”Eksistensi
Seniman Klasik dan Kontemporer pada Era Globalisasi”
(Wilayah
Eks-Karesidenan Surakarta)
hartarta.arif@gmail.com
Oleh: Arif Hartarta
A. Latar
Belakang Masalah
Kehidupan seniman kelas madya dan bawah di wilayah eks-karesidenan
Surakarta sungguh sangat membingungkan pun memprihatinkan. Pasalnya, bagi para
pelaku dan penghayat ’kesenian klasik’ menganggap bahwa bentuk-bentuk lain atau
dekontruksi karya seni oleh seniman-seniman radikal untuk kemajuan, dianggap
oleh seniman klasik sebagai wujud ’melacurkan seni’. Sementara di kepala para
tokoh seni radikal, hal itu justru merupakan wujud pelestarian karya seni
dengan jalan dekontruksi demi eksistensi kesenian atau karya itu sendiri.
Dilema yang nampak adalah bahwa cita rasa jaman yang diperankan oleh beberapa
kubu, seperti: kubu pelestari (klasik), penikmat, dan kubu pembaharu (radikal)
selalu terjadi konflig hantam menghantam dan saling menjatuhkan antara satu
kubu dengan kubu lainnya. Menyikapi fenomena semacam, munculah pertanyaan
”apakah ”yang klasik” mampu bertahan dalam kondisi hiper realis?”. Di
sana-sini semua orang berkomentar, dan komentar-komentar itupun hanyalah tautologi
yang selalu malah membawa persoalan-persoalan baru, bukanya sesuatu yang
solutive.
Berbicara tentang produk budaya, maka kita (mau tidak mau) harus
di/terpaksa melihat pasar. Pasar
kultural akan berjalan berbeda jauh dengan pasar yang mementingkan pelayanan
sosial. Sebagian pasar budaya merupakan cara untuk mendapatkan hal-hal yang
sebelumnya bersifat aurastis, yang hanya tersedia bagi kaum elite kepada
kelompok masyarakat yang lebih luas.
Kondisi hiper realis memang
sudah membunuh keberadaan eksistensialisme, dimana si pelaku tidak lagi menjadi
dirinya sendiri melainkan mencoba mengkloning diri menjadi orang atau sesuatu,
produk yang lain. Pergeseran nilai-nilai sosial lokal selalu menimbulkan
konflig, namun konflig sendiri merupakan ciri kemajuan, ciri pertahanan, dan
ciri pelepasan. Dikatakan sebagai sebuah proses menuju kemajuan dengan alasan
bahwa menurut teori konflig di dalam kehidupan sosial masyarakat pasti terjadi
persaingan, dan yang dipersaingkan adalah sebuah ide, praktik, kenyataan yang
dianggap sebagi kemajuan (jaman). Dikatakan sebagai pertahanan dengan alasan
bahwa di suatu masyarakat pasti masih menyisakan ruang bagi kelompok penghayat
tata nilai lama. Dalam kondisi pergeseran cita rasa jaman, orang-orang ini juga
berjuang untuk mempertahankan nilai-nilai yang diwarisinya secara kompetitif
juga. Bagi seniman radikal, mereka menganggap semua yang ada merupakan
belenggu, sehingga mereka mulai berfikir untuk mencari jalan keluar atau
pembebasan walaupun akhirnya toh mereka akan terjebak dalam sistem struktur
juga sebagaimana Derrida-pun tidak mampu menyatakan karyanya yang memang
mustahil untuk dilaksanakan.
Berperilaku local berfikir
global, nah itulah motto yang sering kita baca di liflet-liflet seminar,
dan di baliho-baliho pinggiran jalan. Namun apa maksud sebenarnya dari moto
berperilaku local dan berfikir global ini? Sebelum lebih jauh menelusuri
paradikma sosial dunia seniman, akan lebih baik penyusun sampaikan beberapa
masalah yang akan penyusun ulas dalam paper singkat ini.
