, Salatiga; aja lali nungsung kekuatan saka para kawula tlatah Demak. Mangertia thole, menawa sejatine para kawula kang kabawah kasultanan Demak iku wis kurang pracaya marang kawicaksanane pamarintah ing Demak. Wektu iki ing Demak, ing pasanggrahan Prawata, kanjeng Sultan lagi ngungsi amarga ing kutha raja ana pakumpulaning kawula kang lagi “DEMO” merga kurang sarujuk marang tata pamarintahan. Pakumpulan kuwi diarani “KEBO NDANU”. Sejatine pakumpulan kuwi pancen dak gawe kalawan Kyai Majasta. Nah, Thole Karebet, sabanjure temanana pandegane para “DEMONSTRAN” kandha’a yen kowe iku muridku. Sireben ontran-ontran kuwi, sarana wenehana janji, kalamun mbesuk kowe dadi raja, para wong-wong kang lagi “DEMO” idinana mapan ana ing tlatah perdikan Majasta.
Karebet          : namung ngestokaken dhawuh bapa…nanging…nyuwun sewu bapa, DEMO menika menapa???
Buyut            : DEMO kuwi teges gampange ontran-ontran ngger…Ing mbesuk, prastawa iki bakal dadi “sastra sandi” menawa Karebet mateni kebo ndanu sarana nyumpel kupinge kebo nganggo lemah Majasta. Kaya wis ora ana dhawuh maneh thole, mbanyu mili pangestuku; padha budhala…! (srepeg Metaraman)
Sedaya          : (nyembah, budhal) nyuwun pamit bapa…

KELIR 5
Sett: Dalan Pinggir kali bengawan Solo. Paraga: Kyai Baureksa, Kyai Jalumampang, rampok-rampok – Karebet cs. Para begal padha rembugan umpama oleh jarahan kang akeh. Iringan seseg lajeng suwuk.
Ginem:
Ki Jalu          : Kakang Maja, mpun suwe awake dewe ten ngriki mboten angsal jarahan alias sepi penghasilan, hla yen ngeten terus kaco niki kaco. Ndak sehat blas ki.
Bala 1            : leres lurahe, hla edan napa yen ngeten terus…
Bala 2            : ngeten niki jenenge mangan tabungan. Senadyan begal ning rak kudu nduwe kawruh entrepreneur ta ki, paling mboten temune laku padinan niku kudu tiba mentheg terus.
Ki Maja          : hahaha, bola-bali begal ya begal. Watakmu ora beda kaya Kurawa; siji: poto-poto, loro: madhang. Hahaha…aja kuatir, iki ana telik sandi laporan yen ana sakgrombolan uwong bakal liwat dalan kene sedyane nggethek. Kuwi jenenge “pucuk dicinta ulam tiba”. Hahaha
Ki Jalu          : njenengan ki isa wae…hahaha, kakang Maja, hla kae sing diarep-arep wis kemledhang…pesta co pesta!
Ki Maja          : wis kono urusen dhi…aku tak ngeluk boyok sedhela.
(Katerangan: srepeg; rombongane Mas Karebet teka, srepeg suwuk)
Ki Jalu          : mandeg!!! (karo nyandhet kang lagi wae prapta)
Ms. Karebet   : sabar, sabar kisanak...sampeyan sak grombolan menika sinten?
Bala 1            : mangertia, aku sakrowang iki begal “Bajul Narmada”.
Bala               : mula kowe gari milih bandha apa nyawa???
J. Tingkir      : (maju, karo ngundurke Karebet), mang mundur dhi, sampeyan mang ndisiki lampah, para begal niki kula uruse, mangke kula sakkanca nungka lampah
Ms. Karebet   : yen ngono andum gawe kakang, mangsa borong…
J. Tingkir      : nanging mangke sampeyan lolos menawi sampun perang campuh, supaya mboten ngetarani.
Ms. Karebet manthuk, banjur bali neng papan sekawit.
J. Tingkir      : kisanak kabeh, mangertia menawa aku sakrowang iki wong kleyang kabur kanginan, ora dhangka ora bandha. Uripku ngibarate mung nggondheli keplasing suksma. Mati dina iki, mukti ya dina iki.
Ki Jalu          : sumbarmu kaya wani-wania ndilat wesi abang le!!! Tumpes cah!!! (menehi parentah marang bocah begal kabeh; perang)
Katerangan: srepeg seseg; perang begal cs vs Jaka Tingkir cs. Rombongan begal kasoran. Kyai Maja jumangkah maju, nedya mrawasa mungsuh, nanging banjur mandeg kaget merga kepapag kalawan jaka Tingkir; jebule tepung apik karo Jaka Tingkir; srepeg suwuk).
Kyai Maja & J. Tingkir: pisah pisah pisah disik!!!
K. Maja          : kakang Tingkir!!!
J. Tingkir      : adhi Maja!!!
K. Maja          : Iki mau rombongan sampeyan ta jebule?? Aku njaluk pangapura kakang… he para bejajil (nyrengeni balane dewe), rombongan iku sedulurku dewe!!!, guoblogmu ra kira-kira!!! (begal-begal: ndungkluk: hla ra mudheng je…)
J. Tingkir      :Waduh-waduh kudune rak ya ditliti luwih dhisik. Wadyabalamu cacah pitungpuluh wis kebacut tumekaning pati dhi.
K. Maja          : wis kadhung, ora bisa dijabut maneh…mengko bocah-bocahku sing bakal ngrukti…kabeh kedadian iki ledhok ilining banyu jebul luputku dewe kakang…tak jaluk sing gedhe pangapuramu kang…kakang, jan-jane aku wis suwe nunggu kakang Tingkir awit saka dhawuhe Ki Buyut Banyu Biru…banjur iki kakang sakrowang kadhawuhan laku kang kepriye???
J. Tingkir      : adhi, mengko wae tak babari sakabehing laku kang kudu ditempuh. Iki malah adhi Karebet wis ndisiki laku urut pinggiring bengawan bakal tumuju Demak. Ayo ditungka lakune supaya bisa bebarengan tumeka ing tlatah Demak.
K. Maja          : yen mengkono, tak cawisake rakit luwih dhisik supaya bisa nggawa wong sakmene akehe kakang…
J. Tingkir      : aja akeh-akeh nggawa bala dhi…aku njaluk bala bajul cacah patangpuluh wae supaya ora ngetarani.
K. Maja          : o ngono, ayo kakang tak ndherekke; “sigra milir si gethek sinangga bajul, kawandasa kang njageni”. Hahahaha
Katerangan: Srepeg, Ki Pemanahan, Ki Juru Mertani, Ki Penjawi isih during budhal. Srepeg sirep, ginem:
Pemanahan   : adhi Mertani lan adhi Panjawi… sejatine aku mentas wae nampa wangsit menawa aku sing bakal nurunake para Raja ing tanah Jawa iki aglar karoton ing bumi Mentaok ya ing bumui Mataram.
Ki Penjawi     : yen ngaten, kula ewang-ewangi cegah dhahar kurang guling kakang…
Mertani         : kula sagah minangka botoh putra wayah ing mbenjang kakang…
Pemanahan   : banget panuwunku adhi Mertani lan adhi Panjawi.. yen mengkono ayo enggal padha nungka laku supaya ora ngawistarani…
Katrangan: srepeg udhar; para paraga budhal; tutup kelir; gamelan siak; mlebu iringan grimingan rebab, gender, gambang, suling, gendering (tempo keteg jantung :alon saya cepet: ditabuh cepet yen wis ana adegan eksotis). Wiwit babak iki, kabeh paraga ngowahi make-up dadi setengan tuwa lan modifikasi kostum; kasatriyan dadi kaprajan.

KELIR 6
Sett: taman. Sangarepe taman ana geber putih perlune kanggo adhegen wewayangan/bayang-bayang. (creew ana sing ngawa lan nyorotake lampu saka mburi layar yen adegan wis diwiwiti). Paraga: Sultan Hadiwijaya/Mas Karebet, Ki Pemanahan, Nyai Bokor.
Sultan lan Nyai “Bokor” jumedhul saka kiwa-tengene geber, (srepeg sirep laju kasuwuk) ; bareng adu arep catur netra banjur padha guneman saperlune, banjur andon asmara. Grimingan gamelan iramane saya temata, swarawati nembangake macapat megatruh Lrs Pl. 9. Pungkasaning gatra dawah Srepeg Mataraman, lajeng kasireb.


sigra milir sang (kang) gethek sinangga bajul
Kawan dasa kang njageni,
Ing ngarsa miwah ing pungkur,
Tanapi ing kanan kering,
Sang gethek lampahnya alon

Ginem:
Sultan           : diajeng…
Nyai               : kanjeng…
Katerangan: adegan ini berkarakter mini kata; menggunakan bahasa tubuh: bersifat representative “bercinta” (romantisme ala garap teater Yunani).
Sultan         : heh rasamu, heh rasaku..
Nyai            : rasamu kalah karo rasaku
Sultan         : cemethiku sada lanang saka swarga
Nyai            : tumiba gunung sakala jugrug
Sultan         : tumiba segara satemah asat
Nyai            : tumiba bumi bengkah
Sultan         : tumiba jiwa ragamu: luluh!!! mbabar asmaragama. Ingsun      lelananging jagad. (rangkulan, banjur mlaku mlebu ing sakmburine geber putih).
Katerangan: iringan Srepeg udhar, seseg, suwuk, laju mlebet iringan garap. Pas paraga loro iki mlaku neng mburi geber putih, lampu panggung kelap-kelap, banjur mati; iringane padha, ning digarap luwih seseg & kontemporer (ngentha-entha music kaya ing film-film Yunani). Pemain pengganti/sing siluet wis siap neng mburi geber; pose mesra. Lampu diuripke. Pemain isih tablo (meneng ora obah). Nalika musik wis berubah dadi garap liya kaya kasebut ing nduwur, pemain siluet wiwit acting mesrum alias “mesra tapi mesum”, main bayangane dewe). Iringan iki udar ditabrak srepeg. Siluet rampung, lampu siluet mati; lampu panggung normal maneh. Sultan lan Nyai njedhul maneh gandhengan mesra. Ki Pemanahan jumedhul, banjur sungkem. Gamelan suwuk.

Ginem:
Sultan           : kakang Pemanahan..???
Pemanahan   : kanjeng Sultan…
Sultan           : liringing netramu sajak ngarepake bacah wadon iki kakang…apa bener mangkono???
Pemanahan   : mbo mb mboten kanjeng…
Sultan           : kakang, si kakang wis tak anggep sedulurku tuwa, yen ta si kakang pancen ngarepake, lega lila bakal tak pasrahake kakang…
Pemanahan   : nanging…
Sultan           : wis wis wis, wiwit dina iki bocah wadon iki dadi garwane kakang Pemanahan…anggepen wae iki triman saka jenengingsun kakang…
Pemanahan   : o inggih kanjeng menawi mekaten sabda paduka…kula ngaturaken gunging panuwun ingkang tanpa upami.
Sultan           : nyai, wiwit dina iki leladia kakang Pemanahan..aja tinggal tata susila dadi jejering garwa kang mengku teges “sigaraning jiwa”…
Nyai               : (ndungkluk, getem, ngampet nesu/murina marang Sultan awit rumangsa kaya mung dianggo dolanan): sendika dhawuh kangjeng sultan…sepinten kekiataning wanita menawi njarag wani nduwa dhawuhing panguwasa…
Sultan           : wis nyai, aja dirembug ing kene…kakang???
Pemanahan   : wonten dhawuh kanjeng???
Sultan           : mbesuk menawa si kakang kagungan putra asipat jalu, bakal sun pundhut dadi putra pupon utawa putra angkatingsun. Wenehana asma Danang Sutawijaya.
(ket: ditabrak srepeg mataram seseg, Sultan jengkar/lunga. Ki Juru Mertani lan Ki Penjawi teka. Gamelan kasirep:)
Nyai               : keranta-ranta atiku kyai…ngibarate kaya mutyara sing kaleban ing endut, ina lan nistha…
Pemanahan   : ora nyai, aku sing saguh nggolekake banyu bening kanggo ngumbah mutyara mau…muga jagad nyekseni; mbesuk anak turune awake dewe bakal mengku kraton ing tanah Jawa ngendhih panguwasa ing Pajang kene. Ndaru Bumi Pajang bakal tak regem!!!
Penjawi & Mertani: Kakang!!!
Katerangan: srepeg udar langsung seseg, kelir tutup. Srepeg sirep: tempo melambat nganti sawetara (su)wene, banjur siak, buka kendhang munggah Ldr. Eling-eling Pl. Pt. My, irama dadi 3 gongan, banjur sirep, ing tengah-tengan dialog).
 

KELIR 7
Sett: Pendhapa alit Kadhipaten Pajang. Paraga: sultan Hadiwijaya (Mas Karebet), prameswari. Sisih kiwa: Arya Sinawung (Jaka Tingkir), Kyai Maja (Ki Baureksa), Ki Pemanahan, Ki Juru Mertani, Ki Penjawi, Danang Sutawijaya (R. Bagus). Sisih tengen: Patih Mancanagara, Ki Wilamarta, Ki Wuragil, Ki Jalumampang. Paraga wus padha ngadhep siniwaka sakdurunge kelir dibukak. Sultan wis jumeneng ana ngarep; tumlawung lan wiwit ngendika:
Ginem:
Sultan         : Wiwit Payung Agung kasultanan Demak dak boyong ing Pajang, lan saksuwene ingsun jumeneng Sultan ing Pajang kene(kelir dibukak) isih ana pirang-pirang bab sing kudu dirampungake. Gawang-gawang ingsun isih kelingan lelakon pirang-pirang tahun kepungkur…jenengingsun lan awit panyengkuyunge kabeh sedulur kang ngadhep iki, utamane kakang Arya Sinawung lan kakang Maja; ingsun bisa nyireb ontran-ontran “kebo ndanu” ing pasanggrahan Prawata, Bintara Demak. Sabanjure (katrangan: sultan balik arah menuju ke dhampar, iringan suwuk) ingsun kadhaubake kalawan putri wuragile kanjeng Rama Sultan Trenggana.
A.Sinawung  : menika sampun kuwajibanipun minangka sedulur sinarawedi kanjeng Sultan…
Sedaya          : (sarwi nyembah mbenerake rembug; improve kontekstual)
P. Manca       : malah sakmenika negari Pajang langkung kiat ing sedaya samukawisipun, ugi wimbuh wiyar jajahanipun awit kautaman sampeyan dalem kanjeng sultan…malah putra pupon paduka pun Danang sampun dewasa kanjeng lan saged dipunandelaken ngrampungi pinten-pinten bot repoting kaprajan.
Pemanahan   : kepareng matur kanjeng sultan…
Sultan           : kepriye kakang Pemanahan???
Pemanahan   : sampun ngatos para titiyang ing Pajang menika lena lan wuru amargi kanikmatan lan panguwaos. Tartamtu para nayaka sampun mangertos bilih wonten tandha-tandha menawi kanjeng Dipati Riya (arya) Penangsang ing Jipang badhe mirong kampuh jingga mbalela dhateng panguwaos Pajang.
