Sabtu, 11 Februari 2012

Naskah Kethoprak (Reinterpretasi)


REINTERPRETASI TERHADAP NASKAH BABAD TANAH JAWI
Studi Kasus Terhadap Naskah Drama Tradisional (Kethoprak)
“NDARU BUMI PAJANG: JRONING LAYAB, LIYEB, LUYUB”
Karya Ki Hartarta (hartarta.arif@gmail.com)
(Dipentaskan di Gedung Wayang Orang Sriwedari, 21 Juni 2011)

A.       Pengantar
Naskah Babad Tanah Jawi merupakan karya sastra Jawa Klasik. Karya sastra sudah diciptakan orang jauh sebelum orang memikirkan apa hakekat sastra dan apa nilai dan makna sastra. Sastra lisan yang belum mengenal sistem huruf dan nama pengarang, sebab sastranya merupakan milik masyarakat bersama, sastra itu tidak semata-mata bersifat penghidangan atau peniruan, melainkan juga merupakan tanggapan terhadap lingkungan, jaman, dan sastra sebelumnya (Harjana, 1981:11). Dapatlah kiranya dikatakan bahwa munculnya sastra yang bersifat tanggapan itulah yang menyebabkan macam-macam versi dari sebuah sastra lisan tertentu, meskipun kelemahan daya ingat manusia juga dapat menyebabkan berubah-ubahnya suatu versi sastra lisan. Perubahan versi itu dilakukan tentu saja dengan maksud agar dapat lebih sesuai dengan nafas dan tuntutan jaman yang terus berubah-ubah, sehingga dari bahan dan pangkal yang sama dapat tumbuh bermacam-macam syair atau cerita lisan karena perubahan lingkungan dan jaman.
Karya sastra menurut kaum strukturalisme adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koheren oleh berbagai unsur pembangunnya. Dilain pihak, struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penggagasan, gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang indah. Di luar pendekatan struktur, terdapat proses-proses atau rentetan peristiwa yang medorong kelahiran karya sastra maupun pengarangnya/kreator. Sebagai pemahaman dasar yaitu era klasik, sastra berarti kitab, atau buku ajaran yang berguna, namun dalam pengertian kontemporer, sastra merupakan simulacrum, representasi dari semua gejala, peristiwa jasmaniah dan atau lahiriah. Karya sastra tidak hanya menceritakan perihal kehidupan, tetapi juga merambah dunia setelah kematian (Mahabarata: Prasthanikaparwa, Swargarohanaparwa).