B. Sejarah Pemahaman Seni
Sebagai pengantar dalam
paragraf ini, penyusun mengutip pernyataan lisan tradisional yang berkembang di
kalangan seniman Jawa yang berbunyi ”Seni kuwi larang dituku duit, murah yen
ditembung”, artinya bahwa karya seni itu pada hakikatnya sangat mahal
hingga tidak bisa diukur dengan penghargaan berupa uang atau materi, tetapi
sangatlah murah apabila hanya diminta. Edward Shills, seorang ahli ilmu
sosiologi Amerika dewasa ini berpendapat bahwa awal mula tiga fungsi ilmuwan,
seniman, agamawan masih dirangkap oleh satu orang yang dianggap paling bijak di
dalam sukunya. Kita tidak berhenti pada gejala-gejala yang kelihatan itu,
tetapi kita mencoba menerobos dan melihat apa yang tersembunyi di balik gejala-gejala
tersebut. Pengalaman estetik itu tidak hanya ingin tahu, tetapi
mengikutsertakan daya-daya lain dari dalam diri kita, seperti misalnya kemauan,
daya penilaian, emosi, bahkan seluruh diri kita. Dokumentasi sejarah
perkembangan seni bisa di runut dari sejarah pengetahuan Yunani. Cita-cita pendidikan yunani adalah mencapai keindahan.
Pada awal perkembangannya,
alamlah yang merupakan sumber utama dari pengalaman estetik. Menurut pandangan
Klasik itu pula, maka terjadinya suatu karya seni berpangkal pada pengalaman
estetik yang timbul dari perjumpaan dengan alam. Pada saat pengalaman estetik manusia merasa
bahagia, merasakan suatu ”ekstatis”. Tetapi saat itu mungkin hanya berlangsung
selama beberapa detik, pasti tidak lama. Saat matahari yang sedang terbenam
mewarnai awan-awan dengan warna-warni yang indah, mungkin hanya berlangsung selama
sepuluh menit. Lalu habis. Lalu seniman ingin mengabadikan saat yang
membahagiakan itu, dan terjadilah karya seni. Dan setiap kali ia memandang
karyanya itu ia teringat kembali akan saat yang indah itu, karena karya itu
bersifat simbolik; lewat lambang-lambang membangkitkan kembali, mengingatkannya
kembali pada saat itu. Dan setiap orang yang mengamati karya itu lalu juga
menangkap isyarat-isyarat, lambang-lambang itu, dan dapat turut merasakan apa
yang dirasakan oleh sang seniman.
Demikianlah secara sangat
singkat dan sangat implistis, salah satu teori mengenai terjadinya sebuah karya
seni. Nanti kita masih akan meninjau beberapa teori lain mengenai genesis
atau riwayat terjadinya sebuah karya seni. Cukuplah di sini kita menyimpulkan,
bahwa menurut teori manapun sang seniman ingin mengungkapkan isi hati dan
pengalaman spiritualnya lewat lambang-lambang, entah lambang visual (lukisan,
patung), entah lambang auditif (lewat pendengaran : bahasa dan musik), entah
langsung lambang jasmani (seni tari, sikap badan).
Persoalan lain yang juga masih
harus kita bicarakan, ialah sejauh mana sebuah karya seni hanya menampilkan
pengalaman tentang keindahan. Sejauh mana seni modern misalnya menimbulkan
getaran keindahan dalam hati kita. Masalah ini pun harus kita tunda sampai
nanti.
Tetapi, sebelum kita
meneruskan pembicaraan kita, ada sebuah pertanyaan praktis yang mungkin telah
timbul dalam hati pembaca budiman. Sudah beberapa kali saya memakai istilah
”estetik” : pengalaman tentang keindahan saya samakan dengan pengalaman
estetik. Apa artinya kata ”estetik” itu? Estetik bererti mengacu pada yang
indah, artinya karya seni seharusnya bersifat indah. Namun makna indahpun
sekarang telah kehilangan makna konvensionalnya. Para penganut poststruktur
telah memberikan makna indah dengan wujud representasi lain, yaitu total dan
tidak terikat dengan apapun.
Berbeda dengan Jean Paul
Sartre, seorang penganut eksistensialisme yang menyatakan bahwa ’manusia adalah
subjek yang otonom, tanpa terkait pada apapun, manusia bebas total, karena
eksistensi manusia mendahului esensi’, Strauss mewartakan sebuah ide perlawanan
yaitu bahwa manusia sebagai subjek itu tidak seotonom yang Sartre bayangkan.
Manusia tidak selalu bertindak sadar dan membuat pilihan-pilihan dalam
kebebasan total, tetapi ada ’struktur’ yang diam-diam, tanpa disadari, serta
menentukan tindakan dan pilihan-pilihan partikular dalam individu-individu.