A.Sinawung  : kabar ingkang kula tampi, Kanjeng Dipati ing Jipang tega mrejaya kanjeng Adipati Prawata lan garwanipun kanjeng ratu Kalinyamat awit dipunanggep klilib njeng sultan…
P. Manca       : malah kabar ingkang sumebar, sakmenika kanjeng ratu Kalinyamat nglapahi tapa wuda ing gunung Danaraja kanjeng…mboten badhe ngrasuk busana menawi dereng saged males pati dhumateng Arya Penangsang…
Danang         : kepareng matur kanjeng rama sultan…
Sultan           : piye thole Danang???
Danang         : babagan Kanjeng Ratu Kalinyamat miturut palapuranipun para telik sandi, mboten namung menika, nanging malah nglampahi “dana rasa” kaliyan para nem-neman ing tlatah ngriku. Para nem-neman dipundanani raos, lajeng dipunsumpah supados purun dados prajurid Kalinyamat saperlu badhe males ukum dhumateng Kanjeng Dipati Jipang.
Sultan           :(unjal napas) hemmm, kabeh wae sumuruba…sejatine jenengingsun mentas wae nampa tonjokan nawala saka kanjeng guru Sunan Kudus. Isine nawala mau cekake ingsun bakal kaajak bawarasa kawruh sejati. Glagat iki ganjil banget, awit durung sawetara suwe iki nyawaningsun bakal cinidra dening maling aguna kang jebulane utusane kakang Dipati Jipang.
Pemanahan   : menawi pamarintah keraton kepengin kiat, prayoginipun ingkang punjul dipunpapak, ingkang mbrojol dipunjaring kanjeng…
Sultan           : ngiras pantes ngluwari nadare kakangmbok ratu Kalinyamat, ingsun nggelar sayembara: Sing sapa bisa numpes Arya Penangsang bakal sun ganjar bumi Pati lan bumi Mataram!!!
Ket: (srepeg seseg) A.Sinawung arep ngadeg, kadhisikan Pemanahan matur, sireb:
Pemanahan   : keparenga kula, adhi Juru Mertani, adhi Penjawi, lan thole Bagus inggih putra paduka piyambak menika pun Danang Sutawijaya ingkang badhe nyireb Rya Penangsang Gusti, awit kula sampun mangertos pengapesanipun Dipati Jipang.
Sultan           : yen mengkono kakang, enggal budhala…pujiku muga jaya juridmu.
Ket: srepeg. Pemanahan, Penjawi, Mertani, Danang padha sungkem banjur budhal. Kelir tutup.

KELIR 8
Sett: Alun-alun. Tokoh: Ki Pemanahan, Ki Penjawi, Ki Juru Mertani, Danang Sutawijaya & Arya Penangsang (Penangsang masuk panggung setelah ditantang). Srepeg seseg, suwuk.
Ginem:
Pemanahan   : mangertiya kabeh menawa pengapesane Arya Penangsang kuwi mung siji, yakuwi ora mambu tantang. Yen krungu penantang mesthi bakal ilang pengati-ati lan nalare. Ya nadyan sekti mandraguna tanpa tandhing, nanging aku percaya menawa tumbak kyai plered iki bakal nguntabake nyawane. Ngger bagus???
Danang         : kula bapa???
Pemanahan   : tumbak kyai plered iki gunakna sakmesthine (ngelungake tumbak kyai plered menyang Danang Sutawijaya)
J. Mertani     : yen ngono, Arya Penangsang bakal tak tantang supaya metu saka pasanggrahan lan nekad nyebrang kali ijen tanpa bala. Mengko yen wis meh mentas dirojong gegaman bebarengan.
Penjawi         : sing ati-ati kakang …
Ket: srepeg, sireb.
J. Mertani     : heh Penangsang!!! Aku wong saka Pajang. Aja mung delikan kowe penangsang!!! Ngakumu wong sekti tanpa tanding, yen nyata ngono ayo adhepana aku ijen tanpa rowang…tak tunggu neng kulon kali !!!!
Arya Penangsang (saka njero, terus mlumpat neng panggung): bangsaaaaaaaaaat!!!!!!!!!!!! (srepeg seseg, suwuk)
Penangsang   : endi si Karebet??!!!!! apa si thole Pajang wis keweden mungsuh prang tandhing lawan jenengingsun gene nganti utusan menungsa-menungsa kang kaya kowe!!!
Danang (maju nyeraki Penangsang): ora susah kakehan sumbar, ditepungake wae aranku Raden Bagus ya Danang Sutawijaya. Aku sing saguh nugel gulumu!!!
Penangsang   : (mbengok karo ndupak Danang): kroyoken leganing atiku!!!
Ket: srepeg seseg, perang. Arya Penangsang dikroyok papat. Apik meneh perange numpak jaran “kyai gagak rimang”, tapi yen propertine gak enek yo gak papa wis...
Arya Penangsang lena, ditumbak dening Danang, ususe mbrodhol, banjur diubetake ing keris. Ngadeg maneh, banjur dikrocok gaman karo wong papat. Gulune dipagas keris dening Danang dadi lan gugure penangsang. Gamelan sireb:
Danang          : mangertiya heh Penangsang, aku kang bakal ngregem tanah Jawa sabanjure!!!
Pemanahan (nyeraki): tak dombani ngger, nanging iki durung wancimu.
J. Mertani       : prayogane menawa didangu kanjeng sultan, awake dewe kabeh kudu matur menawa sing merjaya Penangsang Kakang Pemanahan lan Kakang Penjawi. Awit, menawa diaturake sayektine, thole Danang mung bakal diganjar sandhangan kang endah lan emas picis.
(ket: Kabeh sarujuk, manthuk-manthuk: improve kontekstual)
Pemanahan    : Sabanjure sira bakal tak gembleng ing bumi Mataram kang wus dijangka dening para brahmana dadi cikal bakale dinasti anyar kang aran Mataram!!!
Ket: srepeg udar, Sultan cs jumedhul, iringan suwuk.
Sultan            : bombong rasaning atiku dene Arya Penangsang wis kelakon sirna kakang...
J. Mertani       : sinuwun, sampun ngantos supe ing janji menggah bebingah bumi Pati lan Mataram, awit sanyatanipun ki Pemanahan lan ki Panjawi ingkang sampun sembada mejahi Rya Dipati ing Jipang kanjeng…
Sultan(gelisah): kakang Pemanahan, ora jeneng ingsun bakal cidra janji…nanging sejatine ingsun mangerteni garising jangka menawa ing buumi Mataram bakal metu raja agung…apa kakang nduwe sedya mbalela??? kepriye prasetyamu kakang???
Pemanahan    : sakgluguting kolang-kaling, sarekma pinara sasra, kula mboten sedya mbalela kanjeng…mugi jagad anyekseni sumpah kula: (iringan geteran) “ menawi kula nggadhahi niat madeg raja ing Mataram, utawi badhe ngrangsang panguwaos ing kasultanan Pajang, mugi jiwa raga kula lebur tumpur. Mboten wonten ingkang mangertos garising Kawasa ing mbenjang”.
Ket: srepeg seseg, paraga tablo, tutub kelir, lampu mati.

KELIR 9
Sett: makam ing desa Butuh. mahasiswa loro wis mapan turu bantalan tas ing antarane kelir/warana (panggung sisih ngarep dewe/lambe panggung), kelir dibukak sethithik supaya mahasiswane ketok: iringan siak:b b d t: mahasiswa loro tangi ngragapan, banjur muni:
Mahasiswa 2  : hah!!! jebule mung ngimpi!!!
Mahasiswa 1  : jare bapak iki mau diarani “layab liyebing aluyub…”, ayo raub gek ndang bali, kowe ngko ndak telat mlebu kuliah!
Mahasiswa     : yoh..muga-muga “gangsar kang padha tinemu”.
Ket: iringan mungel gangsaran 2 Sl, suwuk gropak, kasambet gd. penutup.

Wonten Lajengipun…
“Sang Senapati”
nuwun