B. Karya Seni Sastra
Bahasa merupakan media komunikasi paling efektif. Tugas sastrawan adalah memukul bahasa agar menjadi hidup, maka tidak heran apabila di beberapa karya sastra tulis mengandung unsur dramaturgi. Penyampaian karya sastra, baik lisan maupun tulis menggunakan media bahasa selalu melalui proses seleksi atau pemilihan kata. Diksi dan gaya bahasa menjadi stimulan bagi para pembaca dalam rangka membangkitkan daya imaginasi. Hal ini berarti sastrawan harus benar-benar teliti dan tepat dalam menggunakan pilihan kata. Sastrawan mencoba menggunakan kekuatan kata sebagai senjata menembus alam imaginasi, alam emosi penikmat, pembaca atau masyarakat penikmat. Kekuatan kata akan menjadi stimulan daya resap atau kapiler yang diharapkan mampu ngrogoh/ndudut rasa para pembaca atau penikmat dan penonton.
Karya sastra merupakan mimikri dari kehidupan nyata yang telah diolah oleh para sastrawan dengan bumbu-bumbu  bahasa. Tuhan menciptakan manusia, agar manusia hidup, Ia meniupkan ruh hidup. Begitu pula sastrawan, ia meniupkan ruh terhadap karya-karyanya. Bahasa yang dibangun dengan komponen diksi, gaya bahasa, sugesti ternyata mampu menjadi bukit kekuatan. Tidak mengherankan apabila seorang politikus selalu mendalami kemampuan orasi dan retorik. Dengan bahasa dan pilihan kata yang tepat, apa yang disampaikan penutur kepada khalayak akan mampu membakar semangat, mentransfer tujuan ke petutur. Namun apabila ada yang menyalahgunakan kekuatan bahasa, orang tersebut telah membuat orang lain menjadi pecundang. Para pujangga tempo dulu (sebelum angkatan 45), harus memiliki kemampuan seperti; hawi sastra, hawi carita, mardi basa, ketiga julukan tersebut secara harfiah bisa diartikan sebagai seorang yang ahli mengolah sastra (keindahan bahasa), luas pengetahuannya (kaya akan ceritera), dan pandai memilih kata. Untuk menganalisa karya sastra, sebaiknya melihat latar belakang kebudayaan dimana karya tersebut ada.
Culturalisme adalah pendekatan yang berpandangan bahwa dengan menganalisis budaya suatu masyarakat, bentuk-bentuk tekstual dan praktik-praktik budaya yang terdokumentasi, memungkinkan membangun kembali tingkah laku terpola (patterned behavior) dan konstelasi gagasan yang dimiliki bersama oleh para lelaki dan perempuan yang menghasilkan dan mengkonsumsi teks dan praktik-praktik masyarakat itu. Pendekatan ini merupakan human agency yang menekankan pada produksi aktif kebudayaan dan bukan pada konsumsi pasifnya.
Karya sastra dan sastrawan akan lahir dari keadaan sosial budaya di mana ia berada. Seorang sastrawan yang hidup terkurung dalam hegemoni dinastik, tentu saja karya-karya yang dihasilkan selalu menunjukkan, menggambarkan kondisi kehidupan istana, ambilah contoh mpu Prapanca. Dalam setiap karyanya selalu dibungkus dengan konsep dewa raja. Lain halnya dengan musisi legendaris Iwan Fals. Ia hidup dalam resim politik yang absolut sehingga karya-karyanya selalu bersifat satirisme. Keadaan sosial budaya yang selalu berubah-ubah merupakan kesepakatan sementara saja, namun ada pula yang menganggap bahwa kebudayaan tinggi merupakan kesepakatan agung.
Fenomena sosial budaya menyuguhkan berbagai peristiwa atau dinamika kehidupan. Para kawi, sastrawan tidak berhenti pada gejala-gejala yang kelihatan itu, tetapi mencoba menerobos dan melihat apa yang tersembunyi di balik gejala-gejala tersebut. Pengalaman estetik yang didapat tidak hanya rasa ingin tahu, tetapi mengikutsertakan daya-daya lain dari dalam diri kita, seperti misalnya kemauan, daya penilaian, emosi, bahkan seluruh diri untuk menciptakan kristalisasi terhadap objek yang diperhatikan.
Para pencipta karya sastra atau karya seni auratik merupakan individu yang mempunyai sifat unik, berbakat, dan kreatif. Mereka masih menuangkan nilai-nilai ke-Agung-an, dan yang jelas mereka masih memiliki pengikut. Mungkin mereka memunafikkan diri dengan selera jaman. Paradigma pergeseran nilai atau perubahan kondisi sosial budaya selalu mempengaruhi selera massa dan berbengaruh pula pada hasil atau kelahiran karya sastra. Penyebaran sebuah karya sastra maupun karya seni, mulai dari seni primitif, pertengahan, dan kebangsawanan, penerimaannya besifat kolektif. Sebaliknya, dalam seni otonom dan auratik, penerimaan terindividuasi dan penikmat terserap dalam karya tersebut. Praktik-praktik karya sastra, karya seni kontemporer sesungguhnya lebih merupakan penolakan dari karya-karya seni kebudayaan tinggi sebelumnya. Yang jelas bahwa penerimaan, konsumsi, dan kelahiran sebuah produk budaya (karya) berlangsung dalam kondisi ”kacau”.
Karya sastra merupakan kendaraan paling luwes untuk berbagai macam kepentingan. Apakah sastra itu mengabdikan diri kepada keindahan, kaidah, dan kepentingan sastra itu sendiri, atau untuk pengabdiannya kepada masyarakat plural, atau untuk kepentigan agama atau bahkan untuk kepentigan politik. Sastra untuk seni sastra memiliki tujuan mencapai keindahan tertinggi. Nilai etik dan estetik sebisa mungkin adalah keindahan dan kaidah secara transenden maupun imanen. Isi karya sastra semacam biasanya melantukan keagungan alam semesta. Sifatnya netral, tidak diboncengi oleh kepentingan-kepentingan sebuah politik tertentu (budaya, agama, partai). Lain halnya dengan sastra yang diperuntukkan bagi masyarakat, karya sastra ini selalu memiliki standar etik masyarakat penghayatnya. Karya seperti ini biasanya menjadi sistem projektif yakni mengatur pola kehidupan sosial dan berbudaya masyarakatnya, juga sebagai cermin (kaca benggala) kehidupan masyarakatnya. Sastra untuk agama selalu merujuk kepada kepentingan penyebarannya atau keagungan agama tersebut. Karya sastra ini berisi tentang cerita tokoh-tokoh agama beserta ajaran-ajaran yang disampaikan.
Lain halnya dengan sastra untuk politik. Karya sastra ini memang sengaja diiptakan untuk kepentingan golongan tertentu (elite politik). Sebagai contoh adalah mitologi Nyai Rara Kidul. Sebelum nama Panembahan Senapati naik daun, nama Nyai Roro Kidul sama sekali tidak di kenal oleh masyarakat, namun setelah Senapati menjadi penguasa baru mataram Islam, isu yang beredar luas bahwa Senopati bersekutu dengan kerajaan alam lain dengan jalan mengawini ratu pantai selatan itu. Pemeran utama dalam ceritera ini adalah Panembahan Senapati (simbol Jawa), Nyai Rara Kidul (simbol pra-Islam), Sunan Kalijaga (simbol Islam). Senopati mengawini pemimpin makhluk halus untuk mengukuhkan legitimasi hierarki kekuasaanya sebagai raja Jawa baru, sedangkan menurut aturan Islam, hal tersebut adalah musrik. Namun pada kenyataanya, orang Jawa mengesahkan hal itu, dan Kalijaga’pun tidak mengutuk Senopati yang berstatus murid-nya atas peristiwa tersebut.
Relasi antar ketiganya adalah relasi budaya yang dinamakan relasi kooperatif. Senapati mengawini Nyai Rara Kidul (makhluk halus), namun ia juga seorang murid dari Sunan Kalijaga yaitu wali yang menyebarkan agama Islam di Jawa. Apabila dilihat dari kacamata agama, tentu saja hal itu dianggap pelanggaran, namun pada kasus ini, hal tersebut adalah legal, tidak ada masalah, sah-sah saja (mungkin hanya dikhususkan bagi raja). Ketiga tokoh tersebut menjalin hubungan yang rekat, harmonis, sinkretis, tanpa terjadi konflik. Itulah salah satu fungsi mitos, yaitu menunjukkan pesan intelektual ”tanpa konflig”. Namun perlu diingat bahwa mitologi di atas tidak lepas dari pengaruh hegemoni Mataram Islam era Senopati. Mungkin sekali bahwa cerita itu sengaja dibuat untuk memperkuat legitimasi pemerintahan Senapati sebagai raja baru, yaitu transisi dari Pajang ke Mataram agar rakyat benar-benar berserah dan mempercayakan semua perlindungan atau bernaung ke Mataram.
Teks sastra dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) jenis, yang pertama adalah klasik, borjuis, dan radikal. Teks klasik memiliki ciri pakem, artinya semua unsur intrinsik yang ada dalam teks ceritera tidak boleh dirubah (contoh: ceritera wayang). Borjuis memiliki ciri sebagai karya sastra pesanan, artinya cerita rekaan atau carangan untuk kepentigan tertentu atau mengikuti selera penikmatnya. Sedangkan teks radikal memiliki ciri berstruktur kontemporen, bebas, terlepas dari kaidah-kaidah etik – estetik konvensional.
Sastrawan, karya sastra, masyarakat, dan ”alam”, dalam relasi-relasinya yang bersifat partikular dan universal; secara unik berada dalam hubungan yang tak berperantara satu sama lain. Lebih spesifik, tidak terdapat istilah ketiga di mana pemisahan antar keduanya itu diperantarai ketika unsur transendental itu lenyap, problem yang timbul dari persamaan tingkat bahkan menjadi lebih kentara. Dengan demikian apa yang menjadi universal dalam etika adalah individu itu sendiri. Bahwa partikular menjadi universal berarti meruak individualisme masyarakat itu sendiri.