Levi-Strauss tertarik meneliti
tentang human mind atau nalar manusia dan mencoba memahami strukturnya,
ia tertarik pada sifat ’nirsadar dari fenomenal sosial (Heddy Shri
Ahimsa-Putra, 2006). Menurut Strauss, struktur mental memaksakan kekuatanya
dengan mengabaikan peranan subjek yang tidak sadar terhadap apa yang tengah
terjadi. Lebih lanjut ia katakan bahwa ”apa yang disebut ’kesadaran kolektif’
pada analisis akhirnya akan menjadi tak lebih dari sekedar ekspresi pada
tingkat pemikiran dan perilaku individu, pada keadaan ruang dan waktu dari
hukum-hukum universal yang mendorong terjadinya aktivitas pikiran bawah sadar”
(lihat Dominic Strinati, 2004).
C. Seni Kemasan dan Pe-Label-an Model
Kapitalis
Jawaban untuk masalah yang
pertama memang masih bersifat indeks. Apabila kita runut dari sejarah
perkembangan karya seni, karya sastra, maka makalah ini akan begitu panjang lebar. Penyusun
mengkonsentrasikan diri dan mencoba membuat prediksi-prediksi tentang apa yang
akan terjadi pada diri seniman kelas madya ke bawah untuk beberapa tahun
mendatang. Penyusun tidak berbicara tentang filsafat dan hakikat sebuah karya,
namun akan lebih menyoroti ke dalam keadaan ’budaya konsumtive’. Di sini,
perhatian utama terletak pada komunikasi dan objek-objek kultural. Selain itu,
perlu disadari bahwa komoditas dan pasar tidak harus selalu merupakan hal yang
sama. Dalam kapitalisme, cara-cara dan dan sasaran produksi harus memiliki
kekuatan tukar.
Dalam seni primitif,
pertengahan, dan kebangsawanan, penerimaan besifat kolektif. Sebaliknya, dalam
seni otonom dan auratik penerimaan terindividuasi dan penikmat terserap dalam
karya tersebut. Praktik-praktik karya sastra, karya seni kontemporer menurut
penyusun adalah lebih merupakan penolakan dari karya-karya seni kebudayaan
tinggi sebelumnya. Yang jelas bahwa penerimaan, konsumsi, dan kelahiran sebuah
produk budaya (karya) berlangsung dalam kondisi ”kacau”.
Para pencipta karya seni
auratik merupakan individu yang mempunyai sifat unik, berbakat, dan kreatif.
Mereka masih menuangkan nilai-nilai ke-Agung-an, dan yang jelas mereka masih
memiliki pengikut. Mungkin mereka memunafikkan diri dengan selera jaman. Seorang
pujangga besar keraton Kasunanan Surakarta yaitu Raden Ngabehi Ronggowarsito
pernah menulis konsep ’Jaman Edan’ dalam serat ”Kalatida”-nya yang
prinsipnya bahwa apabila jaman itu datang (jaman edan) dan kita tidak
mengikuti polanya alias tidak ikut ngedan, niscaya kita akan kelaparan.
Namun selalu ada harapan sebagai pelipur lara yang menyertainya, bahwa
janganlah kuatir karena keberuntungan orang yang sedang lupa (gila, edan)
masih lebih besar keberuntungan manusia yang selalu waspada dan sadar.
Melihat indeks dan fakta yang
ada, pembicaraan akan penyusun arahkan ke pembahasan tentang seni kemasan dan
label. Sebagai contoh kecil penulis suguhkan fenomena celana jeans
produk Tanah Abang; industri tekstil di Tanah Abang terkenal dalam memproduksi
pakaian. Pakaian-pakaian itu di beli oleh pengusaha dagang produk kenamaan
kemudian di bubuhi merk ’Lea’ buatan Amerika, lalu di kemas sangat
menarik, dipasarkan di mall-mall besar dengan membandrol harga yang luar biasa
mahal, toh laku juga. Keuntungan yang raub si pengusaha pemilik merk dua
kali lipat dari modal awal. Artinya, bahwa produk Tanah Abang merupakan
simulakrum produk dan gaya Amerika. Kelemahan sistem kapitalisme seperti ini
adalah produk dan local genius tidak memiliki kebanggaan fundamen. Tetap
saja ada pihak yang di tindas, tidak jauh beda dari jaman revolusi industri.
Menurut pengetahuan kosmologi Cina, fenomena tersebut disimpulkan bahwa belum
terjadi keseimbangan antara ’Yin’ dan ’Yang’.
Namun, untuk sementara waktu
ini, metode yang bisa ditempuh oleh para seniman klasik untuk bertahan adalah
mengikuti cara tersebut dengan prinsip Jawa ”ngeli nanging ora keli’
yang artinya menghanyut boleh, tapi jangan benar-benar hanyut, dengan masih
memegang prinsip-prinsip pokok. Mereka hanya perlu merubah kostum luarnya saja
dengan menumpang pada hal-hal, sesuatu yang sedang banyak dicitrakan. Inilah
yang penyusun maksudkan dengan berperilaku lokal berfikir global. Setelah
melakukan observasi, penyusun memiliki keyakinan bahwa nilai-nilai lokal tidak
sepenuhnya hilang, karena memori itu tersimpan dalam superego yang digambarkan
oleh Freud seperti fenomena gunung es terapung di tengah lautan. Jadi, jawaban
untuk masalah no satu (1) adalah mampu apabila si pelaku seni (seniman klasik)
mau berfikir kreatif dan cerdas. Memang sudah sangat masyur di masyarakat bahwa
seniman memang tidak ahli beriklan dan tidak ahli managemen, dan sekaranglah
waktu yang tepat bagi seniman untuk merubah pandangan atau image seperti itu.
Dilihat dari paradikma teori
konflik, fenomena persaingan seniman klasik dan radikal justru akan menjadi
motivasi usaha yang kuat dari kedua belah pihak. Secara otomatis mereka akan
mengembangkan tingkat kreatifitas dalam berkarya. Walaupun begitu, sudah dapat
dipastikan bahwa kelompok yang satu akan menjadi ’yang asing’ bagi kelompok
lainnya.
D. Hilangnya Perbedaan
Setiap wujud produk, baik yang
bersifat ide, benda, dan ’yang sosial’ sebenarnya telah memiliki pasar
masing-masing, hanya secara kuantitas yang menjadi pembedanya secara eksplisit.
Memang seharusnya pemerintah mengelola sebuah lembaga khusus yang menangani
marketing produk seni, dan mampu menjadi wadah kreatifitas seniman, baik yang
beraliran klasik maupun kontemporer. Cara lain yang seharusnya ditempuh adalah
membuka wilayah otonom pemasaran produk, maksudnya memberi ruang gerak bagi
masing-masing aliran seni, dan pada akhirnya akan menarik selera masing-masing
pasar, peminat, dan pengamat. Untuk hal-hal seperti ini memang perlu menerapkan
faham sekuler. Apabila di lihat dari pengertiannya, pengertian, pemahaman seni,
seniman di jaman ini terasa kabur dan abstrak, hal ini sebenarnya akibat dari
pergeseran nilai dari ’yang sakral’ ke profan. Pergeseran nilai inipun adalah
karena imbas dari konsep pemikiran poststruktur.
Dalam hubungan sebagaimana
diungkapkan di atas, partikular dan universal secara unik berada dalam hubungan
yang tak berperantara satu sama lain. Lebih spesifik, tidak terdapat istilah
ketiga di mana pemisahan antar keduanya itu diperantarai.ketika unsur
transendental itu lenyap, problem yang timbul dari persamaan tingkat bahkan
menjadi lebih kentara. Dengan demikian apa yang menjadi universal dalam etika
adalah individu itu sendiri. Bahwa partikular menjadi universal berarti meruak
individualisme masyarakat itu sendiri.
Masalah representasi
masyarakat pertama dan terutama merupakan persoalan simbolisasi masyarakat,
sebagai universal atau sebagaimana dijelaskan di atas sebagai perpaduan
pertikular-partikular. Pentingnya pembedaan antara bentuk itu, lebih lanjut
merupakan pokok dalam memahami dan mengkontraskan fenomena klasik dan
kontemporer. Akhirnya, kita pasti ingat bahwa persoalan yang dihadapi oleh
representasi publik dan pribadi tertentu yang digambarkan sebagai penyatuan
adalah setiap sistem referensi diri yang pada akhirnya adalah bagian yang
mendukung keseluruhan.
E. Simpulan
Pada hakikatnya, berkarya
adalah bukan untuk menafsirkan yang kelihatan, tetapi menerjemahkan agar
menjadi kelihatan. Produk klasik masih mampu mempertahankan ruang geraknya
apabila dikelola dengan baik dengan jalan selalu berfikir kreatif, karena
kreatifitas adalah salah satu syarat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang
seniman.
Menghilangkan adanya perbedaan
yang tidak jelas sumber masalahnya, karena hal tersebut hanyalah tautologi
semata merupakan cara yang harus ditempuh untuk mengkondisikan seniman klasik
dan kontemporer.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar