REINTERPRETASI TERHADAP
NASKAH BABAD TANAH JAWI
Studi Kasus Terhadap
Naskah Drama Tradisional (Kethoprak)
“NDARU BUMI PAJANG: JRONING LAYAB, LIYEB, LUYUB”
Karya Ki Hartarta (hartarta.arif@gmail.com)
(Dipentaskan di Gedung
Wayang Orang Sriwedari, 21 Juni 2011)
A.
Pengantar
Naskah Babad Tanah Jawi merupakan karya sastra Jawa
Klasik. Karya sastra sudah diciptakan
orang jauh sebelum orang memikirkan apa hakekat sastra dan apa nilai dan makna
sastra. Sastra lisan yang belum
mengenal sistem huruf dan nama pengarang, sebab sastranya merupakan milik
masyarakat bersama, sastra itu tidak semata-mata bersifat penghidangan atau
peniruan, melainkan juga merupakan tanggapan terhadap lingkungan, jaman, dan
sastra sebelumnya (Harjana, 1981:11). Dapatlah kiranya dikatakan bahwa
munculnya sastra yang bersifat tanggapan itulah yang menyebabkan macam-macam
versi dari sebuah sastra lisan tertentu, meskipun kelemahan daya ingat manusia
juga dapat menyebabkan berubah-ubahnya suatu versi sastra lisan. Perubahan
versi itu dilakukan tentu saja dengan maksud agar dapat lebih sesuai dengan
nafas dan tuntutan jaman yang terus berubah-ubah, sehingga dari bahan dan
pangkal yang sama dapat tumbuh bermacam-macam syair atau cerita lisan karena
perubahan lingkungan dan jaman.
Karya sastra menurut kaum
strukturalisme adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koheren oleh
berbagai unsur pembangunnya. Dilain pihak, struktur karya sastra dapat
diartikan sebagai susunan, penggagasan, gambaran semua bahan dan bagian yang
menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang indah. Di luar
pendekatan struktur, terdapat proses-proses atau rentetan peristiwa yang
medorong kelahiran karya sastra maupun pengarangnya/kreator. Sebagai pemahaman
dasar yaitu era klasik, sastra berarti kitab, atau buku ajaran yang berguna,
namun dalam pengertian kontemporer, sastra merupakan simulacrum, representasi dari semua gejala, peristiwa jasmaniah dan
atau lahiriah. Karya sastra tidak hanya menceritakan perihal kehidupan, tetapi
juga merambah dunia setelah kematian (Mahabarata: Prasthanikaparwa,
Swargarohanaparwa).
B. Karya Seni Sastra
Bahasa merupakan media komunikasi
paling efektif. Tugas sastrawan adalah memukul bahasa agar menjadi hidup, maka
tidak heran apabila di beberapa karya sastra tulis mengandung unsur dramaturgi.
Penyampaian karya sastra, baik lisan maupun tulis menggunakan media bahasa
selalu melalui proses seleksi atau pemilihan kata. Diksi dan gaya bahasa
menjadi stimulan bagi para pembaca dalam rangka membangkitkan daya imaginasi.
Hal ini berarti sastrawan harus benar-benar teliti dan tepat dalam menggunakan
pilihan kata. Sastrawan mencoba menggunakan kekuatan kata sebagai senjata
menembus alam imaginasi, alam emosi penikmat, pembaca atau masyarakat penikmat.
Kekuatan kata akan menjadi stimulan daya resap atau kapiler yang diharapkan
mampu ngrogoh/ndudut rasa para pembaca atau penikmat dan penonton.
Karya sastra merupakan mimikri dari
kehidupan nyata yang telah diolah oleh para sastrawan dengan bumbu-bumbu bahasa. Tuhan menciptakan manusia, agar
manusia hidup, Ia meniupkan ruh hidup. Begitu pula sastrawan, ia meniupkan ruh terhadap
karya-karyanya. Bahasa yang dibangun dengan komponen diksi, gaya bahasa, sugesti ternyata
mampu menjadi bukit kekuatan. Tidak mengherankan apabila seorang politikus
selalu mendalami kemampuan orasi dan retorik. Dengan bahasa dan pilihan kata
yang tepat, apa yang disampaikan penutur kepada khalayak akan mampu membakar
semangat, mentransfer tujuan ke petutur. Namun apabila ada yang menyalahgunakan
kekuatan bahasa, orang tersebut telah membuat orang lain menjadi pecundang.
Para pujangga tempo dulu (sebelum angkatan
45), harus memiliki kemampuan seperti; hawi sastra, hawi carita, mardi basa,
ketiga julukan tersebut secara harfiah bisa diartikan sebagai seorang yang ahli
mengolah sastra (keindahan bahasa), luas pengetahuannya (kaya akan ceritera),
dan pandai memilih kata. Untuk menganalisa karya
sastra, sebaiknya melihat latar belakang kebudayaan dimana karya tersebut ada.
Culturalisme adalah
pendekatan yang berpandangan bahwa dengan menganalisis budaya suatu masyarakat,
bentuk-bentuk tekstual dan praktik-praktik budaya yang terdokumentasi,
memungkinkan membangun kembali tingkah laku terpola (patterned behavior)
dan konstelasi gagasan yang dimiliki bersama oleh para lelaki dan perempuan
yang menghasilkan dan mengkonsumsi teks dan praktik-praktik masyarakat itu.
Pendekatan ini merupakan human agency yang menekankan pada produksi
aktif kebudayaan dan bukan pada konsumsi pasifnya.
Karya sastra dan sastrawan
akan lahir dari keadaan sosial budaya di mana ia berada. Seorang sastrawan yang
hidup terkurung dalam hegemoni dinastik, tentu saja karya-karya yang dihasilkan
selalu menunjukkan, menggambarkan kondisi kehidupan istana, ambilah contoh mpu
Prapanca. Dalam setiap karyanya selalu dibungkus dengan konsep dewa raja. Lain
halnya dengan musisi legendaris Iwan Fals. Ia hidup dalam resim politik yang
absolut sehingga karya-karyanya selalu bersifat satirisme. Keadaan sosial
budaya yang selalu berubah-ubah merupakan kesepakatan sementara saja, namun ada
pula yang menganggap bahwa kebudayaan tinggi merupakan kesepakatan agung.
Fenomena sosial budaya menyuguhkan berbagai peristiwa
atau dinamika kehidupan. Para kawi, sastrawan tidak berhenti pada gejala-gejala yang kelihatan itu, tetapi mencoba
menerobos dan melihat apa yang tersembunyi di balik gejala-gejala tersebut.
Pengalaman estetik yang didapat tidak hanya rasa ingin tahu, tetapi mengikutsertakan daya-daya lain
dari dalam diri kita, seperti misalnya kemauan, daya penilaian, emosi, bahkan
seluruh diri untuk menciptakan kristalisasi terhadap
objek yang diperhatikan.
Para pencipta karya sastra
atau karya seni auratik merupakan individu yang mempunyai sifat unik, berbakat,
dan kreatif. Mereka masih menuangkan nilai-nilai ke-Agung-an, dan yang jelas
mereka masih memiliki pengikut. Mungkin mereka memunafikkan diri dengan selera
jaman. Paradigma pergeseran nilai atau perubahan kondisi sosial budaya selalu
mempengaruhi selera massa dan berbengaruh pula pada hasil atau kelahiran karya
sastra. Penyebaran sebuah karya
sastra maupun karya seni, mulai dari seni primitif, pertengahan, dan
kebangsawanan, penerimaannya besifat kolektif. Sebaliknya, dalam seni otonom
dan auratik,
penerimaan terindividuasi dan penikmat terserap dalam karya tersebut.
Praktik-praktik karya sastra, karya seni kontemporer sesungguhnya lebih merupakan penolakan dari karya-karya seni
kebudayaan tinggi sebelumnya. Yang jelas bahwa penerimaan, konsumsi, dan
kelahiran sebuah produk budaya (karya) berlangsung dalam kondisi ”kacau”.
Karya sastra merupakan
kendaraan paling luwes untuk berbagai macam kepentingan. Apakah sastra itu
mengabdikan diri kepada keindahan, kaidah, dan kepentingan sastra itu sendiri,
atau untuk pengabdiannya kepada masyarakat plural, atau untuk kepentigan agama
atau bahkan untuk kepentigan politik. Sastra untuk seni sastra memiliki tujuan
mencapai keindahan tertinggi. Nilai etik dan estetik sebisa mungkin adalah
keindahan dan kaidah secara transenden maupun imanen. Isi karya sastra semacam
biasanya melantukan keagungan alam semesta. Sifatnya netral, tidak diboncengi
oleh kepentingan-kepentingan sebuah politik tertentu (budaya, agama, partai). Lain
halnya dengan sastra yang diperuntukkan bagi masyarakat, karya sastra ini
selalu memiliki standar etik masyarakat penghayatnya. Karya seperti ini
biasanya menjadi sistem projektif yakni mengatur pola kehidupan sosial dan
berbudaya masyarakatnya, juga sebagai cermin (kaca benggala) kehidupan
masyarakatnya. Sastra untuk agama selalu merujuk kepada kepentingan
penyebarannya atau keagungan agama tersebut. Karya sastra ini berisi tentang
cerita tokoh-tokoh agama beserta ajaran-ajaran yang disampaikan.
Lain halnya dengan sastra untuk politik. Karya
sastra ini memang sengaja diiptakan untuk kepentingan golongan tertentu (elite
politik). Sebagai contoh adalah mitologi Nyai Rara Kidul. Sebelum nama
Panembahan Senapati naik daun, nama Nyai Roro Kidul sama sekali tidak di kenal
oleh masyarakat, namun setelah Senapati menjadi penguasa baru mataram Islam,
isu yang beredar luas bahwa Senopati bersekutu dengan kerajaan alam lain dengan
jalan mengawini ratu pantai selatan itu. Pemeran utama dalam ceritera ini
adalah Panembahan Senapati (simbol Jawa), Nyai Rara Kidul (simbol pra-Islam),
Sunan Kalijaga (simbol Islam). Senopati mengawini pemimpin makhluk halus untuk
mengukuhkan legitimasi hierarki kekuasaanya sebagai raja Jawa baru, sedangkan
menurut aturan Islam, hal tersebut adalah musrik. Namun pada kenyataanya, orang
Jawa mengesahkan hal itu, dan Kalijaga’pun tidak mengutuk Senopati yang
berstatus murid-nya atas peristiwa tersebut.
Relasi antar ketiganya adalah relasi budaya yang
dinamakan relasi kooperatif. Senapati mengawini Nyai Rara Kidul (makhluk
halus), namun ia juga seorang murid dari Sunan Kalijaga yaitu wali yang
menyebarkan agama Islam di Jawa. Apabila dilihat dari kacamata agama, tentu
saja hal itu dianggap pelanggaran, namun pada kasus ini, hal tersebut adalah
legal, tidak ada masalah, sah-sah saja (mungkin hanya dikhususkan bagi raja).
Ketiga tokoh tersebut menjalin hubungan yang rekat, harmonis, sinkretis, tanpa
terjadi konflik. Itulah salah satu fungsi mitos, yaitu menunjukkan pesan
intelektual ”tanpa konflig”. Namun perlu diingat bahwa mitologi di atas tidak
lepas dari pengaruh hegemoni Mataram Islam era Senopati. Mungkin sekali bahwa
cerita itu sengaja dibuat untuk memperkuat legitimasi pemerintahan Senapati
sebagai raja baru, yaitu transisi dari Pajang ke Mataram agar rakyat benar-benar
berserah dan mempercayakan semua perlindungan atau bernaung ke Mataram.
Teks sastra dapat diklasifikasikan
menjadi 3 (tiga) jenis, yang pertama adalah klasik, borjuis, dan radikal. Teks
klasik memiliki ciri pakem, artinya semua unsur intrinsik yang ada dalam
teks ceritera tidak boleh dirubah (contoh: ceritera wayang). Borjuis memiliki
ciri sebagai karya sastra pesanan, artinya cerita rekaan atau carangan
untuk kepentigan tertentu atau mengikuti selera penikmatnya. Sedangkan teks
radikal memiliki ciri berstruktur kontemporen, bebas, terlepas dari
kaidah-kaidah etik – estetik konvensional.
Sastrawan, karya sastra,
masyarakat, dan ”alam”, dalam relasi-relasinya yang bersifat partikular dan
universal; secara unik berada dalam hubungan yang tak berperantara satu sama
lain. Lebih spesifik, tidak terdapat istilah ketiga di mana pemisahan antar
keduanya itu diperantarai ketika unsur transendental itu lenyap, problem yang
timbul dari persamaan tingkat bahkan menjadi lebih kentara. Dengan demikian apa
yang menjadi universal dalam etika adalah individu itu sendiri. Bahwa
partikular menjadi universal berarti meruak individualisme masyarakat itu
sendiri.
Masalah representasi
masyarakat pertama dan terutama merupakan persoalan simbolisasi masyarakat,
sebagai universal atau sebagaimana dijelaskan di atas sebagai perpaduan
pertikular-partikular. Pentingnya pembedaan antara bentuk itu, lebih lanjut
merupakan pokok dalam memahami dan mengkontraskan fenomena klasik dan
kontemporer. Akhirnya, kita pasti ingat bahwa persoalan yang dihadapi oleh
representasi publik dan pribadi tertentu yang digambarkan sebagai penyatuan
adalah setiap sistem referensi diri yang pada akhirnya adalah bagian yang
mendukung keseluruhan.
C.
Naskah Drama ”Ndaru Bumi Pajang”.
C.
1 Ringkasan Cerita:
Diawali dengan adegan dua orang pemuda yang tidur
di makam (butuh, Sragen) yang kemudian melihat kejadian lintas waktu. Diceritakan
di desa Pengging berkumpulah para tokoh Kejawen yang hendak mengungsikan dua
jabang bayi bernama karebet dan Jaka tingkir. Pertemuan itu membahas strategi
menuju tahta kerajaan yang diperuntukkan bagi Karebet (Sultan Hadiwijaya raja
Pajang). Disebarkanlah isu bahwa Karebet samadengan Joko Tingkir, artinya bahwa
mereka berdua dibuat seolah-olah menjadi satu tokoh. Kedua pemuda ini berguru
di Banyu Biru bersama beberapa teman. Sekelompok pemuda ini menuju ke Demak
untuk mengabdikan diri pada Sultan Demak (Trenggono).
Strategi yang digunakan adalah memprofokatori
rakyat agar melakukan demonstasi besar-besaran ke Kasultanan Demak. Dengan
begitu, mudahlah bagi Karebet untuk menghentikan demonstrasi itu. Singkat
cerita, Karebet telah menjadi Sultan baru dengan pemerintahan berpusat di
Pajang, sedangkan Joko Tingkir menjadi senapati perang bernama Arya Sinawung.
Masa pemerintahan ini terjadilah konflig dengan
adipati Jipang bernama Adipati Arya Penangsang. Terjadilah peperangan antara
kubu Pajang dengan kubu Jipang. Arya penangsang berhasil dibunuh oleh Senapati
yanng kelak akan membangun dinasti Mataram. Terbunuhnya Arya Penangsang
diakhiri dengan pengangkatan sumpah Pemanahan agar tetap setia kepada
kedaulatan pemerintahan Pajang. Cerita diakhiri dengan adegan dua orang
mahasiswa yang sedang bangun tidur, artinya cerita itu hanyalah mimpi.
C. 2 Reinterpretasi
Kethoprak merupakan salah satu
jenis drama tradisional asli Jawa. Kethoprak diperkirakan lahir di Yogyakarta
sekitar abad 18, namun ada juga beberapa cerdik pandai yang mengatakan bahwa
kethoprak lahir di daerah Klaten. Kethoprak pada awalnya sangat sederhana
hingga berkembang seperti sekarang ini. Unsur-unsur yang ada di dalamnya antara
lain: dalang, kostum, gamelan, pemain, niyaga, waranggana dan masih bayak lagi
yang lain. Sesungguhnya, drama bukanlah karya sastra murni. Artinya, dalam
drama telah terjadi kolaborasi antara ilmu seni (seni acting) dan ilmu sastra
(dramaturgi). Jadi, drama lebih tepat jika disebut ilmu seni sastra. Riris K.
Sarumpaet (dalam Soediro, 1985) mengatakan bahwa Drama adalah kisah yang
ditulis untuk selanjutnya dipertunjukkan di atas pentas oleh sejumlah pemain.
Disinggung juga oleh Rikrik (2006) bahwa hakikat drama adalah konflig.
Teori konflig dalam ilmu
sosiologi diartikan dimana komponen yang satu melemahkan komponen yanng lain
untuk kepentingan masing-masing (Raho, 2007), inilah dasar yang digunakan dalam
membangun situasi konflig di atas panggung pertunjukan. Drama memiliki ciri
pengungkapan dengan cakapan (dialog, monolog). Drama memiliki struktur yang
jelas, yaitu: 1) tema dan amanat, 2) alur (plot), 3) Penokohan, 40 latar/setting.
Melihat ciri-ciri seperti tersebut, maka penyusun mengambil objek kajian berupa
naskah drama Jawa (kethoprak) yang berjudul lengkap ”Ndaru Bumi Pajang: Jroning Layab, Liyeb, Luyub” karya Ki Hartarta yang
bernama lengkap Arif Hartarta, S.S.,M.Hum, yang telah dipentaskan di Gedung
Wayang Orang Sriwedari pada 23 Juni 2011 silam.
Menurut penulis skenario yang
sekaligus sebagai sutradara pertunjukan mengatakan,
”Naskah kethoprak ini sesungguhnya hanyalah
reinterpretasi atau interpretasi ulang terhadap makna yang ada dibalik Naskah
Klasik Babad Tanah Jawi. Secara sederhana saja, naskah kethoprak yang saya buat
ini bisa anda katakan sebagai salah satu episode, yaitu bagian dari keutuhan cerita
Babad Tanah Jawi. Boleh juga anda katakan sebagai penyimpangan pakem, sebab
saya menafsirkan bahwa tokoh utama dalam naskah ini ada dua yaitu Joko Tingkir
dan Mas Karebet; yang pada umumnya dianggap sama. Namun disini saya
membedakannya, ini bisa kita kaji dengan paradigma politik kerajaan dimana pada
masa itu merupakan masa yang belum tenang dan tenteram. Mungkin anda pernah
melihat film dari Cina yang berjudul ”Pangeran menjangan” yang dibintangi oleh
Andy Lau. Film inilah salah satu inspirator saya untuk kemudian menggarap
naskah pertunjukan ini. Bagi saya pribadi bahwa karya sastra itu harus ditafsir
dan ditafsir lagi sesuai dengan paradigma dan perkembangan jaman”.
Cerita dengan judul ”Ndaru
Bumi Pajang” yang berarti ”wahyu/kemuliaan di bumi Pajang” memang tidak sesuai
dengan pakem yang sudah ada. Untuk melindungi kesan pemahaman masyarakat
penghayat yang menyaksikan pementasan tersebut, maka pada akhir pertunjukan
ditampilkan adegan dengan setting waktu jaman sekarang, dimana ada dua orang
mahasiswa bangun dari tidur, dan mengatakan, ”mimpi dalam layab, liyeb, luyub”.
Penyusun melihat bahwa cara ini merupakan cara penulis naskah untuk melindungi
diri dari kritikan kaum konservatif. Ada kemungkinan bahwa penulis skenario
masih menganggap bahwa masyarakat Jawa generasi tua khususnya belum siap
menerima tafsir baru tentang adanya ’surya kembar’, yaitu Mas Karebet dan Joko
Tingkir. Ada sedikit pemikiran kritis dari penyususn, jika tafsir Ki Hartarta
tersebut ternyata benar dan bisa dibuktikan secara historis, maka sejarah
Kerajaan Jawa harus mengalami perubahan yang signifikan, juga harus dilakukan
penarikan buku-buku pelajaran sejarah yang sudah beredar dan belum
diperbaharui.
Dalam drama, struktur merupakan komponen utama
dalam kajiannya, secara sederhana bisa kita sebut unsur intrinsik dan
ekstinsik. Namun dalam artikel ini, penyusun tidak menekankan kepada pengkajian
unsur intrinsik, tetapi lebih menyoroti unsur ekstrinsik, khususnya yang
berhubungan dengan aspek-aspek sosial. Setidaknya ada
tiga hal yang harus dicermati dalam analisa sosiologi seni, yaitu:
1.
Sosiologi Seniman
Seorang seniman
atau kreator memiliki kepekaan
menangkap gejala sekitar. Seniman memiliki tugas
menangkap suara (jeritan, ratapan, kebahagiaan) alam dan alam sekitarnya. Seniman ibarat lautan yang
bersifat kamot lan momot yang secara harfiah berarti mampu ‘menampung’. Selain dengan banyak belajar (empiris: membaca, melihat,
mengamati), seorang seniman seyogyanya selalu mengolah kepekaan intuisi (rasa)
dengan tujuan agar lebih tanggap dan peka.
Proses
penciptaan karya dalam dunia seni merupakan perpaduan antara faktor-faktor internal dengan faktor-faktor yang datang dari luar.
Proses penciptaan sampai pada
penciptaan berikutnya selalu melalui empat (4) ruang
dan waktu. Keempat ruang tersebut
adalah (1) ide, (2) aktivitas berkarya (karya), (3) sajian (teks), dan (4)
penikmat. Dimulai dari mendapat inspirasi, menemukan ide, menyusun konsep baru kemudian menuangkan
ide tersebut ke dalam bentuk karya seni (memerlukan penggarapan yang matang/proses yang
cukup lama). Setelah karya seni terlahir masalah yang dihadapi adalah penyajian.
Di dalam penyajian, yang dihadapi adalah penikmat yang siap untuk memuji atau
bahkan mencaci. Sastrawan menangkap respon penikmat untuk kemudian
merefleksikan lagi ke dalam karya berikutnya. Proses semacam akan selalu
terulang seperti sebuah siklus rantai makanan dari kelahiran satu karya ke
kelahiran karya berikutnya.
2.
Sosiologi Karya Seni
Sebelum
karya seni terlahir, ia mengalami proses kelahiran atau
proses penciptaan. Mencipta berarti merubah sesuatu menjadi sesuatu yang
bernilai baru atau mewujudkan sesuatu dengan sesuatu yang sudah ada.
Dalam sosiologi
karya seni, karya dipandang sebagai objek yang mandiri atau otonom. Artinya,
analisa terhadap suatu karya dilepaskan dari latar belakang seniman dan masyarakat
seniman. Analisa seperti ini sering disebut sebagai analisa structural, di mana
oleh Roland Bartes dikumandangkan sebagai masa “matinya pengarang”.
3.
Sosiologi Masyarakat
Karya seni adalah untuk
dinikmati. Analisa sosiologi masyarakat seni mengkaji hubungan antara karya
yang dipamerkan atau diciptakan dengan respon masyarakat, mengingat terdapat
masyarakat yang memberi apresiasi dan yang menolak adanya bentuk-bentuk seni.
Nakah Drama Jawa ”nDaru Bumi
Pajang” sesungguhnya mengacu pada Naskah Babad Tanah Jawi yang disusun
menggunakan metrum macapat. Secara singkat penyususun utarakan bahwa isi
keseluruhan Naskah Babad Tanah Jawi berisi silsilah raja-raja Jawa. Dimulai
dari cerita Nabi Adam dan berakhir pada cerita Karaton Kartasuta. Naskah
kethoprak ini mengambil episode ketika Jaka Tingkir dilahirkan samapi pada
pemberontakan Arya Penangsang.
Performance yang disajikan
syarat dengan protes-protes sosial yang diuraikan dalam babad Tanah Jawi.
Simaklah dialog halaman 12 pada bagian lampiran, bahwa Ki Buyut Banyu Biru
mengatakan kalau negeri Demak dipimpin oleh orang-orang yang bisa dikatakan
kurang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat. Tokoh Kebo Ndanu yang
diuraikan dalam Babad Tanah Jawi ditiadakan oleh penulis skenario, dan hanya
diutarakan dalam dialog bahwa nama Kebo Ndanu tersebut merupakan nama
organisasi demonstran (gerakan bawah tanah).
Jelas sekali dalam naskah
”nDaru Bumi Pajang”, apabila kita mengetahui serat Babat Tanah Jawi dan Babat
Pajang, bahwa Ki Hartarta mencoba membawa cerita babat ke arah historis dengan
tafsir-tafsir empiris yang kurang mendapat dukungan dari ilmu pengetahuan.
Penyusun menyebutnya sebagai pendekatan ”mitis”.
Secara keseluruhan, kita
mendapat gambaran dari naskah yang disajikan tersebut. Ternyata, dari sejak jaman
dahulu, fenomena KKN (korupsi, kolusi, dan nepotime) telah ada. Ini dibuktikan
ketika Karebet menjadi sultan di Pajang, ia mengangkat Joko Tingkir (saudara
angkatnya) menjadi senapati perang, juga mengangkat Mas Jaya Branta menjadi
patihnya dengan gelar patih Manca Nagara (sebab ia adalah keturunan bangsa
Cina). Sultan Hadi Wijoyo (Karebet) juga mengangkat pejabat pemerintahan dari
teman-teman seperguruannya ketika di Banyu Biru, yaitu Pemanahan, Penjawi, dan
Juru Mertani. Fenomena serupa pernah terjadi di Indonesia pada masa
pemerintahan orde baru. Jadi, fenomena KKN penyusus anggap sebagai
pengulangan-pengulangan dosa sejarah, sebab telah dilakukan sejak jaman
raja-raja yang memimpin Jawa.
Satu hal yang paling kentara
adalah tersisihnya golongan minoritas. Kasus in dialami oleh Ki Ageng Pengging
dan kelompoknya ketika menghadapi hegemoni pemerintahan Demak. Secara politis,
keberadaan Ki Ageng Pengging, yang dipercaya sebagai murid Sekh Siti Jenar
dianggap sebagai kelompok yang mengancam kadaulatan Demak. Kritik penyusun
terhadap pemerintahan Demak waktu itu bahwa pemerintahan Kasultanan Demak belum
memiliki sistem managerial yang baik, artinya bahwa hegemoni Demak masih saja
belum kuat, dengan bukti selalu saja ada konflig antar para waliullah (Siti Jenar,
sunan Geseng, Seh Jangkung, Kebo Kenongo, Kebo Kanigoro, dll). Dimana-mana
selalu terjadi kecurigaan politik. Kecurigaan ini juga terekam dalam naskah
drama Jawa yang menjadi objek kajian analisa ini (lihat kelir 2), dimana Sunan
Kudus mengeksekusi Ki Ageng Pengging.
Managemen yang harus dibangun
oleh Hegemoni Demak seharusnya managemen kebersamaan, artinya Demak harus mampu
menampung aspirasi rakyat, sebab ada indikasi kesenjangan sosial pada masa itu.
Demak kurang memperhatikan potensi wilayah bawahan, sehingga tidak sedikit
muncul penguasa-penguasa pedalaman, padahal waktu itu umur kerajaan Demak juga
belum begitu lama pasca runtuhnya kekuasaan Majapahit (1478 M).
Apa yang digambarkan oleh Ki
Hartarta bisa juga merupakan sindiran sosial yang menuding ketimpangan
kebijakan pemerintahan sekarang. Pemerintahan sekarang sama juga dengan rahutan
adegan yang dipentaskan. Para pemimpin rakyat kurang memperhatikan kepentingan
Bangsa dan Negara, namun lebih mementingkan kepentingan pribadi dan golongan
dengan kadar yang kurang seimbang terhadap amanah yang sudah diemban. Dalam
naskah drama Jawa ini digambarkan rangkain rantai konflig kekuasaan, dimana
rakyat selalu menjadi alat pendukung. Para pemimpin saling sibuk mengatur
strategi merebut jabatan dan kekuasaan, bukankah hal tersebut begitu mirip
dengan yang sedang terjadi di Negeri ini sejak era reformasi? Jadi, dapat
disimpulkan bahwa mengangkat kembali kisah-kisah masa lalu, merupakan jalan
yang paling aman dalam menyuarakan uneg-uneg
seniman, sebab ternyata sejarah hanyalah pengulangan.
Bibiliografi
Andre Harjana. 1981. Kritik
Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Arif Hartarta. 2010. Mantra Pengasihan: Rahasia Asmara dalam Klenik Jawa. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Arif Hartarta. 2010. Panduan Dasar Organisasi dan Bermain Kethoprak. Solo: KKTT
Wiswakarman
Baldwin, James Mark. 2007. History of Psychology;
a sketch and an interpretation. Yogyakarta: Prismasophie.
Bernard Raho. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarata:
Prestasi Pustaka.
Dick Hartoko. 1979. Bianglala
Sastra; Bunga Rampai Sastra Belanda Tentang Kehidupan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Edy Tri Sulistyo. H. 2005.
Kaji Dini Pendidikan Seni. Surakarta: UNS Prees.
Eka. D. Sitorus. 2003. The Art of Acting (Seni Peran untuk Teater,
Film & TV). Jakarta: Gramedia.
Garin Nugroho. 2005. Seni Merayu Massa. Jakarta: Penerbit
Buku Kompas.
Mudji Sutrisno, Hendar
Putranto (ed). 2005. Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Rikrik El Saptaria. 2006. ACTING. Bandung: Rekayasa Sains.
Soediro Satoto. 1985. Wayang Kulit Purwa (Makna dan Struktur
Dramatiknya). Yogyakarta: Javanologi (Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan).
Turner, Bryan. 2008. Tetori-Teori
Sosiologi: Modernitas-Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.