Masalah representasi masyarakat pertama dan terutama merupakan persoalan simbolisasi masyarakat, sebagai universal atau sebagaimana dijelaskan di atas sebagai perpaduan pertikular-partikular. Pentingnya pembedaan antara bentuk itu, lebih lanjut merupakan pokok dalam memahami dan mengkontraskan fenomena klasik dan kontemporer. Akhirnya, kita pasti ingat bahwa persoalan yang dihadapi oleh representasi publik dan pribadi tertentu yang digambarkan sebagai penyatuan adalah setiap sistem referensi diri yang pada akhirnya adalah bagian yang mendukung keseluruhan.

C.       Naskah Drama ”Ndaru Bumi Pajang”.
C.       1 Ringkasan Cerita:
Diawali dengan adegan dua orang pemuda yang tidur di makam (butuh, Sragen) yang kemudian melihat kejadian lintas waktu. Diceritakan di desa Pengging berkumpulah para tokoh Kejawen yang hendak mengungsikan dua jabang bayi bernama karebet dan Jaka tingkir. Pertemuan itu membahas strategi menuju tahta kerajaan yang diperuntukkan bagi Karebet (Sultan Hadiwijaya raja Pajang). Disebarkanlah isu bahwa Karebet samadengan Joko Tingkir, artinya bahwa mereka berdua dibuat seolah-olah menjadi satu tokoh. Kedua pemuda ini berguru di Banyu Biru bersama beberapa teman. Sekelompok pemuda ini menuju ke Demak untuk mengabdikan diri pada Sultan Demak (Trenggono).
Strategi yang digunakan adalah memprofokatori rakyat agar melakukan demonstasi besar-besaran ke Kasultanan Demak. Dengan begitu, mudahlah bagi Karebet untuk menghentikan demonstrasi itu. Singkat cerita, Karebet telah menjadi Sultan baru dengan pemerintahan berpusat di Pajang, sedangkan Joko Tingkir menjadi senapati perang bernama Arya Sinawung.
Masa pemerintahan ini terjadilah konflig dengan adipati Jipang bernama Adipati Arya Penangsang. Terjadilah peperangan antara kubu Pajang dengan kubu Jipang. Arya penangsang berhasil dibunuh oleh Senapati yanng kelak akan membangun dinasti Mataram. Terbunuhnya Arya Penangsang diakhiri dengan pengangkatan sumpah Pemanahan agar tetap setia kepada kedaulatan pemerintahan Pajang. Cerita diakhiri dengan adegan dua orang mahasiswa yang sedang bangun tidur, artinya cerita itu hanyalah mimpi.
C.   2  Reinterpretasi
Kethoprak merupakan salah satu jenis drama tradisional asli Jawa. Kethoprak diperkirakan lahir di Yogyakarta sekitar abad 18, namun ada juga beberapa cerdik pandai yang mengatakan bahwa kethoprak lahir di daerah Klaten. Kethoprak pada awalnya sangat sederhana hingga berkembang seperti sekarang ini. Unsur-unsur yang ada di dalamnya antara lain: dalang, kostum, gamelan, pemain, niyaga, waranggana dan masih bayak lagi yang lain. Sesungguhnya, drama bukanlah karya sastra murni. Artinya, dalam drama telah terjadi kolaborasi antara ilmu seni (seni acting) dan ilmu sastra (dramaturgi). Jadi, drama lebih tepat jika disebut ilmu seni sastra. Riris K. Sarumpaet (dalam Soediro, 1985) mengatakan bahwa Drama adalah kisah yang ditulis untuk selanjutnya dipertunjukkan di atas pentas oleh sejumlah pemain. Disinggung juga oleh Rikrik (2006) bahwa hakikat drama adalah konflig.
Teori konflig dalam ilmu sosiologi diartikan dimana komponen yang satu melemahkan komponen yanng lain untuk kepentingan masing-masing (Raho, 2007), inilah dasar yang digunakan dalam membangun situasi konflig di atas panggung pertunjukan. Drama memiliki ciri pengungkapan dengan cakapan (dialog, monolog). Drama memiliki struktur yang jelas, yaitu: 1) tema dan amanat, 2) alur (plot), 3) Penokohan, 40 latar/setting. Melihat ciri-ciri seperti tersebut, maka penyusun mengambil objek kajian berupa naskah drama Jawa (kethoprak) yang berjudul lengkap ”Ndaru Bumi Pajang: Jroning Layab, Liyeb, Luyub” karya Ki Hartarta yang bernama lengkap Arif Hartarta, S.S.,M.Hum, yang telah dipentaskan di Gedung Wayang Orang Sriwedari pada 23 Juni 2011 silam.
Menurut penulis skenario yang sekaligus sebagai sutradara pertunjukan mengatakan,
”Naskah kethoprak ini sesungguhnya hanyalah reinterpretasi atau interpretasi ulang terhadap makna yang ada dibalik Naskah Klasik Babad Tanah Jawi. Secara sederhana saja, naskah kethoprak yang saya buat ini bisa anda katakan sebagai salah satu episode, yaitu bagian dari keutuhan cerita Babad Tanah Jawi. Boleh juga anda katakan sebagai penyimpangan pakem, sebab saya menafsirkan bahwa tokoh utama dalam naskah ini ada dua yaitu Joko Tingkir dan Mas Karebet; yang pada umumnya dianggap sama. Namun disini saya membedakannya, ini bisa kita kaji dengan paradigma politik kerajaan dimana pada masa itu merupakan masa yang belum tenang dan tenteram. Mungkin anda pernah melihat film dari Cina yang berjudul ”Pangeran menjangan” yang dibintangi oleh Andy Lau. Film inilah salah satu inspirator saya untuk kemudian menggarap naskah pertunjukan ini. Bagi saya pribadi bahwa karya sastra itu harus ditafsir dan ditafsir lagi sesuai dengan paradigma dan perkembangan jaman”.

Cerita dengan judul ”Ndaru Bumi Pajang” yang berarti ”wahyu/kemuliaan di bumi Pajang” memang tidak sesuai dengan pakem yang sudah ada. Untuk melindungi kesan pemahaman masyarakat penghayat yang menyaksikan pementasan tersebut, maka pada akhir pertunjukan ditampilkan adegan dengan setting waktu jaman sekarang, dimana ada dua orang mahasiswa bangun dari tidur, dan mengatakan, ”mimpi dalam layab, liyeb, luyub”. Penyusun melihat bahwa cara ini merupakan cara penulis naskah untuk melindungi diri dari kritikan kaum konservatif. Ada kemungkinan bahwa penulis skenario masih menganggap bahwa masyarakat Jawa generasi tua khususnya belum siap menerima tafsir baru tentang adanya ’surya kembar’, yaitu Mas Karebet dan Joko Tingkir. Ada sedikit pemikiran kritis dari penyususn, jika tafsir Ki Hartarta tersebut ternyata benar dan bisa dibuktikan secara historis, maka sejarah Kerajaan Jawa harus mengalami perubahan yang signifikan, juga harus dilakukan penarikan buku-buku pelajaran sejarah yang sudah beredar dan belum diperbaharui.
Dalam drama, struktur merupakan komponen utama dalam kajiannya, secara sederhana bisa kita sebut unsur intrinsik dan ekstinsik. Namun dalam artikel ini, penyusun tidak menekankan kepada pengkajian unsur intrinsik, tetapi lebih menyoroti unsur ekstrinsik, khususnya yang berhubungan dengan aspek-aspek sosial. Setidaknya ada tiga hal yang harus dicermati dalam analisa sosiologi seni, yaitu:
1.      Sosiologi Seniman
Seorang seniman atau kreator memiliki kepekaan menangkap gejala sekitar. Seniman memiliki tugas menangkap suara (jeritan, ratapan, kebahagiaan) alam dan alam sekitarnya. Seniman ibarat lautan yang bersifat kamot lan momot yang secara harfiah berarti mampu ‘menampung’. Selain  dengan banyak belajar (empiris: membaca, melihat, mengamati), seorang seniman seyogyanya selalu mengolah kepekaan intuisi (rasa) dengan tujuan agar lebih tanggap dan peka.
Proses penciptaan karya dalam dunia seni merupakan perpaduan antara faktor-faktor  internal dengan faktor-faktor yang datang dari luar.
Proses penciptaan sampai pada penciptaan berikutnya selalu melalui empat (4) ruang dan waktu. Keempat ruang tersebut adalah (1) ide, (2) aktivitas berkarya (karya), (3) sajian (teks), dan (4) penikmat. Dimulai dari mendapat inspirasi, menemukan ide, menyusun konsep baru kemudian menuangkan ide tersebut ke dalam bentuk karya seni (memerlukan penggarapan yang matang/proses yang cukup lama). Setelah karya seni terlahir masalah yang dihadapi adalah penyajian. Di dalam penyajian, yang dihadapi adalah penikmat yang siap untuk memuji atau bahkan mencaci. Sastrawan menangkap respon penikmat untuk kemudian merefleksikan lagi ke dalam karya berikutnya. Proses semacam akan selalu terulang seperti sebuah siklus rantai makanan dari kelahiran satu karya ke kelahiran karya berikutnya.
2.      Sosiologi Karya Seni
Sebelum karya seni  terlahir, ia mengalami proses kelahiran atau proses penciptaan. Mencipta berarti merubah sesuatu menjadi sesuatu yang bernilai baru atau mewujudkan sesuatu dengan sesuatu yang sudah ada.
Dalam sosiologi karya seni, karya dipandang sebagai objek yang mandiri atau otonom. Artinya, analisa terhadap suatu karya dilepaskan dari latar belakang seniman dan masyarakat seniman. Analisa seperti ini sering disebut sebagai analisa structural, di mana oleh Roland Bartes dikumandangkan sebagai masa “matinya pengarang”.
3.      Sosiologi Masyarakat
Karya seni adalah untuk dinikmati. Analisa sosiologi masyarakat seni mengkaji hubungan antara karya yang dipamerkan atau diciptakan dengan respon masyarakat, mengingat terdapat masyarakat yang memberi apresiasi dan yang menolak adanya bentuk-bentuk seni.
Nakah Drama Jawa ”nDaru Bumi Pajang” sesungguhnya mengacu pada Naskah Babad Tanah Jawi yang disusun menggunakan metrum macapat. Secara singkat penyususun utarakan bahwa isi keseluruhan Naskah Babad Tanah Jawi berisi silsilah raja-raja Jawa. Dimulai dari cerita Nabi Adam dan berakhir pada cerita Karaton Kartasuta. Naskah kethoprak ini mengambil episode ketika Jaka Tingkir dilahirkan samapi pada pemberontakan Arya Penangsang.
Performance yang disajikan syarat dengan protes-protes sosial yang diuraikan dalam babad Tanah Jawi. Simaklah dialog halaman 12 pada bagian lampiran, bahwa Ki Buyut Banyu Biru mengatakan kalau negeri Demak dipimpin oleh orang-orang yang bisa dikatakan kurang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat. Tokoh Kebo Ndanu yang diuraikan dalam Babad Tanah Jawi ditiadakan oleh penulis skenario, dan hanya diutarakan dalam dialog bahwa nama Kebo Ndanu tersebut merupakan nama organisasi demonstran (gerakan bawah tanah).
Jelas sekali dalam naskah ”nDaru Bumi Pajang”, apabila kita mengetahui serat Babat Tanah Jawi dan Babat Pajang, bahwa Ki Hartarta mencoba membawa cerita babat ke arah historis dengan tafsir-tafsir empiris yang kurang mendapat dukungan dari ilmu pengetahuan. Penyusun menyebutnya sebagai pendekatan ”mitis”.
Secara keseluruhan, kita mendapat gambaran dari naskah yang disajikan tersebut. Ternyata, dari sejak jaman dahulu, fenomena KKN (korupsi, kolusi, dan nepotime) telah ada. Ini dibuktikan ketika Karebet menjadi sultan di Pajang, ia mengangkat Joko Tingkir (saudara angkatnya) menjadi senapati perang, juga mengangkat Mas Jaya Branta menjadi patihnya dengan gelar patih Manca Nagara (sebab ia adalah keturunan bangsa Cina). Sultan Hadi Wijoyo (Karebet) juga mengangkat pejabat pemerintahan dari teman-teman seperguruannya ketika di Banyu Biru, yaitu Pemanahan, Penjawi, dan Juru Mertani. Fenomena serupa pernah terjadi di Indonesia pada masa pemerintahan orde baru. Jadi, fenomena KKN penyusus anggap sebagai pengulangan-pengulangan dosa sejarah, sebab telah dilakukan sejak jaman raja-raja yang memimpin Jawa.
Satu hal yang paling kentara adalah tersisihnya golongan minoritas. Kasus in dialami oleh Ki Ageng Pengging dan kelompoknya ketika menghadapi hegemoni pemerintahan Demak. Secara politis, keberadaan Ki Ageng Pengging, yang dipercaya sebagai murid Sekh Siti Jenar dianggap sebagai kelompok yang mengancam kadaulatan Demak. Kritik penyusun terhadap pemerintahan Demak waktu itu bahwa pemerintahan Kasultanan Demak belum memiliki sistem managerial yang baik, artinya bahwa hegemoni Demak masih saja belum kuat, dengan bukti selalu saja ada konflig antar para waliullah (Siti Jenar, sunan Geseng, Seh Jangkung, Kebo Kenongo, Kebo Kanigoro, dll). Dimana-mana selalu terjadi kecurigaan politik. Kecurigaan ini juga terekam dalam naskah drama Jawa yang menjadi objek kajian analisa ini (lihat kelir 2), dimana Sunan Kudus mengeksekusi Ki Ageng Pengging.
Managemen yang harus dibangun oleh Hegemoni Demak seharusnya managemen kebersamaan, artinya Demak harus mampu menampung aspirasi rakyat, sebab ada indikasi kesenjangan sosial pada masa itu. Demak kurang memperhatikan potensi wilayah bawahan, sehingga tidak sedikit muncul penguasa-penguasa pedalaman, padahal waktu itu umur kerajaan Demak juga belum begitu lama pasca runtuhnya kekuasaan Majapahit (1478 M).
Apa yang digambarkan oleh Ki Hartarta bisa juga merupakan sindiran sosial yang menuding ketimpangan kebijakan pemerintahan sekarang. Pemerintahan sekarang sama juga dengan rahutan adegan yang dipentaskan. Para pemimpin rakyat kurang memperhatikan kepentingan Bangsa dan Negara, namun lebih mementingkan kepentingan pribadi dan golongan dengan kadar yang kurang seimbang terhadap amanah yang sudah diemban. Dalam naskah drama Jawa ini digambarkan rangkain rantai konflig kekuasaan, dimana rakyat selalu menjadi alat pendukung. Para pemimpin saling sibuk mengatur strategi merebut jabatan dan kekuasaan, bukankah hal tersebut begitu mirip dengan yang sedang terjadi di Negeri ini sejak era reformasi? Jadi, dapat disimpulkan bahwa mengangkat kembali kisah-kisah masa lalu, merupakan jalan yang paling aman dalam menyuarakan uneg-uneg seniman, sebab ternyata sejarah hanyalah pengulangan.


Bibiliografi

Andre Harjana. 1981. Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.

Arif Hartarta. 2010. Mantra Pengasihan: Rahasia Asmara dalam Klenik Jawa. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Arif Hartarta. 2010. Panduan Dasar Organisasi dan Bermain Kethoprak. Solo: KKTT Wiswakarman

Baldwin, James Mark. 2007. History of Psychology; a sketch and an interpretation. Yogyakarta: Prismasophie.

Bernard Raho. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarata: Prestasi Pustaka.

Dick Hartoko. 1979. Bianglala Sastra; Bunga Rampai Sastra Belanda Tentang Kehidupan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Edy Tri Sulistyo. H. 2005. Kaji Dini Pendidikan Seni. Surakarta: UNS Prees.

Eka. D. Sitorus. 2003. The Art of Acting (Seni Peran untuk Teater, Film & TV). Jakarta: Gramedia.

Garin Nugroho. 2005. Seni Merayu Massa. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Mudji Sutrisno, Hendar Putranto (ed). 2005. Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Rikrik El Saptaria. 2006. ACTING. Bandung: Rekayasa Sains.

Soediro Satoto. 1985. Wayang Kulit Purwa (Makna dan Struktur Dramatiknya). Yogyakarta: Javanologi (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan).

Turner, Bryan. 2008. Tetori-Teori Sosiologi: Modernitas-Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar